NovelToon NovelToon
Rempah Sang Waktu

Rempah Sang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Cinta Istana/Kuno / Reinkarnasi / Cinta Beda Dunia / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author:

Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.

Season 2 : 10. Titah Sang Ratu di Ruang VIP

Singapura. Hotel Marina Bay Sands.

Pintu kamar suite Arya terbuka lebar, namun penghuninya sudah tidak ada. Lemari kosong. Koper sudah hilang.

Dyandra berdiri tengah ruangan itu, napasnya memburu. Wajah cantiknya merah padam karena amarah yang tidak terbendung. Di kakinya, pecahan vas bunga kristal mahal berserakan di lantai karpet.

“Berani-beraninya dia…” desis Dyandra, tangannya mencengkeram erat ponselnya hingga buku-buku jarinya memutih. “Demi perempuan kampung itu…dia ninggalin aku? Ninggalin kontrak triliunan?”

Bagi Dyandra, ini bukan sekedar patah hati. Ini adalah penghinaan. Egonya sebagai wanita sempurna yang selalu mendapatkan apa yang dia mau, hancur berkeping-keping.

Bayangan masa lalu—sebuah ingatan samar yang ia kira mimpi buruk—berkelebat di kepalanya. Ingatan tentang seorang Raja yang memalingkan wajah darinya demi memakan bubur buatan pelayan. Ingatan tentang tangannya yang berubah merah dan dipermalukan di depan umum.

“Tidak kali ini,” geram Dyandra. Matanya berkilat dengan kegilaan yang dingin. “Sejarah tidak akan terulang. Aku yang menulis naskahnya sekarang.”

Dyandra membuka aplikasi pelacak lokasi (GPS tracker) di ponselnya. Ia diam-diam sudah memasang aplikasi penyadap di ponsel Arya sejak lama.

Titik biru bertuliskan ‘Arya’ sedang bergerak cepat menuju Bandara Changi.

Dyandra menekan kontak bernama ‘Bimo-Eksekutor’.

Panggilan tersambung pada dering kedua.

“Halo, Bu Bos? Tumben telepon pagi-pagi,” suara serak dan berat menjawab di seberang sana.

“Bimo,” suara Dyandra datar tanpa emosi. “Arya sedang menuju Jakarta. Pesawatnya mendarat pukul satu siang nanti di Soekarno-Hatta.”

“Oke. Perlu dijemput?”

“Bukan dijemput,” potong Dyandra tajam. “Dicegat.”

Hening sejenak di ujung telepon.

“Maksud Ibu?”

“Saya mau dia mengalami…sedikit kendala di jalan tol,” Dyandra berjalan menuju jendela, menatap pemandangan kota yang mendung. “Buat kecelakaan kecil. Pepet mobilnya. Atau bikin bannya pecah. Apapun itu.”

“Bu, itu bahaya. Kalau dia mati gimana?”

“Dia nggak boleh mati!” Bentak Dyandra. “Saya cuma mau dia masuk rumah sakit. Patah kaki atau geger otak sedikit nggak masalah. Yang penting dia tidak bisa menemui perempuan itu hari ini.”

Dyandra tersenyum miring, senyum yang mengerikan.

“Kalau dia sakit, dia akan butuh saya. Saya yang akan merawatnya. Saya yang akan membayar biaya rumah sakitnya. Dia akan kembali bergantung pada saya.”

“Mengerti, Bu. Biayanya tiga kali lipat.”

“Saya bayar sepuluh kali lipat. Pastikan bersih. Jangan sampai polisi melacak ke saya.”

“Siap, laksanakan.”

Sambungan terputus.

Dyandra menurunkan ponselnya. Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Bayangan wanita modern berbalut gaun Dior itu seolah memudar, digantikan oleh bayangan wanita kuno berkemban hijau dengan tusuk konde emas yang tajam.

Dyah Ayu Sekar telah mengambil alih sepenuhnya.

“Maafkan aku, Arya,” bisik Dyandra pada angin kosong. “Kalau aku harus mematahkan sayapmu supaya kamu nggak bisa terbang ke dia…maka akan kulakukan. Kamu milikku. Dulu, sekarang, dan selamanya.”

Dyandra melangkah keluar kamar dengan dagu terangkat tinggi, meninggalkan kekacauan di belakangnya, siap menyusul ke Jakarta untuk menyaksikan hasil karyanya.

Galeri di Ujung Lorong.

Pukul 11.30 WIB. Sebuah Rumah Tua di Kawasan Menteng.

Mobil Dimas memasuki halaman sebuah rumah bergaya Indische Empire yang luas namun tampak tak terawat. Pohon beringin besar tampak menaungi halaman depan, memberikan kesan angker sekaligus sejuk.

“Ini rumah peninggalan eyang buyut saya,” jelas Dimas sambil mematikan mesin mobil. “Keluarga besar mau jual rumah ini karena katanya ‘berat’ auranya. Tapi saya ngotot pertahanin.”

Kirana turun dari mobil, memandang fasad bangunan putih yang catnya mulai mengelupas itu.

“Kenapa Mas Dimas mau pertahanin?”tanya Kirana.

Dimas tersenyum tipis. “Karena rasanya…rumah ini satu-satunya tempat di Jakarta yang waktunya berhenti. Cocok buat orang yang susah move-on dari masa lalu kayak saya.”

Mereka masuk ke dalam. Interior rumah itu penuh dengan perabot kayu jati tua yang ditutupi kain putih berdebu. Udaranya lembap, berbau buku lama dan cat minyak.

“Mbak Kirana istirahat di kamar tamu belakang ya. Aman, nggak ada jendela yang menghadap jalan raya,” kata Dimas. “Saya mau bikin teh dulu. Mbak suka teh melati kan? Gulanya sedikit?”

Kirana tertegun. “Mas tau darimana?”

Dimas mengangkat bahu santai, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang dalam. “Tebakan beruntung. Atau mungkin…kebiasaan lama.”

Sambil menunggu Dimas, Kirana berjalan-jalan di ruang tengah yang luas. Langkah kakinya menggema di lantai tegel kunci (motif keramik lantai).

Matanya tertuju pada sebuah ruangan di ujung lorong yang pintunya sedikit terbuka. Dari celah pintu, terlihat tumpukan kanvas dan bau cat yang menyengat.

Rasa penasaran mendorong Kirana mendekat. Ia mendorong pintu itu pelan.

Itu adalah studio lukis.

Puluhan lukisan berjejer di dinding dan di lantai. Lukisan abstrak, lukisan pemandangan, lukisan gedung.

Namun, ada satu lukisan besar di tengah ruangan yang ditutupi kain. Kainnya sedikit tersingkap di bagian bawah.

Kirana mendekat. Tangannya gemetar saat menyingkap kain penutup itu sepenuhnya.

Napas Kirana tercekat.

Itu adalah lukisan seorang wanita. Wanita itu mengenakan kebaya sederhana, rambutnya digelung asal-asalan, wajahnya belepotan tepung, dan ia sedang tertawa lebar sambil memegang sutil kayu di sebuah dapur tradisional yang penuh asap.

Wajah wanita itu…adalah wajah Kirana.

Tapi latar belakangnya bukan di dapur modern. Itu dapur kuno dengan tungku kayu bakar dan dinding anyaman bambu.

Di pojok kanan bawah kanvas, tertulis inisial kecil: D.P.2024.

“Itu mimpi saya,” suara Dimas terdengar dari ambang pintu.

Kirana menoleh kaget. Dimas berdiri disana memegang nampan berisi dua cangkir teh, wajahnya tenang namun sendu,

“Setiap malam, selama bertahun-tahun, saya mimpi melihat wanita itu,” Dimas berjalan masuk, meletakkan nampan di meja kecil. “Dia wanita yang aneh. Berisik. Suka ngomel. Tapi dia bikin suasana istana yang kaku jadi hidup.”

Dimas menatap lukisan itu, lalu menatap Kirana.

“Saya nggak pernah tau siapa dia. Saya pikir itu cuma imajinasi liar saya karena kebanyakan baca buku sejarah,” Dimas terkekeh pelan. “Sampai kemarin siang. Saya lihat kamu di proyek.”

Dimas melangkah mendekat, berdiri di samping Kirana.

“Cara kamu ketawa…cara kamu ngomel ke Arya…sama persis kaya wanita di lukisan ini.”

Kirana menatap lukisan itu dengan mata berkaca-kaca. Dulu, Pangeran Dipa melukisnya sebagai kenang-kenangan perpisahan. Sekarang, Dimas Pradipa melukisnya sebagai petunjuk pertemuan.

“Mas Dimas…” suara Kirana parau. “Lukisan ini…di masa lalu, judulnya Wanita yang Menaklukan Api dan Hati.”

Dimas tersenyum, kali ini senyumnya lebar dan tulus, persis seperti Pangeran Dipa.

“Kalau begitu, dugaan saya benar,” kata Dimas lembut. “Selamat datang kembali, Nyai Key. Maaf saya telat ngenalin kamu.”

Kirana tidak bisa menahan diri lagi. Ia memeluk Dimas erat-erat, selayaknya memeluk saudara yang hilang.

“Gue kangen banget sama lo, Mas Dipa!” Isak Kirana.

Dimas menepuk punggung Kirana canggung sejenak, lalu membalas pelukan hangat itu.

“Saya juga,” bisik Dimas. “Sekarang, minum tehnya dulu. Kita butuh tenaga. Karena sebentar lagi, Panglima kita bakal pulang dan ngamuk. Kita harus siap-siap bantuin dia beresin kekacauan ini.”

Di luar jendela, langit semakin gelap. Tapi di dalam rumah tua itu, sebuah aliansi lama telah bangkit kembali. Trio Majapahit (Kirana, Arya, Dipa) perlahan mulai utuh formasinya.

1
Roro
yeee ketemu lagi arya sama kirana
Roro
keren sumpah
NP
Makasih banyak ya kak 🥰🔥
Roro
wahhh ternyata nanti berjodoh di masa depan 😍😍😍
NP: 🤣🤣 tadinya mau stay di masa lampau kirana nya galau 🤭
total 1 replies
Gedang Raja
tambah semangat lagi ya Thor hehehe semangat semangat semangat
Roro
akan kah kirana tinggal
Roro
ayo thor aky tungu update nya
Roro
gimana yah jadinya, apa kita akan bakal pulang atau bertahan di era masa lalu.
NP: Hayoo tebak, kira kira Kirana pilih tinggal di masa lalu atau masa depan?
total 1 replies
Roro
Arya so sweet
Roro
panglima dingin.. mancair yah
NP
Ditunggu ya kak hehehe.. makasih udah suka cerita nya😍
Roro
aku suka banget ceritanya nya Thor, aku tunggu lanjutan nya
Roro
lanjut thor
Roro
kok aku suka yah sama karakter Kirana ini
Roro
ahhhsetuju Kirana
Roro
bagus ceritanya aku suka
Roro
keren thor
Roro
keren jadi semngat aku bacanya, kayak nya tertular semangat nya Kirana deh
NP: Makasih banyak kak Roro😍🙏
total 1 replies
Roro
fix Kirana berada di abad ke 14
Roro
jangan jangan Kirana sampai ke abad 14
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!