NovelToon NovelToon
Bintangku 2

Bintangku 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Cintapertama / Keluarga / Cintamanis
Popularitas:182
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bintang yang Tidak Menyadari

Pagi datang terlalu cepat bagi Bintang.

Ia berdiri di depan cermin kamar rumah Oma, merapikan rambut yang ia ikat rendah. Lingkar hitam di bawah matanya samar, tapi cukup untuk mengingatkannya bahwa malam tadi ia tidur dengan pikiran yang belum benar-benar tenang.

Ponselnya tergeletak di meja rias.

Pesan terakhir dari Bio—pendek, sopan, dan terasa… jauh.

Iya. Istirahat yang cukup. Jangan dipikirin kerjaan terus.

Biasanya Bio akan menambahkan satu kalimat lagi. Entah candaan kecil, atau pengingat untuk sarapan. Tapi kali ini tidak.

Bintang menggeleng pelan, mengusir rasa aneh itu. Ia terlalu lelah untuk menafsirkan hal-hal kecil. Hari ini akan panjang.

Ia turun ke ruang makan, menyapa Oma yang sudah duduk dengan tablet di tangan.

“Kamu lembur lagi nanti?” tanya Oma tanpa menoleh.

“Mungkin,” jawab Bintang jujur. “Masih banyak yang harus dibereskan.”

Oma mengangguk singkat. Tidak ada komentar lain. Sejak Bintang resmi bekerja, percakapan mereka sering kali sesingkat itu—fungsional, efisien, dingin.

Bintang berangkat ke kantor dengan mobil sopir. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi angka, laporan, dan tenggat waktu. Ia tidak sempat memikirkan Bio lebih jauh, apalagi perasaan-perasaan halus yang semalam sempat muncul.

Di kantor, hari langsung menelannya bulat-bulat.

Rapat demi rapat. Presentasi yang harus direvisi. Email yang masuk tanpa jeda. Bintang duduk di balik meja kerjanya, berusaha tampak tenang meski dadanya sesekali terasa sesak.

“Bintang.”

Ia menoleh. Satya berdiri di depan mejanya, membawa dua cangkir kopi.

“Aku bikinin kopi. Yang satu tanpa gula, kan?”

Bintang tersenyum refleks. “Iya. Makasih.”

Satya meletakkan kopi itu, lalu membuka laptopnya. “Aku lihat revisi dari divisi legal. Ada beberapa poin yang bisa kita sederhanakan.”

Mereka bekerja berdampingan, fokus. Satya profesional—tidak melewati batas, tidak bersikap berlebihan. Ia membantu, menjelaskan, dan menyesuaikan ritme kerja Bintang yang terkadang terlalu memaksakan diri.

Bintang merasa terbantu. Aman.

Dan mungkin karena itulah, ia tidak sadar bagaimana semuanya terlihat dari luar.

“Kalau kamu mau, aku bisa dampingi waktu presentasi ke direksi besok,” kata Satya sambil menutup laptopnya.

“Boleh,” jawab Bintang tanpa ragu. “Aku butuh orang yang ngerti konteksnya.”

Ia mengucapkannya ringan, tanpa beban. Tidak terpikir sedikit pun bahwa kalimat itu, jika didengar orang lain, bisa disalahartikan.

Di sisi lain kota, Bio berdiri di balik mesin kopi di kedainya.

Tangan-tangannya bergerak otomatis—menggiling biji kopi, memadatkan bubuk, menekan tombol mesin. Aroma kopi memenuhi ruangan kecil itu, menenangkan sekaligus menyakitkan.

Ponselnya tergeletak di samping kasir.

Tidak ada pesan baru dari Bintang.

Bio mencoba fokus pada pelanggan. Pada senyum kecil yang ia berikan. Pada percakapan ringan tentang cuaca dan rasa kopi. Tapi pikirannya berulang kali melayang.

Ia teringat wajah Bintang semalam. Lelah. Tapi tetap tersenyum ketika bicara tentang pekerjaannya.

Tentang Satya.

Bio menghela napas pelan.

Ia tidak ingin menjadi pria yang merasa terancam oleh bayangan orang lain. Ia ingin percaya—sepenuhnya. Tapi kepercayaan tidak selalu membungkam rasa takut.

Sore itu, kedai sedikit lebih sepi. Bio membersihkan meja, lalu duduk sebentar di bangku dekat jendela. Ia membuka ponsel, menatap foto Bintang yang tersimpan di layar kunci.

Bintang yang tertawa kecil di depan kedai beberapa minggu lalu. Saat semuanya terasa sederhana.

Ia mengetik pesan, lalu menghapusnya.

Capek nggak hari ini?

Hati-hati pulang.

Kalau sempat, mampir ya.

Semua terhapus.

Bio memilih diam—lagi.

Menjelang malam, Bintang baru menyadari waktu ketika langit di balik jendela kantor sudah gelap.

“Sudah jam segini,” gumamnya.

Satya berdiri sambil merapikan dokumen. “Kamu harus pulang. Besok juga masih panjang.”

“Iya,” Bintang mengangguk. “Makasih banyak hari ini.”

Sebelum pulang, ia sempat membuka ponsel. Ada satu pesan dari Bio yang masuk beberapa jam lalu.

Jangan lupa makan.

Bintang tersenyum kecil. Ia membalas cepat.

Iya. Kamu juga.

Pesan terkirim. Ia tidak menunggu balasan. Sopir sudah menunggu.

Di dalam mobil, Bintang bersandar, memejamkan mata. Kepalanya berat. Ia memikirkan pekerjaan, tekanan Oma, dan masa depan yang terasa seperti lorong panjang tanpa penunjuk arah.

Ia tidak menyadari satu hal kecil—

Bahwa Bio, di tempat lain, sedang berusaha menelan perasaan yang tak sempat ia ceritakan.

Malam itu, Bintang tiba di rumah Oma dengan langkah pelan. Rumah terasa terlalu besar, terlalu sunyi. Ia naik ke kamar, berganti pakaian, lalu duduk di tepi ranjang.

Baru kali ini, rasa lelahnya benar-benar turun.

Ia membuka ponsel lagi.

Tidak ada pesan baru.

Bintang mengernyit pelan, tapi tidak lama. Mungkin Bio sibuk. Mungkin sudah tidur.

Ia tidak tahu bahwa Bio juga sedang terjaga, menatap langit-langit kamar kontrakannya dengan pikiran yang penuh.

Bintang berbaring, menarik selimut hingga ke dada. Dalam hatinya, ia merasa semuanya baik-baik saja. Hubungannya dengan Bio aman. Mereka hanya sedang lelah.

Ia tidak menyadari bahwa diamnya Bio bukan karena tidak peduli.

Melainkan karena ia terlalu peduli—sampai takut jika satu kata saja keluar, semuanya akan berubah.

Dan malam pun berlalu dengan dua hati yang saling terhubung, tapi terpisah oleh hal-hal kecil yang tidak terucap.

Hal-hal yang, jika dibiarkan terlalu lama, bisa berubah menjadi jarak.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!