Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sunset
Bel istirahat berbunyi nyaring, memecah suasana kelas yang sejak tadi dipenuhi suara guru dan coretan pena. Elara menutup bukunya, menghela napas kecil, lalu berdiri dari bangkunya.
Di kantin belakang, mereka sudah duduk lengkap.
Elara langsung duduk di antara Nayomi dan Keira, sementara kelima cowok itu memenuhi sisi meja seberangnya. Seperti biasa, meja itu tidak terlalu kecil mau pun besar, tapi cukup untuk mereka dan itu membuat suasana meja menjadi hangat.
“Eh, makanannya El keliatan enak,” kata Ezra sambil langsung meraih kentang goreng di piring Elara tanpa izin.
“El!” protes Elara. “lo kok ambil seenaknya sih.”
“Kan buat ngecek rasanya,” balas Ezra santai, lalu mengunyah. “Oh, enak.”
“Dasar,” Elara mendecak, tapi sudut bibirnya terangkat.
Ezra malah semakin menjadi-jadi. Ia menyenggol lengan Elara pelan, lalu ezra pura-pura tidak sengaja menjatuhkan sendok kebawah meja. “El, tolong ambilin.”
“Ambil sendiri, males,” sahut Elara, tapi tetap saja tangannya bergerak.
Nayomi melirik mereka berdua dari samping, senyum kecil terbit di wajahnya. Sementara Keira hanya memperhatikan sambil sesekali menyeruput minumannya.
“Dari tadi gue perhatiin,” ujar Nayomi akhirnya, “kalian ribut terus, ya.”
“Dia yang mulai,” Elara menunjuk Ezra.
“Dia yang duluan,” Ezra balik menuding.
"idihh, playing victim Lo" ucap elara sambil mendelik
“Kalian cocok deh,” celetuk Nayomi tiba-tiba. “Elara sama Ezra. Sama-sama inisial E.”
Meja itu mendadak lebih ramai oleh tawa.
“Apaan sih,” Elara terkekeh, menggelengkan kepala. “gue gak mau ya sama nii anak”
Ezra mengangkat bahu. “Gue sih nggak nolak dibilang cocok.”
Di sisi meja, Arsenio tetap diam. Sejak tadi ia hanya fokus pada makanannya, tapi jemarinya menggenggam garpu sedikit lebih erat dari biasanya. Rahangnya mengeras, tatapannya lurus ke piring—tidak ada yang menyadari perubahan kecil itu.
Elara tidak melihatnya.
Ia masih tertawa, lalu tiba-tiba berkata, “Kalau gitu Kairo sama Keira juga cocok dong. Sama-sama insial K, cuma ada yang beda dibeberapa huruf.”
“HAH?” Kairo hampir tersedak. “El, jangan sembarangan comblangin orang ya”
Keira melirik Kairo sekilas, lalu kembali menunduk. “Ngaco.”
Nayomi tertawa kecil. “Eh iya juga ya.”
Suasana kembali cair. Obrolan berganti-ganti, dari tugas sekolah sampai rencana sore nanti. Arsenio tetap duduk di sana, ikut makan, ikut mendengar, tapi jaraknya terasa—bukan secara fisik, melainkan sesuatu yang tak terlihat.
Elara menyuap makanannya sambil tertawa kecil, merasa hari itu berjalan seperti biasa. nyaman dan Lengkap.
Ia tidak tahu, satu candaan sederhana barusan sudah menanam sesu
atu yang tak terucap—diam, tapi perlahan tumbuh.
★★★
Mereka berenam berjalan menuju area parkiran. Langit sudah mulai berubah warna, dari biru terang menjadi jingga pucat. Sekolah perlahan sepi, hanya tersisa beberapa siswa dan suara langkah kaki yang menggema di koridor.
“El, jalan yang bener. Jangan sambil main HP,” tegur Arsenio singkat.
“Iya, iya,” jawab Elara sambil mempercepat langkah.
Begitu sampai di parkiran, Leonhardt tiba-tiba bersuara, “Eh, mumpung malam ini kita nggak ada kerjaan… ke pantai yuk. Lihat sunset.”
Elara langsung menoleh dengan mata berbinar. “Wah, boleh tuh!”
“Gue sih ayo-ayo aja,” kata Ezra. “Gimana sama lo, Sen? Lo kan yang bawa mobil.”
Semua pandangan tertuju pada Arsenio.
“Hm,” Arsenio mengangguk pelan. “Gue ikut.”
“Asik!” Elara tersenyum lebar. “Kita ngumpul-ngumpul lagi.”
Mobil kembali melaju, meninggalkan area sekolah. Musik pelan mengalun dari speaker, angin sore masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Tidak banyak percakapan, tapi suasananya hangat—tenang dengan caranya sendiri.
Pantai tidak terlalu ramai ketika mereka sampai. Matahari sudah hampir tenggelam, langit di barat berwarna oranye keemasan, memantul di permukaan laut yang berkilau. Angin membawa aroma asin yang menenangkan.
Elara turun lebih dulu. “Bagus banget,” gumamnya, nyaris seperti berbicara pada diri sendiri.
Leo berdiri di sampingnya. “Makanya, gue nggak pernah salah soal sunset.”
Mereka berjalan ke arah pasir, melepas sepatu, membiarkan kaki mereka tenggelam sedikit. Ombak kecil menyapa, dingin tapi menenangkan. Leonhardt langsung mengeluarkan ponsel.
“Foto dulu. Biar ada foto kenang-kenangan .”
Mereka berkumpul, tertawa, beberapa pose konyol tercipta tanpa direncanakan. Elara berdiri di tengah, rambutnya tertiup angin, senyumnya lepas. Arsenio berdiri agak ke samping, matanya tertuju pada Elara—bukan ke kamera.
Setelah foto-foto, Kairo langsung berlari ke arah air. “Yang terakhir nyentuh ombak traktir minum!”
“Curang!” teriak Ezra sambil mengejar.
Elara ikut berlari, tawanya pecah di antara suara ombak. Untuk sesaat, semuanya terasa ringan. Tidak ada pikiran tentang sekolah, tentang masa depan, tentang apa pun yang rumit.
Mereka akhirnya duduk berjejer di pasir, membawa minuman hangat yang dibeli dari pedagang kecil di pinggir pantai. Matahari perlahan tenggelam, meninggalkan semburat merah muda di langit.
Elara memeluk lututnya, menatap laut. Hatinya tiba-tiba terasa penuh—terlalu penuh, sampai muncul rasa takut yang tak ia mengerti.
“Apa kalian bakal selamanya di sisi aku,” ucapnya pelan, “atau suatu hari… ada yang menghilang?”
Suasana mendadak sunyi. Suara ombak tetap ada, tapi tawa dan obrolan berhenti seketika.
Elara menoleh, menyadari semua mata tertuju padanya.
“Kok ngomong gitu?” tanya kaizen,nadanya berubah serius.
Kairo mengerutkan kening. “El, lo ngomong apa sih?”
Leonhardt terkekeh kecil, berusaha mencairkan suasana. “Jangan ngomong yang serem gitu dong.”
Elara mengangkat bahu, tersenyum kecil. “Nggak kenapa-kenapa. Cuma kepikiran aja.”
Kaizen menatapnya lama sebelum berkata, “Kita nggak bakal pecah belah. Pokoknya harus bareng sampai kakek-nenek setuju.”
Ezra langsung mengangguk. “Setuju.”
“Setuju,” sahut Kairo dan Leonhardt hampir bersamaan.
Elara menoleh ke Arsenio.
Cowok itu diam beberapa detik sebelum akhirnya bicara, suaranya rendah dan tegas. “Selama gue ada, lo nggak sendirian.”
Elara tersenyum. Dadanya terasa hangat.
Mereka kembali tertawa, obrolan ringan mengalir lagi. Leonhardt mengusulkan lari-larian di pasir, dan tanpa pikir panjang, mereka melakukannya—jatuh, bangkit, tertawa sampai kehabisan napas.
Langit semakin gelap ketika mereka kembali ke mobil. Elara duduk di kursi depan, memeluk minuman hangatnya. Kelelahan yang menyenangkan menyelimuti tubuhnya.
Dalam diam, Arsenio meliriknya sekilas.
Elara menatap ke luar jendela, senyum kecil masih tertinggal di bibirnya. Ia merasa aman. Terlalu aman, sampai lupa bahwa tidak semua janji bisa bertahan selamanya.
Mobil melaju meninggalkan pantai, membawa tawa, kenangan, dan satu pertanyaan yang belum terjawab—
berapa lama kebersamaan ini akan bertahan?
_____
Akhirnya, mobil milik Arsenio berhenti tepat di depan mansion keluarga Aksani. Lampu teras sudah menyala, membuat bangunan besar itu terlihat hangat di tengah malam yang mulai turun.
“Sana masuk,” ucap Arsenio sambil mematikan mesin. “Jangan lupa bersih-bersih, terus langsung istirahat. Jangan begadang.”
“Iyaa, Niooo~” jawab Elara sambil mengedipkan matanya jahil.
“Huwekk, muntah gue liatnya, El,” celetuk Kairo dramatis.
“Muntah-muntah aja, nggak ada yang larang,” balas Elara santai.
Ia membuka pintu mobil, lalu berbalik menghadap mereka. “Yaudah, aku masuk yaaa. Babay~”
“Babaaay,” sahut mereka berlima hampir bersamaan.
Karena rumah kelima cowok itu tidak jauh dari mansion Elara—masih dalam satu kompleks—mereka pun merasa tenang. tak lama setelah itu mobil arsen meninggalkan manison aksani, dan Elara yang berdiri sebentar di depan rumahnya sebelum masuk.
Begitu pintu terbuka, Elara langsung dikejutkan oleh dua sosok yang mengintip dari balik kaca.
“Ya ampun!” Elara refleks berhenti. “Papa sama Mama ngapain sih? El sampai kaget, loh.”
Mama Sekar tertawa kecil. “Papa sama Mama kepo. Dengar didepan rame-rame, ternyata kamu sama sahabat-sahabat kecil kamu.”
“Pulang sekolah bukannya langsung mandi, malah keluyuran,” sambung Papa Samudra, meski nadanya tidak benar-benar marah.
“Udah lama, Pah. Kita nggak ngumpul,” jelas Elara cepat. “Tadi Leo ngajakin lihat sunset sebentar.”
Papa Samudra mengangguk pelan. “Papa nggak larang. Tapi Papa cemas. Kamu belum pulang-pulang. Lain kali kabarin dulu orang rumah.”
“Iya, Pa. Mama. Maaf bikin kalian khawatir,” ucap Elara tulus.
“Sana mandi terus istirahat,” kata Mama Sekar lembut. “Kamu udah makan?”
“Belum,” jawab Elara jujur.
“Nanti pembantu bawa makanan ke kamar kamu,” tambah Papa Samudra.
“Yaudah, kalau gitu Elara ke atas ya,” ucap Elara ceria sambil berlari kecil menuju tangga.
Di kamarnya, Elara menjatuhkan diri ke kasur. Lelah, tapi hatinya hangat. Senyumnya masih tersisa saat ia menatap langit-langit kamar.
Hari itu berakhir dengan tenang.