Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.
Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.
Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.
Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.
Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.
Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Pagi datang tanpa suara. Tidak ada alarm, tidak ada pintu dibanting, tidak ada teriakan orang dewasa yang memaksa Yun Qi bangun. Cahaya matahari merambat perlahan masuk lewat celah tirai tipis, jatuh di ujung ranjang dan berhenti di sana, seolah ragu untuk menyentuh tubuh kecil yang masih terbaring kaku.
Yun Qi membuka mata. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Langit-langit putih. Terlalu bersih. Tidak ada noda air. Tidak ada retakan. Tidak ada bayangan kabel listrik yang biasanya melintang di atas kepalanya. Jantungnya berdetak lebih cepat, lalu ia menoleh pelan ke samping.
Seprai putih. Bantal empuk. Selimut yang hangat dan rapi. Ia duduk perlahan, telapak kakinya menyentuh lantai kayu yang dingin, tapi kali ini ia tidak menariknya kembali. Ada jeda singkat seperti tubuhnya sedang belajar bahwa tempat ini tidak akan menyakitinya.
Ia berdiri, merapikan rambutnya dengan tangan, lalu berjalan ke pintu kamar. Sebelum membuka, ia berhenti. Tangannya menggantung di udara. Apakah ia boleh keluar?
Pertanyaan itu muncul otomatis, refleks dari hidup sebelumnya. Yun Qi menarik napas kecil, lalu membuka pintu pelan-pelan. Apartemen masih sunyi. Jam di dinding ruang tamu menunjukkan pukul enam lewat sedikit. Langit di luar jendela besar masih pucat, kota belum sepenuhnya bangun. Yun Qi melangkah keluar dengan langkah kecil, nyaris tanpa suara. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikannya, lalu berjalan ke dapur.
Ia berhenti di ambang pintu dapur. Wang Hao Yu sudah di sana. Pria itu berdiri membelakangi Yun Qi, mengenakan kemeja putih dan celana bahan gelap. Rambutnya rapi, jam tangan sudah melingkar di pergelangan. Di atas meja dapur, ada cangkir kopi hitam dan piring kecil berisi roti panggang.
Yun Qi refleks meluruskan punggungnya. “S-selamat pagi,” ucapnya pelan, formal, suaranya masih sedikit serak karena baru bangun. Wang Hao Yu menoleh. Tatapannya singkat, tajam, tapi tidak menghakimi. “Pagi.”
Ia menunjuk kursi. “Duduk.” Yun Qi menurut. Ia duduk di kursi paling ujung, tangannya diletakkan rapi di pangkuan. Wang Hao Yu meletakkan piring lain di depannya telur, roti, dan segelas susu hangat. “Makanlah,” katanya. Yun Qi menatap makanan itu beberapa detik. “Terima kasih,” ucapnya, lalu mulai makan pelan-pelan.
Ia makan dengan rapi, nyaris terlalu rapi. Tidak ada suara piring beradu. Tidak ada gerakan terburu-buru. Sesekali, ia melirik Wang Hao Yu dari sudut mata pria itu minum kopi sambil membaca sesuatu di ponselnya. Tidak ada percakapan. Anehnya, Yun Qi tidak merasa dimarahi oleh keheningan itu. Tidak ada tekanan. Tidak ada suara yang siap meledak. Hanya… kosong.
Setelah selesai, ia mendorong piringnya sedikit ke depan. “Saya sudah selesai.” Wang Hao Yu melirik piring itu. Kosong. Ia mengangguk kecil. “Bagus.”
Satu kata itu membuat Yun Qi terdiam sejenak. Dadanya terasa aneh seperti ada sesuatu yang mengembang kecil di sana, lalu cepat-cepat ia tekan kembali. “Setelah ini,” kata Wang Hao Yu sambil berdiri, “kamu ikut saya.”
Yun Qi mengangguk cepat. “Baik.” Beberapa menit kemudian, mereka turun ke basement. Mobil hitam yang sama terparkir rapi. Sopir sudah menunggu. Wang Hao Yu masuk lebih dulu, Yun Qi menyusul, duduk tegak dengan kedua tangan di pangkuan.
Mobil melaju. Yun Qi menatap keluar jendela, memperhatikan jalanan yang semakin ramai. Sekolah-sekolah. Orang tua yang mengantar anaknya. Penjual sarapan di pinggir jalan. Dunia bergerak normal, seolah hujan dan malam sebelumnya tidak pernah ada. Mobil berhenti di depan sebuah klinik swasta. Yun Qi menoleh, bingung. “Kita… mau ke mana?”
“Cek kesehatan,” jawab Wang Hao Yu singkat. Di dalam klinik, semuanya serba putih dan tenang. Yun Qi mengikuti perawat dengan langkah kecil, menjawab pertanyaan dengan suara sopan. Berat badan. Tinggi badan. Suhu tubuh. Tekanan darah. “Anaknya agak kurang gizi,” kata dokter itu pada Wang Hao Yu. “Tapi tidak parah. Dengan pola makan yang baik, bisa cepat membaik.” Wang Hao Yu mengangguk. “Atur jadwal.”
Keluar dari ruang pemeriksaan, Yun Qi berjalan di sampingnya. Ia menatap lantai, lalu berkata pelan, “Terima kasih… sudah membawa saya.”.Wang Hao Yu berhenti sejenak. Ia menoleh ke Yun Qi. “Kamu tinggal di tempat saya. Itu tanggung jawab saya.” Jawaban itu terdengar dingin. Tapi Yun Qi mengangguk, seolah itu sudah lebih dari cukup. Hari-hari berikutnya mulai membentuk pola.
Pagi: sarapan bersama, meski tanpa banyak bicara. Wang Hao Yu selalu memastikan Yun Qi makan, lalu meninggalkan apartemen tepat waktu. Ada sopir yang mengantar Yun Qi ke kelas tambahan les privat, olahraga ringan, pemeriksaan rutin.
Siang: Yun Qi makan siang dengan pengasuh yang ditunjuk. Wanita itu ramah, tidak banyak bertanya, hanya memastikan Yun Qi nyaman.
Malam: Wang Hao Yu kadang pulang larut. Kadang tidak pulang sama sekali. Tapi setiap malam, selalu ada pesan singkat di ponsel pengasuh: Sudah makan? Tidur jam berapa?
Suatu malam, Yun Qi duduk di ruang tamu, membaca buku tipis yang baru dibelikan. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh ketika pintu terbuka. Wang Hao Yu masuk, jasnya dilepas, wajahnya tampak lelah. Yun Qi berdiri refleks. “Anda sudah pulang.”
“Belum tidur?” tanya Wang Hao Yu.
“Belum,” jawab Yun Qi jujur. “Saya menunggu.” Wang Hao Yu menatapnya beberapa detik. “Tidak perlu menunggu.”
Yun Qi mengangguk. “Baik.” Ia berjalan kembali ke kamar, tapi langkahnya terhenti ketika suara Wang Hao Yu terdengar lagi. "Yun Qi.”
Ia berbalik cepat. “Iya?”
“Kalau ada yang kamu butuhkan,” kata Wang Hao Yu, suaranya datar tapi jelas, “bilang saja.”
Yun Qi membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi tidak satu pun yang berani keluar. Akhirnya ia berkata, “Baik. Terima kasih.”
Di kamar, Yun Qi berbaring, menatap langit-langit. Kata-kata itu berputar di kepalanya. Kalau ada yang kamu butuhkan, bilang. Tidak ada janji. Tidak ada pelukan. Tidak ada kata lembut. Tapi juga tidak ada penolakan.
Hari demi hari, tubuh Yun Qi mulai berubah. Pipinya tidak lagi cekung. Langkahnya lebih stabil. Ia tidak lagi terbangun di tengah malam karena mimpi buruk setiap hari meski sesekali, kenangan hujan dan pintu tertutup masih datang.
Suatu sore, Yun Qi duduk di sofa, menonton televisi tanpa benar-benar memperhatikan. Pintu terbuka lebih awal dari biasanya. Wang Hao Yu pulang. Yun Qi berdiri. Kali ini, gerakannya lebih santai. “Anda sudah pulang.”
“Hmm.”
Wang Hao Yu berhenti ketika melewati sofa. Ia menatap Yun Qi lebih lama dari biasanya. “Kamu kelihatan lebih sehat.” Yun Qi terdiam. Ia tidak langsung menjawab. Lalu, dengan suara kecil tapi jelas, ia berkata, “Karena anda.” Kalimat itu keluar tanpa dipikirkan.
Wang Hao Yu tidak langsung merespons. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya sedikit menyempit bukan marah, lebih seperti sedang memproses sesuatu yang tidak ia rencanakan. “Masuk kamar,” katanya akhirnya. “Istirahat.”
Yun Qi mengangguk dan berjalan pergi. Di balik pintu kamar, ia menempelkan punggungnya ke kayu, menarik napas panjang. Di ruang tamu, Wang Hao Yu berdiri sendirian beberapa detik lebih lama dari biasanya. Ia tidak hangat. Ia tahu itu.
Tapi setiap pintu dikunci. Setiap laporan dibaca. Setiap jadwal diatur. Setiap sudut apartemen aman. Dan tanpa disadari oleh keduanya, itulah awal dari bentuk perlindungan yang kelak berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap dan lebih dalam.