Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegelisahan di balik tinju
Brugh!
Xavier refleks menoleh. Matanya langsung menangkap sebuah foto dirinya bersama Calista yang tiba-tiba terjatuh ke lantai. Tak ada angin, tak ada siapa pun menyentuhnya, namun bingkai itu pecah, kaca-kacanya berserakan. Dada Xavier berdesir, firasat aneh menjalari pikirannya.
"Calista..." bisiknya lirih.
Ia buru-buru bangkit dari ranjang, memunguti pecahan kaca satu per satu. Namun, semakin ia membersihkan, semakin kuat perasaan tak tenang itu menghimpit dadanya. Sejak pulang sekolah tadi, Calista memang terlihat berbeda—seperti menyembunyikan sesuatu darinya.
Setelah semua kaca terkumpul, Xavier mengambil bingkai baru, lalu menyelipkan foto itu kembali. Pandangannya melembut, bibirnya melengkung tipis saat melihat senyum Calista di gambar. Saat itu mereka sedang piknik, Calista tampak begitu ceria.
"Ibu Peri..." gumamnya.
Dengan cepat Xavier meraih ponselnya, menekan nomor Calista. Satu kali, dua kali, hingga berkali-kali, namun tak juga diangkat. Suara nada sambung yang berulang justru membuat firasat buruknya kian menjadi.
"Dimana kamu, Calista?" desisnya resah.
Ia berdiri, lalu melangkah keluar kamar dengan terburu-buru.
"Xavier, kamu mau ke mana?" suara lembut Oma Saras terdengar. Wanita itu baru saja keluar dari kamarnya, menatap cucunya dengan heran.
Pemuda itu menoleh, menatap Oma dengan rahang mengeras. "Oma... Xavier gak bisa diam. Xavier harus tinju. Kalau nggak, Xavier bisa meledak."
Oma Saras menatapnya penuh iba, seakan ingin menenangkan. Namun, Xavier sudah melangkah cepat, meninggalkan Oma Saras, menuju suasana tinju tempat ia biasa melampiaskan semua kegelisahan.
Ruangan tinju di mansion itu sunyi, hanya ada suara rantai besi berderak setiap kali samsak terguncang. Xavier melempar pukulan bertubi-tubi, seakan hendak melampiaskan keresahan yang menyesakkan dadanya.
Brugh! Brugh!
Namun setiap kali tinjunya mendarat, bukannya lega, bayangan Calista justru makin kuat di kepalanya. Senyum lembut gadis itu... matanya yang diam-diam menyimpan luka... dan cara Calista menutup-nutupi rasa sakitnya.
Brugh!
Xavier berhenti sejenak, menunduk dengan napas memburu. Tangannya gemetar.
"Kenapa gue malah makin kepikiran..." gumamnya lirih. Ia kembali mengangkat tinjunya, memukul samsak lebih keras, tapi rasa khawatir itu semakin menusuk. Setiap kali ia menutup mata, ia melihat Calista yang pucat, Calista yang menahan sesuatu darinya.
Brugh!
"Lo lagi ngapain sekarang? Kenapa gue ngerasa ada yang salah sama lo, Calista..."
Keringat bercampur darah dari buku jarinya menetes ke lantai. Xavier menghentikan pukulan, menempelkan dahinya ke samsak yang bergoyang. Dadanya naik turun, matanya memejam kuat, seakan berusaha menangkap jawaban dari kegelisahan yang tak jelas sumbernya.
Di dalam hatinya, rasa takut itu semakin nyata. Bukan takut kalah, bukan takut dipukul balik—tapi takut kehilangan Calista.
♡♡
Di ruang rawat, tubuh Calista terbaring lemah dengan wajah pucat pasi. Selang oksigen menempel di hidungnya, membuat setiap tarikan napas terdengar berat. Monitor jantung di samping tempat tidur berbunyi teratur, tapi kadang melambat hingga membuat jantung Vero dan Nathan ikut mencelos.
Vero menggenggam tangan putrinya erat-erat, membelai lembut jari-jarinya yang dingin. Air matanya sudah tak terbendung lagi, jatuh menetes membasahi punggung tangan Calista.
"Bangun, Nak... Mama mohon, jangan tinggalin Mama," bisiknya parau.
Nathan berdiri di sisi lain ranjang, matanya sembab dan merah. Ia berusaha kuat, tapi suaranya pecah.
"Papa di sini, Sayang. Papa janji nggak akan biarin kamu sendiri lagi. Jadi tolong... buka matamu."
Namun Calista tetap terdiam. Hanya suara mesin medis yang terus menemani keheningan.
♡♡
Di ruang kerjanya, Dokter Rangga duduk dengan wajah penuh beban. Tangan kirinya menopang dahi, sementara tangan kanannya sibuk menekan layar ponsel. Ia sudah mengubungi beberapa rekan sejawat, bahkan mengirimkan permohonan lewat jaringan rumah sakit di luar kota.
"Tidak ada..." gumamnya lirih, setelah satu per satu panggilan berakhir dengan jawaban yang sama. Tidak ada donor yang cocok untuk Calista. Ia berdiri berjalan mondar-mandir di ruangannya. Sesekali ia membuka laptop, mengecek kembali data pasien di bank donor sum-sum tulang, berharap ada keajaiban—nama yang baru masuk, kecocokan mendadak muncul. Namun layar tetap menampilkan hasil nihil.
"Waktunya hanya tinggal sebulan..." suara itu nyaris seperti erengan putus asa.
Rangga memijat pelipisnya, merasa tangannya sedikit bergetar. Bayangan wajah pucat Calista terbaring di ranjang terus menghantuinya. Ia tahu, sebagai dokter ia harus kuat, harus jadi penopang harapan keluarga pasien. Tapi kali ini, bahkan hatinya pun ikut hancur.
Ia menarik napas panjang, menatap data pasien yang terpampang. "Ya Tuhan... tolong beri jalan."
♡♡
"Xavier..."
Xavier menghentikan pukulan terakhirnya, napasnya tersengal, keringat membasahi dahi dari lehernya. Ia menoleh melihat sosok Opa Arya mendekat dengan langkah mantap.
"Ada apa, Opa?" tanyanya, suaranya masih terdengar berat karena aktivitas tadi.
Opa Arya menatapnya sejenak, lalu berkata dengan nada tenang namun tegas, "Kita harus ke markas sekarang. Di sana, kau bisa menyalurkan semua kegelisahanmu dengan cara yang tepat."
Xavier mengerutkan kening, masih ingin bertanya lebih jauh, tapi sebelum sempat melontarkan kata, Opa Arya sudah berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Xavier dengan perasaan campur aduk.
Xavier menarik napas panjang, menatap tangannya yang masih merah dan lecet karena pukulan. Ada rasa lega, tapi juga gelisah yang tak kunjung hilang. Ia mengikutinya, menyusuri lorong mansion dengan langkah berat, pikirannya terus tertuju pada Calista.
♡♡
Xavier duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela mobil mewah yang dikemudikan Opa Arya. Jalanan sepi di malam hari seakan menambah kesunyian di dalam kabin. Sesekali Xavier menatap ponselnya, berharap ada balasan dari Calista, tapi layar kosong. Wajahnya datar, mata tak lepas dari layar, sementara tangannya menahan kegelisahan yang terus menghimpit.
Perjalanan terasa panjang. Angin malam yang masuk melalui kaca mobil hanya menambah dingin suasana hati Xavier. Opa Arya sesekali melirik ke arahnya, tapi tak berkata banyak. Mereka berdua memahami, ada beban yang tidak bisa di ungkapkan hanya dengan kata.
Beberapa puluh menit kemudian, mobil menepi di kawasan terpencil. Di balik gerbang besi yang tinggi dan kokoh, terlihat markas yang luas membentang, jauh dari hiruk piruk kota. Bangunan-bangunan besar berpadu dengan lapangan latihan dan area terbuka, semuanya tertata rapi dengan pengawasan maksimal. Pohon-pohon tinggi dan tembok tebal menambah kesan privat dan aman.
Begitu pintu mobil terbuka, Xavier terhenyak. Puluhan pengawal berseragam berdiri rapi di sepanjang jalan masuk, memberi penghormatan dengan sikap disiplin. Ini pertama kalinya Xavier menjejakkan kaki di markas ini, dan aura kekuatan serta kedisiplinan begitu terasa.
Opa Arya menepuk bahu Xavier, memberi isyarat agar ia mengikuti. "Selamat datang di markas, Xavier. Di sini, kau bisa belajar mengendalikan diri, sekaligus menyalurkan semua yang ada di dalam hatimu," ucapnya dengan nada tegas namun hangat.
Xavier mengangguk pelan, matanya menatap setiap detail markas yang luas itu. Setiap langkahnya terasa berat namun mantap—ini bukan sekedar latihan fisik, tapi juga perjalanan menaklukkan emosi dan kegelisahan yang menumpuk sejak kejadian Calista.
jangan lupa Vote😭🫡🙏🥰