Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1 fajar di desa asri
Subuh belum sepenuhnya menyingkap kegelapan ketika Fajar Baskara sudah terbangun. Tidak ada alarm yang membangunkannya—tubuhnya sudah terbiasa bangun di jam yang sama setiap hari, seolah ada jam biologis yang tidak pernah terlambat sedetik pun. Di usianya yang baru menginjak sembilan belas tahun, Fajar sudah merasakan beban hidup yang bahkan orang dewasa sekalipun belum tentu sanggup menanggungnya.
Kakinya yang kurus namun berotot melangkah pelan di lantai rumah bambu yang sudah lapuk, berusaha tidak menimbulkan suara. Setiap papan bambu di rumah tua ini punya suaranya sendiri—ada yang berderit keras, ada yang hanya berbunyi pelan. Fajar sudah hafal mana yang harus diinjak dan mana yang harus dihindari agar tidak membangunkan ayah dan adiknya yang masih tidur.
Ia melongok ke kamar kecil di ujung rumah. Ayahnya, Pak Wira Baskara, terbaring kaku di kasur tipis yang sudah kempes. Wajah yang dulu penuh senyum itu kini hanya menatap kosong ke langit-langit rumah yang bolong di beberapa bagian. Kursi roda tua yang cat birunya sudah mengelupas berdiri diam di sudut ruangan, seperti simbol penderitaan yang tidak pernah berakhir.
"Masih gelap, Nak. Istirahat dulu," suara ibunya, Bu Nirmala, tiba-tiba terdengar dari dapur.
Fajar menoleh. Ibunya sudah lebih dulu bangun, sedang menyalakan kompor minyak tanah yang apinya sering padam karena sumbunya sudah usang. Wajah Bu Nirmala yang dulunya cantik kini terlihat sangat lelah. Kulitnya kusam, tangannya kasar penuh kapalan, rambutnya yang dulu hitam legam kini mulai beruban meskipun usianya baru empat puluh lima tahun. Tapi matanya—matanya masih memancarkan kehangatan yang tidak pernah pudar meskipun hidup terus memukulnya dengan kejam.
"Ibu sudah bangun duluan," Fajar tersenyum tipis sambil menghampiri ibunya. "Biar aku saja yang nyalain kompor. Ibu istirahat."
"Tidak apa-apa. Ibu sudah biasa." Bu Nirmala mengusap kepala anaknya dengan lembut, meskipun tangannya gemetar menahan lelah. "Cucian Pak Lurah sama Bu Darmi sudah siap dari kemarin sore. Tinggal dibilas lagi biar lebih bersih. Kamu bantu Ibu ya?"
Fajar mengangguk. Ia tahu, dua tumpukan besar pakaian kotor itu adalah sumber penghasilan utama keluarganya minggu ini. Ibu dibayar lima belas ribu rupiah per tumpukan. Tiga puluh ribu rupiah untuk makan satu minggu bertiga—tidak, berempat, karena ayah juga harus makan meskipun tidak bisa bekerja.
Mereka berdua keluar rumah menuju sumur tua di belakang. Fajar mengambil alih tugas ibunya yang biasanya menimba air. Tangannya yang masih muda jauh lebih kuat. Satu ember, dua ember, tiga ember... hingga bak besar di samping sumur penuh. Air sumur itu jernih tapi sangat dingin di pagi buta seperti ini, membuat jari-jari Fajar mati rasa setiap kali menyentuhnya.
"Jar..." suara lirih terdengar dari arah rumah.
Rani—adik perempuannya yang berusia enam belas tahun—berdiri di ambang pintu dengan mata sembab. Fajar tahu, adiknya itu baru selesai menangis. Lagi. Sudah hampir sebulan sejak Rani dikeluarkan dari sekolah karena dituduh mencuri uang guru. Padahal Fajar tahu persis, adiknya tidak mungkin melakukan itu. Tapi siapa yang mau percaya pada anak keluarga miskin?
"Kenapa belum tidur, Dik?" Fajar berusaha tersenyum, meskipun dadanya sesak melihat mata adiknya yang kehilangan cahaya.
"Tidak bisa tidur, Kak." Rani melangkah mendekat, mengambil sabun cuci dari tangan ibunya. "Biar aku yang bantu nyuci. Kakak istirahat. Sebentar lagi kan berangkat ke kota untuk daftar ulang kuliah."
Kata 'kuliah' itu terasa seperti pisau yang menusuk dada Fajar. Ya, dia memang dapat beasiswa penuh untuk kuliah di Universitas Adidaya, kampus bergengsi di Kota Gemilang. Tapi beasiswa itu hanya menanggung uang kuliah. Biaya hidup, kos-kosan, makan sehari-hari—itu semua tanggungan sendiri. Dan keluarganya? Bahkan untuk makan saja mereka harus berhitung ketat.
"Kakak harus kuliah, Ran," Bu Nirmala bersuara tegas sambil terus menggosok pakaian di atas batu datar. "Ini kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Kalau Kakak tidak ambil, kita akan selamanya terpuruk di sini."
"Tapi uangnya dari mana, Bu?" Rani bertanya dengan suara bergetar. "Kita bahkan tidak tahu makan besok dari mana."
Bu Nirmala terdiam. Tangannya berhenti menggosok. Fajar melihat air mata mulai menggenangi pelupuk mata ibunya, meskipun wanita tangguh itu berusaha keras menahannya. Fajar merasakan dadanya seperti diremas-remas. Ia ingin menangis, tapi ia tahu—ia tidak boleh. Ia harus kuat. Untuk ibu. Untuk ayah. Untuk Rani.
"Ibu sudah siapkan," Bu Nirmala akhirnya bersuara pelan. "Sawah kakek yang masih tersisa... Ibu gadaikan kemarin ke rentenir. Dapat tiga juta. Itu cukup untuk ongkos ke kota dan biaya hidup Fajar tiga bulan pertama. Setelah itu... kita percayakan sama Yang Maha Kuasa."
"TIDAK!" Fajar berteriak spontan. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Itu sawah terakhir kita, Bu! Kalau digadaikan, kita kehilangan segalanya!"
"Kalau kamu tidak sekolah, kita juga kehilangan segalanya, Jar." Ibunya menatap lurus ke mata Fajar. Tatapan itu penuh tekad yang tidak bisa digoyahkan. "Sawah bisa dicari lagi. Tapi kesempatan seperti ini? Tidak akan datang lagi."
Fajar merasa dunia berputar. Tangannya gemetar. Ia ingin marah, tapi ia juga tahu ibunya melakukan ini karena cinta. Ia ingin menolak, tapi ia juga tahu—ini satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan yang mencengkeram keluarganya.
Pagi itu, mereka bertiga mencuci pakaian dalam diam. Hanya terdengar suara air yang mengalir, sabun yang bergesekan dengan kain, dan sesekali isak tangis pelan dari Rani yang berusaha ditahan.
Ketika matahari mulai terbit, Fajar masuk ke kamar kecilnya. Ia membuka tas usang warisan kakeknya, mengeluarkan selembar kertas yang sudah dilipat rapi. Surat penerimaan beasiswa dari Universitas Adidaya. Di sana tertulis namanya dengan huruf tebal: FAJAR BASKARA - BEASISWA PENUH PRESTASI AKADEMIK.
Ia menatap surat itu lama sekali.
"Suatu hari nanti," bisiknya pelan, suaranya bergetar menahan tangis. "Suatu hari nanti, aku akan membuktikan pada dunia ini bahwa kami—keluarga yang direndahkan, dihina, dan dicaci—bisa melangit lebih tinggi dari siapapun."
Air matanya jatuh membasahi kertas itu. Tapi kali ini, bukan air mata keputusasaan. Ini adalah air mata tekad yang membara.
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.