Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Dengan Sang Naga
Suara Chef Gao adalah bilah es yang menusuk punggung Han Qiu, membekukan setiap tetes darah di pembuluhnya. Nampan pernis emas di tangannya tiba-tiba terasa seberat seakan yang di bawah adalah batu besar. Ia tidak perlu berbalik untuk tahu siapa pemilik suara itu; nada dingin yang merampas semua kehangatan dari udara sudah menjadi ciri khas yang terpatri dalam mimpi buruknya.
Seluruh rencananya yang cermat, setiap langkahnya yang penuh risiko, kini runtuh di ambang pintu kemenangan.
Perlahan, dengan kekakuan boneka kayu, Han Qiu memutar tubuhnya. Di sana, di bawah cahaya lentera koridor yang remang, Chef Gao berdiri. Ia tidak datang dari arah dapur. Ia muncul dari bayang-bayang pilar di seberang, seolah ia adalah bagian dari arsitektur istana yang senyap dan mengancam.
Wajahnya tampak seperti topeng porselen tanpa ekspresi, tetapi matanya berkilat dengan dingin. Ia tahu. Entah bagaimana, ia tahu.
"Chef... Gao," bisik Han Qiu, suaranya serak seolah baru saja menelan pasir.
"Kau pikir aku tidak akan menyadarinya?" Gao melangkah maju, sol sepatunya yang lembut tidak menimbulkan suara, membuatnya tampak melayang di atas lantai batu.
"Aroma cuka yang terlalu tajam di tempat cucian. Langkah kakimu yang tergesa-gesa. Dan kasim bodoh itu... membuat keributan yang begitu kentara. Kau pikir aku sebodoh itu?"
Setiap kata adalah paku yang ditancapkan ke dalam peti mati Han Qiu. Ia telah diremehkan, dan kini ia tertangkap basah.
"Aku... aku tidak mengerti maksud Anda," Han Qiu mencoba, sebuah kebohongan yang lemah dan putus asa.
Gao tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya.
"Tentu saja kau tidak mengerti. Tugasmu bukan untuk mengerti, tugasmu adalah untuk patuh." Ia berhenti tepat di depan Han Qiu, tatapannya jatuh ke nampan yang tertutup.
"Berikan itu padaku."
Jantung Han Qiu mencelos. Inikah akhirnya? Semua usahanya akan berakhir di sini, disita dan dibuang sebelum sempat mencapai tujuannya. Ia tanpa sadar mengeratkan genggamannya pada nampan.
Melihat penolakan kecil itu, mata Gao menyipit.
"Jangan membuatku mengulanginya. Namun," ia berhenti sejenak, seolah sebuah ide yang lebih kejam baru saja terlintas di benaknya,
"tidak. Kau tetap yang akan membawanya. Aku akan mengantarmu masuk. Aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kau menyajikan mahakarya sterilku kepada Yang Mulia. Tanpa ada satu pun kesalahan."
Ancaman itu lebih mengerikan daripada penyitaan. Gao tidak ingin hanya menghentikannya; ia ingin menyiksanya. Ia ingin Han Qiu berjalan di atas tali, dengan Gao sendiri yang memegang gunting di ujungnya. Han Qiu tidak punya pilihan. Mengangguk adalah satu-satunya gerakan yang bisa dilakukan tubuhnya yang membeku.
"Buka pintunya," perintah Gao kepada penjaga, suaranya kembali datar dan berwibawa.
Pintu kayu berukir yang berat itu terbuka tanpa suara, menyingkapkan sebuah ruangan yang dimandikan dalam cahaya lilin yang lembut. Udara di dalamnya terasa pekat, bukan dengan aroma kehidupan, melainkan dengan bau herbal yang pahit dan dupa cendana yang mahal—sebuah kombinasi yang terasa seperti persiapan untuk upacara pemakaman.
Ruangan itu luas dan indah, tetapi sunyi senyap, seperti makam yang dilapisi sutra.
Di tengah ruangan, di balik meja rendah yang terbuat dari kayu hitam, duduklah sang Naga.
Han Qiu menahan napas. Inilah Kaisar Zhao Xian. Ia pernah melihatnya dari kejauhan, tetapi dari dekat, dampaknya menghancurkan. Kaisar itu bukan seorang penguasa yang agung; ia adalah sebuah lukisan tragis. Usianya mungkin belum genap dua puluh, tetapi matanya menampung kelelahan berabad-abad.
Tubuhnya tenggelam di dalam jubah sutra berwarna kuning pucat, begitu kurus hingga tulang selangkanya menonjol tajam seperti punggungan bukit di musim kemarau. Kulitnya sepucat giok putih, hampir transparan, dengan pembuluh darah biru samar yang terlihat di pelipisnya.
Ia tidak terlihat seperti naga, ia terlihat seperti hantu dari seekor naga.
Seorang kasim tua berlutut di sisinya, dengan sabar mencoba membujuknya.
"Yang Mulia, mohon cicipi sedikit teh ginseng ini. Untuk menguatkan qi Anda."
Kaisar bahkan tidak menoleh. Matanya yang kosong menatap ke luar jendela, ke arah taman yang gelap, seolah mencari sesuatu yang tidak akan pernah ia temukan.
"Sarapan Yang Mulia telah tiba," suara Gao memecah kesunyian.
Kaisar tersentak kecil, seolah baru saja dibangunkan dari mimpi buruk. Ia menoleh, dan untuk pertama kalinya, matanya yang sayu bertemu dengan Han Qiu. Tidak ada pengakuan di sana, hanya kekosongan.
Han Qiu dengan cepat menundukkan kepalanya, jantungnya berdebar kencang. Di bawah pengawasan Gao, ia melangkah maju dan meletakkan nampan emas itu di atas meja dengan keanggunan yang dipaksakan.
"Silakan mundur ke dinding," perintah Gao padanya.
Han Qiu menurut, berdiri di antara bayang-bayang, menjadi bagian dari perabotan. Kasim Li, yang entah bagaimana berhasil menyelinap masuk dan kini berdiri di dekat pilar lain, memberinya tatapan penuh kecemasan.
Wajahnya pucat pasi.
Gao sendiri yang melangkah maju. Dengan gerakan yang anggun, ia mengangkat penutup perak dari mangkuk.
KLING.
Suara denting lembut itu terdengar seperti lonceng kematian di telinga Han Qiu. Asap tipis mengepul dari bubur putih susu itu, membawa serta sebuah rahasia.
Kaisar menatap mangkuk itu dengan ekspresi jijik yang sudah mendarah daging. Ia menghela napas panjang, sebuah suara yang penuh dengan penderitaan sunyi. Ini adalah ritual hariannya, siksaan paginya.
Ia akan dipaksa menyuap satu atau dua sendok kehampaan ini sebelum diizinkan kembali ke kesendiriannya.
Han Qiu menggigit bibir bawahnya begitu keras hingga ia bisa merasakan rasa logam darah. Ia ingin berteriak. Ia ingin berlari ke depan, merebut sendok itu, dan berkata,
"Ini berbeda! Kumohon, percayalah padaku! Ini adalah kehidupan, bukan racun!" Tapi ia hanya bisa berdiri diam, tak berdaya, sebuah patung kepanikan.
Kaisar mengalihkan pandangannya, hendak menolak seperti biasa. Tapi kemudian, sesuatu menghentikannya. Hidungnya yang mancung bergerak sedikit. Alisnya yang tipis berkerut. Udara di sekitar mangkuk itu... berbeda.
Bukan aroma nasi dan air yang mati. Ada sesuatu yang lain di sana. Sesuatu yang sangat samar, hampir tidak ada, seperti gema dari sebuah lagu yang sudah lama terlupakan. Sebuah jejak kehangatan. Aroma gurih yang jujur, aroma tulang yang direbus dengan sabar, sentuhan jahe yang pemalu.
Itu adalah aroma kehidupan.
Kepala Kaisar menoleh kembali ke mangkuk, kali ini dengan secercah kebingungan di matanya. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, menghirup napas dengan hati-hati. Ya. Itu nyata. Sebuah aroma di tengah dunianya yang steril. Dari mana datangnya?
Matanya yang bingung menyapu ruangan.
Melewati Chef Gao yang berdiri kaku. Melewati kasim tua yang menunggu dengan cemas. Melewati Kasim Li yang menahan napas. Dan akhirnya, tatapannya berhenti dan terkunci pada sosok pelayan dapur rendahan yang berdiri dalam bayang-bayang di dekat dinding.
Gadis itu. Xiao Lu.
Mata mereka bertemu melintasi ruangan yang sunyi. Mata sang Kaisar yang penuh dengan pertanyaan yang tak terucap, sebuah keheranan yang rapuh. Dan mata Han Qiu, yang tidak bisa lagi menyembunyikan kobaran harapan putus asa di dalamnya.
Dalam sepersekian detik itu, sebuah pemahaman tanpa kata melintas di antara sang naga yang terkurung dan sang pelayan pemberontak.
Ini... ulahmu?
Tangan Kaisar yang pucat, yang tadinya tergeletak lemas di atas meja, bergerak. Jari-jarinya yang panjang dan kurus terulur, gemetar, menuju sendok perak yang berkilauan di samping mangkuk. Seluruh ruangan seolah menahan napas.
Chef Gao memicingkan matanya, merasakan ada sesuatu yang salah tetapi tidak tahu apa.
Kaisar menggenggam sendok itu. ia menyendok sedikit bubur itu. Bubur putih yang kini telah dinodai oleh cairan emas pemberontakan.
Ia mengangkat sendok itu ke depan wajahnya, matanya tidak pernah lepas dari Han Qiu. Uap tipis dari sendok itu menyentuh wajahnya. Ia bisa menciumnya lebih jelas sekarang. Aroma itu nyata. Aroma itu memanggilnya.
Perlahan, sangat perlahan, ia membawa sendok itu mendekati bibirnya yang pucat. Bibirnya sedikit terbuka, siap menerima suapan pertama yang mungkin akan mengubah segalanya.