Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.
Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.
Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.
Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.
Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16: Tinta Darah di Panggung Kematian
Aula Pendaftaran Turnamen yang terletak di kaki gunung Puncak Utama lebih mirip seperti pasar hewan daripada tempat berkumpulnya para calon pendekar dimasa depan.
Ribuan murid berdesak-desakan di ruangan yang pengap itu. Ada aroma keringat masam, aroma minyak pedang murah, dan sebuah ambisi yang memuakkan bercampur menjadi satu, menciptakan udara panas yang lengket di kulit. Suara teriakan, makian, dan tawar-menawar poin kontribusi berdengung seperti sarang lebah yang sedang marah.
Di tengah kekacauan itu, Ling Tian melangkah masuk. Dia seperti batu karang yang membelah arus sungai.
Di punggungnya, terikat sebuah benda panjang yang dibungkus kain goni kasar dan kotor. Bentuknya tidak menyerupai pedang, lebih mirip peti mati kecil atau nisan batu. Setiap langkah kakinya—DUM, DUM—menghasilkan getaran rendah yang membuat murid-murid di sekitarnya menyingkir secara naluriah, meski mereka tidak tahu kenapa.
Ling Tian mengabaikan antrean panjang yang mengular. Dia berjalan lurus menuju meja pendaftaran utama yang terletak di atas podium kayu tinggi.
Di sana, Diaken Zhao duduk dengan jubah resmi Divisi Logistiknya. Dia sedang menyeruput teh, sesekali mencoret nama di gulungan pendaftaran dengan wajah bosan yang dibuat-buat.
Ling Tian berhenti di depan meja itu. Bayangannya menutupi cahaya matahari yang menyinari buku catatan Zhao.
"Nama: Ling Tian. Status: Pelayan," kata Ling Tian datar.
Diaken Zhao tidak mendongak. Tangannya tetap memegang kuas tinta, melayang di atas kertas.
"Antrean ada di belakang, Pelayan," ujar Zhao pelan, nadanya penuh penghinaan yang disembunyikan di balik wajahnya. "Dan kalau kau tidak buta huruf, kau bisa baca pengumuman di dinding. Pendaftaran murid pelayan sudah ditutup satu jam yang lalu."
Ling Tian tidak beranjak. Dia meletakkan Koin Giok Hijau, sebuah koin yang dia peras dari Zhao kemarin di atas meja.
Tak.
"Satu jam yang lalu?" Ling Tian memiringkan kepala, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. "Aneh. Saya baru saja melihat dua pelayan dari Divisi Dapur mendaftar lima menit lalu. Apakah jam di ruangan ini berjalan mundur khusus untuk saya?"
Diaken Zhao akhirnya mengangkat wajahnya. Mata tikusnya menyipit, menatap Ling Tian dengan kebencian yang dingin.
"Itu karena mereka punya surat rekomendasi khusus," Zhao meletakkan kuasnya. "Ada aturan baru, Ling Tian. Pelayan yang ingin ikut serta harus memiliki rekomendasi tertulis dari seorang Tetua. Apa kau punya? Kalau tidak, enyah dari sini sebelum aku panggil pengawal."
Ling Tian terdiam. Dia tahu ini bukan aturan sekte. Ini adalah rencana yang dibangun Zhao khusus untuknya. Rencana yang tidak bisa diruntuhkan hanya dengan mengandalkan kekuatan otot melainkan dengan otoritas.
"Kau benar-benar tidak mau aku ikut, ya?" bisik Ling Tian. "Apa kau takut keponakanmu yang berharga itu kalah lagi?"
"Jaga mulutmu!" bentak Zhao.
"Siapa bilang aku takut? Biarkan dia mendaftar, Paman."
Li Wei membelah kerumunan. Kakinya yang patah kemarin sudah sembuh total berkat obat-obatan mahal keluarganya. Dia berjalan tegap, dagunya terangkat tinggi, penuh percaya diri. Tidak terlihat seperti orang yang baru saja dipermalukan.
"Ling Tian," Li Wei tersenyum miring. "Aku akui, fisikmu kuat. Tapi di panggung turnamen, tenaga kasar tidak ada gunanya melawan teknik pedang sejati. Aku memberimu satu kesempatan Duel Hidup-Mati. Sekarang."
"Jika kau menang, pendaftaranmu lolos plus 500 Batu Spirit. Jika kalah..." Li Wei membuat gerakan menggorok leher.
Kerumunan heboh. Ling Tian menatap Li Wei, tampak diwajahnya terpancar aura arogansi yang ditopang oleh sesuatu yang mungkin disembunyikannya.
"Baik," jawab Ling Tian singkat.
Dia menggigit jempolnya, menempelkan cap darah di atas kontrak tersebut.
"Siapkan keranda, Diaken," bisik Ling Tian pada Zhao. "Keponakanmu mungkin akan pulang dalam bentuk potongan daging."
Panggung Hidup-Mati.
Ling Tian dan Li Wei berdiri berhadapan.
"MULAI!" teriak salah seorang tetua.
Li Wei langsung bergerak maju. Dia tidak menggunakan trik aneh. Dia hanya menggunakan teknik andalannya.
"Teknik Pedang Tebasan Angin!"
Srat! Srat!
Dua bilah angin Qi melesat cepat namun standar dimata Ling Tian.
Ling Tian tidak menghindar. Dia hanya memiringkan tubuhnya sedikit seperti sedang menghindari ranting pohon saat berjalan santai.
Wush. Serangan itu meleset.
"Apa?!" Li Wei kaget. Dia menyerang lagi, kali ini dengan serangan bertubi-tubi. Pedangnya menari liar, mencoba menyudutkan Ling Tian.
Tapi Ling Tian layaknya seorang hantu. Dia bergerak di sela-sela tebasan pedang Li Wei tanpa mengeluarkan senjatanya. Dia bahkan masih menggendong pedang besinya yang terbungkus kain di punggung.
"Cuma segini?" tanya Ling Tian, menguap di tengah pertarungan. "Latihanmu selama ini cuma memotong kue atau ala?"
"DIAM!" Li Wei menusuk lurus ke jantung.
TAK.
Kemudian Ling Tian menangkap bilah pedang Li Wei dengan dua jari tangan kirinya.
Li Wei dengan panik mencoba menarik pedangnya namun tidak bergerak sedikitpun.
"Lemah," kata Ling Tian. Dia menjentikkan jarinya ke bilah pedang itu.
TING!
Getaran keras merambat ke gagang pedang, membuat tangan Li Wei kesemutan hebat hingga pedangnya terlepas jatuh.
BUK!
Ling Tian menendang perut Li Wei dengan santai.
Li Wei-pun terpental mundur, berguling-guling di lantai panggung yang kasar. Dia berhenti di ujung panggung dan mulai terbatuk-batuk. Wajahnya memerah padam karena malu. Ribuan murid bahkan menertawakannya.
Dia telah kalah telak. Secara teknik, secara tenaga juga kalah secara mental.
"Sialan... Sialan...!" Li Wei gemetar. Matanya melirik ke arah Diaken Zhao di pinggir panggung.
Zhao mengangguk pelan, wajahnya berubah gelap.
Kilas Balik - Satu Jam Sebelumnya.
Di ruang rahasia Divisi Logistik yang remang-remang.
Li Wei duduk dengan wajah putus asa.
"Paman, aku tidak bisa mengalahkannya. Fisiknya itu aneh. Lusa lalu dia mematahkan tulangku seperti sedang mematahkan sebuah ranting pohon."
Diaken Zhao meletakkan sebuah kotak kayu kecil di meja. Di dalamnya, ada satu butir pil berwarna merah darah yang berdenyut.
"Ini adalah 'Blood Burning Pill' (Pil Pembakar Darah)," bisik Zhao. "Barang terlarang dari pasar gelap."
"I-itu kan obat bunuh diri!" Li Wei mundur ketakutan. "Itu membakar sepuluh tahun umur pemakainya!"
"Tapi itu memberimu kekuatan dua tingkat di atasmu selama satu jam," Zhao menatap tajam keponakannya. "Dengar, Wei-er. Kalau kau tidak membunuh bocah pelayan itu hari ini, reputasi kita hancur. Kau akan jadi bahan tertawaan selamanya. Lebih baik kehilangan sepuluh tahun umur daripada hidup sebagai pengecut, kan?"
Li Wei menatap pil itu. Kebenciannya pada Ling Tian membakar akal sehatnya.
"Baik, Paman. Aku akan memakannya jika situasi terdesak."
Kilas Balik Selesai.
Di atas panggung, Li Wei merogoh saku tersembunyi di balik sabuknya.
"Kau memaksaku, Ling Tian..." desisnya. "KAU MEMAKSAKU!"
Li Wei menelan pil merah itu bulat-bulat.
GLUK.
Satu detik berlalu.
Lalu... BOOOM!
Jantung Li Wei berdetak tak wajar. Matanya yang hitam berubah menjadi merah menyala. Urat-urat di seluruh tubuhnya menonjol, menggeliat seperti cacing di bawah kulit.
Aura merah darah meledak dari tubuhnya, menghempaskan debu di sekitarnya.
Kultivasinya melonjak gila-gilaan.
Qi Condensation Tingkat 1... Tingkat 2... Tingkat 3 Puncak!
"GRAAAH!" Li Wei meraung seperti binatang buas. Rasa sakit dan kekuatan bercampur jadi satu. Dia memungut pedangnya. Kali ini, pedang itu diselimuti aura merah pekat setebal satu meter.
Kerumunan penonton berteriak kaget. "Itu obat terlarang!" "Dia curang!"
Diaken Zhao tersenyum licik. 'Curang? Di panggung hidup mati tidak ada kata curang.'
Li Wei menatap Ling Tian dengan mata gilanya. "SEKARANG, SIAPA YANG LEMAH?!"
"TEBASAN PEMBAKAR DARAH!"
Li Wei melompat tinggi, menebas dengan kekuatan penuh yang dilipatgandakan efek obat. Gelombang energi merah raksasa melesat ke arah Ling Tian, siap membelah panggung menjadi dua.
Ling Tian mendongak. Angin merah itu meniup rambutnya. Tidak ada raut wajah takut sedikitpun. Sebaliknya... dia justru tersenyum. "Akhirnya," gumam Ling Tian. "Ada sedikit bumbu pedas."
Ling Tian meraih bungkusan di punggungnya. Dan mulai menariknya ke depan.
Gelombang energi Li Wei menghantam bungkusan itu.
DUAR!
Kain goni pembungkusnya hancur lebur menjadi serpihan debu. Namun, serangannya berhenti di sana.
Di balik kain itu, muncul wujud asli senjata Ling Tian. Sebatang logam hitam raksasa, kasar, dan penuh dengan karat merah. Embrio Pedang Void.
Benda itu menyerap ledakan energi Li Wei tanpa tergores sedikit pun.
"Apa?!" Li Wei yang masih melayang di udara terbelalak.
Ling Tian memegang gagang pedang raksasa itu dengan satu tangan. Otot lengannya membesar, urat-urat birunya bersinar.
"Obatmu bagus, Li Wei," kata Ling Tian dingin. "Tapi tubuhmu tetaplah sampah."
"Teknik Pedang Berat PENGHANCUR GUNUNG!"
Ling Tian tidak menunggu Li Wei mendarat. Dia segera melompat menyongsong musuhnya di udara. Pedang raksasa itu diayunkan layaknya ayunan pemukul lalat.
Li Wei mencoba menangkis dengan pedang Spirit-nya.
TRAAANG!
Pedang Li Wei hancur berkeping-keping saat bersentuhan dengan batang besi hitam itu.
Dan ayunan Ling Tian tidak kunjung berhenti.
BUAAAGH!
Besi hitam itu menghantam dada Li Wei telak di udara.
Suara tulang rusuk, tulang dada, dan tulang belakang yang hancur serentak terdengar mengerikan. Seperti suara kerupuk yang sedang diremas.
"UHOK!"
Darah segar menyembur dari mulut Li Wei, memandikan wajah Ling Tian.
Tubuh Li Wei terpental ke bawah, menghantam lantai panggung dengan kecepatan peluru.
BLAAARR!
Lantai panggung retak membentuk sebuah kawah kecil.
Li Wei terbaring di tengah kawah itu. Tampak dadanya cekung ke masuk ke dalam. Napasnya... sudah tidak ada. Pil itu mungkin memberinya kekuatan instan, tapi tubuhnya yang hancur tidak bisa menahannya. Jantungnya meledak akibat dampak pukulan Ling Tian.
Ling Tian mendarat dengan mulus di sisi kawah. Dia menyandarkan pedang raksasanya di bahu, darah Li Wei menetes dari ujung besinya.
Seketika penonton ternganga dan suasana pun sunyi senyap.
Bahkan Diaken Zhao berdiri mematung di pinggir panggung. Rencana yang telah diaturnya sudah sempurna, terutama obatnya itu. Tapi keponakannya tetap mati seperti lalat.
"TIDAAAAK!" Zhao akhirnya menjerit, berlari ke arah mayat itu. "WEI-ER!"
Ling Tian tidak menyingkir. Dia hanya berdiri menghalangi jalan Zhao.
Dia menatap Diaken itu dengan mata dingin, terpancar sepasang mata seorang predator yang baru saja selesai makan dan masih lapar.
Ling Tian mengulurkan tangan kirinya yang berlumuran darah.
"Pertarungan selesai," kata Ling Tian datar.
"Mana 500 Batu Spirit saya? Dan stempel formulir itu sekarang."
"Atau..." Ling Tian melirik mayat Li Wei yang hancur, lalu kembali menatap Zhao.
"...kau mau menyusulnya?"