Sellina harus menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata menjadi istri kedua. Tristan suaminya ternyata telah menikah siri sebelum ia mempersuntingnya.
Namun, Sellina harus berjuang untuk mendapatkan cinta sang suami, hingga ia tersadar bahwa cinta Tristan sudah habis untuk istri pertamanya.
Sellina memilih menyerah dan mencoba kembali menata hidupnya. Perubahan Sellina membuat Tristan perlahan justru tertarik padanya. Namun, Selina yang sudah lama patah hati memutuskan untuk meminta berpisah.
Di tengah perjuangannya mencari kebebasan, Sellina menemukan cinta yang berani dan menggairahkan. Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, terancam oleh trauma masa lalu dan bayangan mantan suami yang tak rela melepaskannya.
Akankah Sellina mampu meraih kebahagiaannya sendiri, atau takdir telah menyiapkan jalan yang berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Makan berdua.
Sementara di sebuah rumah makan sederhana di pesisir pantai, Erza dan Sellina duduk berhadapan di kursi rotan yang nyaman. Desainnya yang terbuka membuat mereka seolah menjadi bagian dari panorama alam.
Angin sepoi-sepoi dari laut menyapa lembut, membawa serta aroma samar garam dan masakan segar. Mentari pagi yang belum terlalu terik memeluk hangat, menciptakan siluet cahaya di permukaan meja kayu. Suasana terasa begitu nyaman, jauh dari hiruk pikuk kota.
Sellina memutar sedotan di tangannya, menghasilkan riak kecil di dalam gelas bening. Air jus jeruk itu kini tercampur rata, warnanya semakin pekat. Namun, fokusnya bukan pada minuman, melainkan pada hidangan yang tertata di meja.
Matanya menatap nanar. Seafood, aneka olahan laut – ikan bakar dengan sambal dabu-dabu, udang saus padang yang menggoda, cumi goreng tepung yang renyah, hingga sup ikan kuah asam segar – memenuhi nyaris setiap jengkal meja mereka.
"Kayaknya gak lama lagi aku gendutan deh, Pak," seru Sellina, bibirnya sedikit cemberut meski matanya menunjukkan sedikit geli. "Soalnya aku di suruh makan terus."
Erza tertawa renyah, suara tawanya menyatu dengan debur ombak pelan.
"Udah makan aja, ini gak bakal buat kamu gendut kok," balas Erza santai, senyum lebarnya seolah menenangkan kekhawatiran Sellina. "Dari pada kurus kayak sekarang, nanti di kira orang kamu makan ati loh."
"Siapa yang makan hati, Pak? Aku 'kan lagi makan udang!" sahut Sellina, meraih satu udang saus padang dengan sumpitnya. "Awas kalau aku beneran gendut, Bapak yang harus beliin baju baru!"
Erza hanya tersenyum maklum. Pagi itu, di tepi pantai, adalah momen sederhana yang mereka ciptakan di tengah rutinitas.
Ini adalah rencana sempurna Erza, yang ia tutupi dengan alasan profesionalisme. Sebelumnya, ia memang mencari tahu keberadaan Sellina. Dengan jaringan yang ia miliki, tidak sulit baginya untuk mengetahui bahwa Sellina tengah berada di kota ini.
Tak berpikir panjang, Erza segera menyusul. Pagi ini, ia menghubungi Sellina dengan dalih mengajaknya mencari referensi makanan untuk menu baru di hotelnya. Padahal, itu hanya alasan. Niatnya sebenarnya hanya ingin berduaan dengan Sellina, melihat wanita itu lebih lama, dan memastikan ia baik-baik saja.
Erza hanya tersenyum simpul, menikmati setiap celetukan Sellina. Ia mencondongkan tubuh sedikit. "Kalau kita bisa memilih menu baru dan itu sukses di restoran, jangankan baju, apa yang kamu minta akan aku kasih."
Sellina mendengus, ekspresinya berubah dari geli menjadi sedikit kesal. "Ya tapi menunya gak sebanyak ini juga, Pak. Ini mah bisa buat warung seafood buka cabang baru!"
Sellina menyapu pandangannya ke arah meja yang penuh. "Mana saya bisa habiskan semuanya? Apalagi Bapak gak ikutan makan."
Ia meletakkan sepotong udang goreng tepung di piringnya, memotongnya menjadi dua.
Erza hendak membuka mulut, mencari alasan mengapa ia hanya memesan minuman, namun sebelum ia sempat berkata-kata, Sellina sudah bergerak lebih dulu.
Tanpa berpikir panjang, Sellina mengambil sepotong udang yang sudah ia kupas, lalu mengulurkan tangannya ke arah Erza. Matanya yang polos menatap lurus ke arahnya, seolah menyuapi rekan kerja adalah hal yang paling wajar di dunia.
"Aaaa ..."
Erza tersentak. Seluruh tubuhnya terasa kaku sesaat.
Udang yang renyah itu kini hanya berjarak beberapa inci dari bibirnya. Ia melihat Sellina yang menunggu dengan ekspresi biasa saja, seakan-akan ia sedang menyuapi adiknya. Namun bagi Erza, ini jauh dari biasa. Tiba-tiba, pipinya terasa hangat, bahkan memerah, lebih panas dari sinar mentari pagi di pantai.
Udara terasa menipis di sekitar mereka. Semua alasan profesional yang ia bangun tiba-tiba runtuh. Hanya ada ia dan Sellina, dan debaran jantung Erza yang berisik menenggelamkan suara ombak.
Ia segera membuka mulut, menerima suapan itu. Rasa udang yang gurih itu terasa hambar di lidahnya, karena yang ia rasakan hanyalah manisnya perhatian Sellina.
Erza menelan udang itu, pandangannya tidak lepas dari Sellina. Ia harus segera menguasai diri, menyembunyikan rona merah di pipi yang terasa panas.
Sellina, yang tampaknya sama sekali tidak menyadari dampak tindakannya, kembali fokus pada piring di depannya. Ia melihat Erza yang kini hanya memegang gelas jus, lalu menunjuk ke arah hidangan dengan sumpitnya.
"Aku gak mau ya habisin ini sendiri," seru Sellina dengan nada bercanda, namun sorot matanya tegas. "Pak Erza juga harus makan, gak boleh curang!"
Erza menghela napas, setengah menahan rasa gemas. Ia tahu Sellina memanggilnya 'Pak' karena kebiasaan dan batasan profesional, panggilan itu tiba-tiba terasa seperti tembok yang menjulang tinggi, memisahkan perasaannya.
"Aku kan udah bilang jangan panggil pak," celetuk Erza, suaranya terdengar sedikit lebih keras.
"Emangnya aku udah bapak-bapak?"
Sellina tertawa renyah. "Habisnya mau panggil apa? Om? Gak enak ah. Kan Bapak bos saya. Udah gitu kan emang udah dewasa." Ia mengedikkan bahu. "Lagian, Bapak emang udah pantas jadi bapak, sih."
Ucapan terakhir Sellina membuat Erza terdiam. Bukan karena ia tersinggung, melainkan karena gambaran masa depan yang disiratkan Sellina, gambaran dirinya sebagai seorang "bapak" terasa begitu menarik dan nyata di benaknya.
Erza menyandarkan punggung ke sandaran kursi rotan, melipat kedua tangannya di depan dada.
"Iya, suatu saat aku memang akan jadi seorang bapak," kata Erza, suaranya dipertegas, "tapi sekarang aku masih ganteng gini dibilang bapak. Itu kan untuk orang yang sudah berumur." Ia sedikit memajukan tubuhnya. "Panggil 'Mas' aja, ya. Lagian aku kan memang lebih tua juga dari kamu."
Mendengar permintaan itu, Sellina langsung terbahak. Tawa lepasnya begitu renyah, bahkan beberapa pengunjung di meja lain sempat menoleh.
Sellina sampai memegangi perutnya, merasa geli jika harus memanggil atasannya yang selalu formal itu dengan sebutan yang membuatnya geli.
"Mas? Ha ... ha ... ha ..." Sellina menggeleng-gelengkan kepala. "Udahlah, Pak. Pak Erza saja, aku sudah nyaman panggil itu. Kalau 'Mas' itu kayak mau pesan martabak," candanya, mencoba meredakan tawa.
"Nggak mau," desak Erza, matanya menatap tajam, namun ada kilatan jenaka di sana. Ia tahu ia tidak bisa benar-benar marah pada Sellina.
"Kalau kamu tetap panggil 'Pak', besok kamu nggak usah ke kantor lagi," ujar Erza mengancam, sebuah gertakan yang jelas tidak akan pernah ia lakukan, tetapi cukup efektif untuk membuat Sellina terkejut.
Sellina tersentak mendengar ucapan Erza. Gelengan pelan menandakan penolakannya.
"Baiklah, kalau begitu besok aku tidak akan ke kantor. Aku akan tinggal di sini saja," ujarnya, lalu kembali menyantap makanan di piringnya, berusaha mengabaikan tatapan Erza.
Erza menghela napas, mengendurkan pandangannya. "Baiklah, terserah kamu deh. Terserah mau panggil apa saja, asal kamu nyaman."
Suasana di antara mereka semakin mengalir. Percakapan tidak lagi terbatas pada urusan pekerjaan, melainkan cerita-cerita pribadi yang membuat keduanya semakin akrab.
Erza merasa bisa menjadi dirinya sendiri di depan Sellina. Begitu pun Sellina, yang senyumnya tampak lebih ceria saat bersamanya.
Setelah mereka mencapai kesepakatan mengenai menu baru yang akan mereka kembangkan, Erza menawarkan untuk mengantar Sellina pulang. Mereka berjalan keluar restoran bersama-sama, menikmati udara pantai yang sejuk.
"Erza, kan?" tanya seorang wanita dengan pakaian serba minim tiba-tiba menghentikan langkah mereka.
Nada suaranya mengandung penekanan, seolah mengenal betul sosok yang ada di hadapannya.
Erza dan Sellina saling bertukar pandang. Erza dengan wajah bingung seolah mengatakan "Aku gak tau dia siapa?" takut Sellina salah faham.
Tatapannya sedingin es. Sellina bahkan tidak repot-repot menyembunyikan kekecewaannya saat menoleh pada Erza.
"Sepertinya Bapak tidak bisa antar saya hari ini," ucapnya datar. Ia tidak sedang bertanya, ia sedang menyatakan fakta. "Lebih baik saya pulang sendiri. Permisi."
Tanpa menunggu jawaban, Sellina berbalik. Langkahnya lebar dan tergesa, hak sepatunya mengetuk lantai parkiran dengan ritme kemarahan yang tertahan.
Ia melintasi deretan mobil mewah di bawah temaram lampu, udara siang itu yang pengap terasa mencekik.
"Dasar, bos playboy," gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. Sebuah tawa kecil yang getir lolos dari bibirnya. Geli, tapi juga muak.
Ia berhenti di bawah pilar beton yang dingin, ponsel sudah tergenggam erat. Layar menyala, memantulkan cahaya ke wajahnya yang lelah selagi ibu jarinya menari di atas aplikasi GRAB. Ia hanya ingin segera pergi dari tempat ini.
Satu ketukan lagi dan pesanan terkonfirmasi. Ia tertunduk fokus, mencari titik penjemputan.
Namun, pandangannya terkunci.
Tepat di hadapannya, sepasang sepatu kets berwarna putih dengan corak hitam yang sangat ia kenali telah berhenti. Sepatu itu diam, seolah menunggu.
Sellina mendongak perlahan, jantungnya serasa berhenti berdetak sepersekian detik.
Di saat yang bersamaan, dari arah lobi, derap langkah lain terdengar terburu-buru. Erza, dengan kemeja yang sedikit berantakan setelah berhasil meloloskan diri, berlari kecil mengejar.
"Sellina, tunggu!" teriaknya, napasnya sedikit tersengal. Ia melihat Sellina yang berhenti mematung dan mempercepat langkahnya.
"Aku akan meng ... ngan ... tar ... mu."
Kalimat Erza terputus di udara. Suaranya tercekat, seolah ada tangan tak terlihat yang membekapnya. Matanya membelalak, langkahnya terhenti mendadak.
Di sana, di antara dia dan Sellina, berdiri Tristan. Sosok itu menjulang dalam diam, tatapannya tak terbaca.
bawa semua rasa bersalahmu