Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Setelah meninggalkan butik, Quin mengarahkan kendaraanya menuju apartemen. Sebelum benar-benar sampai di tempat itu, ia memilih singgah sebentar ke salah satu supermarket.
Seusai berbelanja, ia kembali melanjutkan perjalanan hingga tiba di tempat tujuan.
"Lebih baik seharian ini aku berdiam diri di apartemen. Lagian sudah lebih dari sebulan aku nggak ke sini," gumam Quin sesaat setelah masuk ke dalam lift.
Beberapa menit kemudian, benda itu terbuka. Dengan cepat, Quin melangkah keluar seraya menuju unit-nya.
"Akhirnya sampai juga di tempat ternyamanku," kata Quin begitu masuk ke tempat itu. Ia menuju pantry lalu meletakkan barang belanjaannya ke atas meja makan.
Beberapa menit berlalu ....
Gadis itu kembali ke pantry. Merebus air kemudian menyeduh coklat hangat kesukaannya.
"Mr. Brewok ... ah, biarkan saja dia," ucap Quin lalu menyeruput coklat hangatnya. "Haish, bisa-bisanya aku menjadi asisten pribadi pria player itu. Jika aku tahu sejak awal, mana mau aku menerima kesepakatan itu meski dia dalam keadaan lumpuh."
Sedetik kemudian Quin tertawa. Mengingat moment ketika pertama kali bertemu dengan Damar. Ia merasa tertipu dengan penampilan pria itu.
Tak ingin berlarut-larut memikirkan Damar, ia melanjutkan aktivitasnya dengan memasak sekaligus akan membersihkan ruangannya.
.
.
.
Kantor Damar ....
Seusai menyelesaikan pekerjaannya, Damar bersandar sejenak di kursi kerja. Menatap langit-langit lalu memijat batang hidungnya.
Ia melirik arloji di pergelangan tangannya seraya bergumam, "Sudah hampir jam satu rupanya."
Ia mengambil ponsel di atas meja kemudian menghubungi Quin. Akan tetapi, yang menjawabnya hanya suara operator telefon.
Sudah berulang kali ia menghubungi gadis itu sejak pagi. Namun, ponsel Quin sampai kini masih berada di luar jangkauan.
"Apa aku terlalu memaksa? Oh, My Quin ... come on, jangan seperti ini. Again? Kamu membuatku cemas."
Damar termenung memikirkan sang asisten pribadi. Raut wajah sendu gadis itu, kini menghiasi benaknya. Begitu banyak kesedihan, kekecewaan serta rasa sakit yang terpendam.
"Tuan," tegur Adrian sekaligus membuyarkan lamunan Damar.
"Adrian," sahut Damar disertai hela nafas.
"Tuan, ini berkas yang Anda minta tadi." Adrian menyerahkan berkas penting itu kepada Damar.
"Terima kasih, Adrian." Damar memijat kening. Kepalanya tiba-tiba terasa nyeri.
"Apa Anda baik-baik saja, Tuan?"
"Sepertinya tidak," jawab Damar lirih. "Adrian, tolong lacak nomor plat mobil Quin. Di mana kendaraan gadis itu berada sekarang."
Adrian mengerutkan kening sekaligus bingung dengan perintah Damar barusan.
"Dia pasti sedang berada di butiknya, Tuan."
"Jika dia ada di butik, nggak mungkin aku repot-repot memintamu melacak nomor plat mobilnya. Lakukan saja seperti yang aku perintahkan!" tegas Damar.
"Baik, Tuan," sahut Adrian pasrah. Ia kemudian berpamitan.
Sesaat setelah berada di luar ruangan itu, Adrian terlebih dulu menghubungi Al untuk memastikan.
"Hallo, Rian, ada apa?" tanya Al dari seberang telefon.
"Apa Quin ada di butik?" tanya Adrian balik.
"Nggak, soalnya sejak pagi, Quin sudah meninggalkan butik. Memangnya kenapa?"
"Nggak apa-apa. Ya sudah, aku tutup dulu," kata Adrian.
"Oke."
Setelah memutuskan panggilan telepon, Adrian kembali ke ruang kerjanya. Beberapa detik kemudian, ia langsung menghubungi seseorang. Hanya di deringan pertama, orang itu langsung menjawab panggilan darinya.
"Ya, hallo Rian, ada apa?" tanya Luke.
"Aku butuh bantuanmu," kata Adrian to the poin.
"Apa? Katakan saja," balas Luke sembari tertawa.
"Tolong lacak nomor plat mobil ini." Adrian pun mulai menyebut angkanya. "Langsung WA aku jika kamu sudah menemukan keberadaan mobil itu."
"Ok siap," balas Luke lalu memutuskan panggilan.
Sedangkan Adrian memilih meninggalkan ruang kerjanya untuk mencari makan siang.
Sesaat setelah berada di dalam mobil, ia menggelengkan kepala mengingat sikap tak biasa dari sang penerus Alatas Corp itu.
"Untuk apa dia memintaku melacak nomor plat mobil Quin. Ada-ada saja si Boss," gumam Adrian. "Sebaiknya aku memesan makanan saja lalu membawa ke butik sekaligus ingin mengobrol dengan Al."
.
.
.
Apartemen Quin ....
Gadis itu sedang bersantai sambil menonton drakor favoritnya di dalam kamar.
"Kisah cinta di drakor tak seindah kisah cinta di dunia nyata. Hah, menyebalkan banget!" gerutu Quin seraya tertawa merasa lucu.
Ia kemudian beranjak lalu menuju ke pantry. Setelah mengambil air dingin dari dalam kulkas, Quin memindai seluruh ruangan.
Ruangan itu jauh lebih bersih juga rapi. Foto-foto kebersamaannya bersama Angga, telah ia singkirkan. Termasuk semua barang-barang pemberian dari eks tunangannya itu.
"Sebaiknya aku akan menggantinya dengan lukisan saja nanti," gumam Quin kemudian menghampiri jendela. Memandangi kota J dari balik kaca.
Tak lama berselang, ia terusik saat bel pintu tiba-tiba berbunyi. "Siapa sih?!"
Quin menghampiri pintu lalu membukanya. Ia terkejut saat mengetahui sosok itu adalah Damar.
Dengan cepat, gadis itu kembali akan mendorong pintu. Namun, ditahan oleh Damar.
...----------------...