Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penggaris Samurai
Ruangan kerja Bram sore itu hening, hanya ditemani dengungan AC berjuang melawan kesunyian saat karyawan lain satu per satu meninggalkan kantor. Nadira berdiri ragu di ambang pintu. Sudah dua minggu ia mencari jawaban tentang keberadaan Raga, dan Bram adalah satu-satunya harapan. Bagaimanapun, ia harus mendesaknya.
Laki laki itu mengangkat wajahnya pelan dari balik tumpukan berkas. Sikunya terangkat, memberinya kesan berwibawa, meski tangan kirinya gemetar tak terkendali.
"Dira… tutup pintunya bapak mau bicara," bisiknya lirih.
Nadira merasakan gelombang firasat buruk merayapi, nada serius Bram terlalu pekat dan dalam. Ia duduk, menunggu.
Laki laki itu menarik napas dalam-dalam—perutnya seakan tidak terima menerima kenyataan pahit untuk membuka percakapan.
"Dira… ada sesuatu yang sebenarnya… Bapak sembunyikan."
"Pak Bram tahu Raga di mana?Kuduknya naik beberapa senti, Kenapa dua minggu ini tidak ada kabarnya? Bapak yang mengizinkan dia cuti, kan?"
Ia mengangguk, namun tidak langsung menjawab. Matanya melirik ke arah kaca jendela di sampingnya, memastikan tidak ada bayangan aneh yang mengintai,
"Begini, Dira… Bapak memang memberi izin Raga pulang kampung. Hanya saja… ini bukan cuti biasa, katanya ada urusan keluarga yang… tidak nyaman kalau hanya dijelaskan lewat telepon."
Gadis itu menyimak sembari menatap wajahnya yang pucat,
Bram menelan ludah. "Tapi itu bukan masalah utamanya, Dira… bukan itu." Tubuhnya condong ke depan, suaranya merendah. "Kantor ini… semenjak Raga tidak masuk… ada yang berubah."
"Berubah bagaimana, Pak?" Teman teman biasa aja, cuma bapak aja bertambah gemuk.
" Hus ..kamu ya, bapak potong bonus bulananmu, " Ia mendelik
Gadis tertawa menutup mulutnya, sementara Bram mengusap keningnya, suaranya semakin mengecil. "Bapak bukan tipe orang yang percaya hal-hal aneh, Dira. Bapak ini… orangnya logis realistis
Nadira menahan diri untuk tidak berkomentar, mengingat semua orang di kantor tahu bahwa Bram seorang penakut ulung seringkali 'halu' jika lampu mati pipis di celana.
"Tapi selama dua minggu ini seperti ada yang memanggil-manggil nama Raga hampir setiap malam."
"Lho ? mungkin bapak kangen ma raga? Karena itu bapak memanggil namanya. "
" Bukaaan itu, Nadiraa.."Bram terlihat jengkel alisnya terangkat beberapa senti, " kamu mau gak denger bapak?"
"Ia siap siap, pak Bos,"ucapnya tersenyum simpul. Padahal hatinya bergetar ketir
"Itu dia!" Suara Bram meninggi sebelum kembali merendah, "Bapak kira OB lembur membuat keributan, ternyata tidak ada siapa-siapa."
" Maksudnya Pak?"
Ia melanjutkan, dengan nada semakin parah. "Semalam…"
"Semalam apa, Pak?" Nadira mengernyit menunggu penasaran m
"Bapak mendengar suara perempuan bernyanyi di _pantry_… suaranya lembut
mendayu dayu.."
" Ha? Ia memasang telinganya lebih dalam, "Mungkin itu Dwitri, Pak, Office Girl, hobby nya memang benyanyi sebelum pulang masa' bapak gak ingat."
"Ini malam, Nadira...Bram menggeleng kepalanya, " Gak ada OB, kamu semakin lama gak nyambung."
" Trus..."
"'Ketika Bapak masuk—kosong, tumbler Raga yang biasa ia pakai… tiba-tiba menggelinding sendiri ke lantai."
" Ha? " Nadira menutup mulutnya.
Bram memukul meja kecilnya. " Bapak mesti jujur padamu, Dira, hanya kamu yang dekat dengan Raga, walaupun kamu sering ditolak cinta."
" Asem, " Nadira menggerutu, ujung ujungnya malah gak enak."Saya cuma bersahabat dengan Raga, Pak."
" Berarti...Mata Bram menatapnya lekat, " kamu ...
Gadis itu mencibir, dalam situasi seperti ini genit nya gak ilang, "Maaf pak, saya udah di tunangkan dengan konglomerat Dubai, pengusaha ekspor impor unta.."
" What? "
Nadira ngikik matanya berair menahan tawa, " Udah pak? Kalau gak saya keluar nih."
" Oke...oke, Bapak tidak tahu itu apa, Tapi Bapak takut, kamu..."
"Kenapa saya?!"
"Karena… suara itu sempat berkata… 'di mana perempuan … yang selalu dekat dengan Raga?'"
Wajah Nadira memutih, lipstik memudar menjadi gula aren, " Bapak jangan aneh aneh, ah."
Bram melanjutkan seperti mendramatisir "Bapak rasa… ada rahasia kelam yang wajib kamu ketahui."
"Rahasia apa, Pak…?"
Ia menatap kosong ke arah jendela kantor gelap. "…tentang perempuan yang pernah… muncul di CCTV kantor. Sosok yang… tidak ada di ruangan itu."
Nadira bergidik, menyesal bertemu dengan Bram.
\=\=\=
Malam itu kantor sudah sepi. Lampu neon berdesir pelan, seperti napas panjang gedung tua yang sudah lelah. Bram masih bertahan karena alasan klasik: “Bapak harus pastikan laporan ini rapi.”
Sebenarnya, Nadira sudah mengajaknya pulang sejam yang lalu. " Pak Bram, lembur sendirian di kantor ? Berani.
"Eh, Nad...kamu jangan nakut nakutin bapak, ya, " wajahnya berubah pucat.
" Lha ? Gadis itu mengernyit, " bapak sendiri yang mengatakan ada gadis misteri yang muncul."
Bram terdiam, baik dikantor maupun dirumah saja, apartemennya saat ini kosong, teman sekamarnya sedang pulang kampung, ini lebih berbahaya, lebih baik ia di kantor masih ada sekuriti dan karyawan beda kantor lembur, " Gak pa pa Nad, bapak aman kok, udah bapak siapkan garam, cabe ma bawang .."
" Bapak mau masak mie ? "
"'Ya Tuhan, Nadia, itu untuk mengusir hantu, " Ia menggaruk garuk kepalanya yang ketombean.
"Pak, hantu udah gak takut ama garam, mereka lebih takut dengan handphone, "
" Lho kenapa bisa begitu ?"
" Aih bapak katrok, mereka takut viral, bapak posting di IG atau Twitter, "
Bram ketawa terbahak bahak, rasa takutnya berangsur turun, " Udah Nad, bapak mau ngetik dulu, nanti kalau ada apa apa bapak telpon ya."
\=\=\=
Bram menyeduh kopi sachet di pantry. Lampu pantry berkedip tiga kali. Ia langsung membeku seperti kambing melihat laser pointer.
“Siapa itu…?”
Tidak ada jawaban. Hanya AC yang berbunyi kreekk…
Laki laki itu menelan ludah, melangkah mundur— tanpa sengaja menginjak ekor pel mop, tubuhnya mengambang jatuh ke lantai dengan elegannya seperti katak terguling.
Ia menjerit kesakitan, 'Tuhan, tolong !'
Namun tidak ada yang mendengar teriakannya malah terdengar samar suara lembut berbisik dari balik tembok memanggil nama seseorang
“Ragaaaa…”
Ia tercekat, kabur ke ruang kerjanya menutup pintu menempelkan punggungnya ke dinding dengan napas tersengal-sengal.
Tok..tok..tok...
“Ngg… nggg… siapa?”
Tak ada balasan.
Bram meraih penggaris panjang—senjata pamungkas menempelkan telinganya ke pintu—
Din.
Lampu ruangannya mati.
“Y—!”
Angin dingin mengusap tengkuknya, hidungnya menangkap sesuatu…bau melati, manis, tipis, kain kafan orang mati.
“Siapapun itu… tolong… jangan ganggu saya … saya cuma duda tua gak punya anak, kalau naksir bilang."
Ring..ring..krincing ...suara gemerincing gelang kaki semakin mendekat
Bram spontan memejamkan mata sambil mengangkat penggaris.
“Saya kasih tau ya…saya punya… punya…”
Ia tak punya apa-apa sebenarnya, tapi tetap mencoba terlihat berwibawa.
“…punya amal jariyah!”
Tiba-tiba—klik—lampu menyala lagi.
Ruangannya kosong… kecuali kursi tempat Raga biasa duduk… berayun pelan syahdu.
Ia menjerit lirih seperti bebek ketindihan pintu keluar kantor sambil memegang penggaris samurai gagal.