NovelToon NovelToon
DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Cintapertama / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:543
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."

Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SEBUAH KEJUTAN

Bel tanda istirahat baru saja berbunyi. Suara kursi bergeser, langkah kaki, dan tawa ringan memenuhi ruang kelas setelah guru keluar. Namun di antara riuh itu, suasana di sudut belakang terasa berbeda—dingin dan menekan.

Angel, Bela, dan Raisha melangkah mendekati bangku Luna. Wajah mereka tersenyum, tapi bukan senyum ramah—lebih seperti senyum yang menyimpan sesuatu. Luna yang tengah membereskan buku langsung menegang begitu mendengar suara mereka.

“Lunaa...” Panggil Angel dengan nada manja yang dibuat-buat. “Gue udah mikir lagi, deh. Kayaknya gue maafin lo soal dompet gue yang ilang itu.” Ia tersenyum lebar, tapi matanya menusuk. “Tapi, sebagai gantinya… lo tolong dong beliin kita makanan di kantin. Laper nih kita.”

Luna terdiam. Jemarinya berhenti di atas meja, menahan gemetar yang mulai terasa di ujung jari. “Aku… nggak bisa,” Ucapnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat suasana mendadak hening beberapa detik.

Senyum Angel memudar, digantikan tawa dingin dari Bela dan Raisha.

“Wih, berani nolak,” Gumam Bela dengan nada mencemooh.

“Udah nyuri, masih belagu,” Timpal Raisha, tertawa kecil.

Beberapa siswa lain mulai memperhatikan. Bisik-bisik muncul dari berbagai arah, seperti duri yang menancap pelan di telinga Luna.

“Luna tuh udah syukur masih diterima di sekolah ini,” Ucap salah satu dengan nada menyindir.

“Kalau gue jadi dia, mending pindah aja deh. Malu banget,” Sahut yang lain.

Kata-kata itu menghantam tanpa ampun. Luna menunduk, menatap meja kayu yang kini buram oleh genangan air matanya yang hampir jatuh. Tenggorokannya tercekat. Ia ingin menjelaskan—bahwa ia bukan pencuri, bahwa semua itu salah paham—tapi suaranya tertelan di antara tawa dan cibiran mereka.

Jantungnya berdegup cepat, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Hanya rasa sakit yang makin menyesak di dada, membentuk luka yang tak kasat mata. Di luar jendela, sinar matahari siang menembus tirai tipis, tapi bagi Luna, dunia terasa gelap—segelap pandangan yang menilainya tanpa tahu kebenaran.

Luna hanya berani menunduk, lalu segera berbalik meninggalkan kelas. Suara tawa samar dan bisikan di belakangnya terasa seperti bayangan yang terus menempel di telinga. Langkahnya cepat, seolah ingin menjauh dari segala tatapan, dari segala rasa malu yang menyesakkan dada.

Begitu keluar dari koridor kelas, udara di luar terasa sedikit lebih lega, tapi dadanya tetap berat. Derap sepatunya bergema di lantai yang sunyi, melewati deretan loker dan jendela besar yang memantulkan wajahnya yang pucat. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri—meski hatinya masih bergemuruh.

Luna masih berjalan, kini lebih cepat—nyaris berlari menuju perpustakaan. Langkahnya tergesa, seperti ingin kabur dari sesuatu yang tak bisa ia hadapi. Nafasnya sedikit memburu, namun ia tak peduli. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah tempat sunyi, tempat di mana tak ada tatapan menghakimi atau suara yang menertawakan.

Perpustakaan. Satu-satunya tempat di sekolah yang selalu terasa aman baginya. Saat pintu kayu itu akhirnya terbuka, aroma buku-buku tua langsung menyambut, menenangkan hatinya yang riuh. Cahaya lembut matahari pagi menembus kaca jendela besar, memantul di antara rak-rak tinggi yang berbaris rapi.

Luna melangkah pelan ke dalam, menyusuri lorong sempit di antara rak buku. Suara langkahnya nyaris tak terdengar, hanya desiran lembut udara dari pendingin ruangan menemani. Seperti hari kemarin, ia memilih sudut paling ujung, yang kini menjadi tempat favoritnya—di belakang rak bertuliskan Sastra Indonesia.

Begitu duduk, Luna menunduk lama. Jemarinya menggenggam rok seragamnya erat, mencoba menahan getaran di tubuhnya. Dada terasa sesak, seperti ada beban yang menekan dari dalam. Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan napas yang tersengal.

Di tengah keheningan itu, sesuatu tiba-tiba terlintas di benaknya—diary. Ia baru ingat, kemarin dirinya sempat menulis di selembar kertas yang diselipkannya di antara buku-buku catatan. Masih ada beberapa halaman kosong di belakangnya.

Luna buru-buru bangkit dari duduknya. Langkahnya pelan tapi tergesa menuju rak tengah, tempat ia ingat pernah menaruh buku itu kemarin. Jemarinya menelusuri punggung-punggung buku, matanya mencari dengan cermat hingga akhirnya berhenti pada sebuah buku tipis berwarna biru pudar.

Perlahan, ia menarik buku itu keluar. Helaan napasnya terdengar lirih, seolah takut membangunkan kenangan di dalamnya. Di antara lembaran yang sedikit kusut, terselip kertas dengan tulisan tangannya sendiri—coretan yang sempat ia buat saat malam terasa begitu berat.

Luna menatapnya lama, kemudian duduk kembali di kursinya. Namun seketika matanya membulat. Jantungnya berdegup cepat. Di sana—di halaman yang seharusnya masih kosong—terdapat tulisan. Bukan tulisannya.

Seperti sebuah pesan balasan. Tulisan itu lebih rapi, garisnya halus dan tegak lurus, seolah ditulis oleh seseorang yang sangat teliti. Luna menatapnya tanpa berkedip, mencoba memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Ujung jarinya menyentuh tinta hitam yang sudah mengering di permukaan kertas itu.

“Siapa yang…?” Bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.

Hatinya mulai diliputi rasa aneh—campuran antara takut dan penasaran. Ia menelan ludah, menurunkan pandangannya perlahan untuk membaca baris pertama tulisan asing itu.

Jantung Luna berdetak pelan, tapi kali ini bukan karena takut—melainkan karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang hangat, yang merambat perlahan di dada, membuat tenggorokannya terasa sesak. Tatapannya masih tertuju pada tulisan itu, huruf-huruf rapi yang entah kenapa terasa begitu tulus, begitu dekat.

Tangannya bergetar ringan saat menyentuh halaman itu lagi. Ada rasa aneh yang menyelinap di hatinya—campuran antara terkejut, haru, dan entah apa. Seolah ada seseorang di luar sana yang benar-benar melihatnya, memahami keheningan yang selama ini ia simpan sendiri.

Tinta hitam di atas kertas itu bukan sekadar tulisan. Di mata Luna, setiap hurufnya seperti suara yang menembus kesepian, mengulurkan tangan dalam diam. Matanya mulai berair tanpa ia sadari, bulirnya jatuh perlahan di atas kertas tersebut.

Ia mengatupkan bibirnya rapat, mencoba menahan isak yang tiba-tiba muncul. Rasanya seperti menemukan jejak hangat di tengah dingin yang panjang. Ada seseorang yang tahu dirinya, yang peduli, meski ia tak tahu siapa.

Perlahan, Luna melipat kertas itu dengan hati-hati, seolah takut merusak setiap huruf yang tertulis di sana. Lipatannya rapi, penuh kehati-hatian—sebuah isyarat bahwa lembar itu bukan sekadar kertas baginya. Ia lalu memasukkannya ke dalam saku kemeja, dekat dengan dada, seakan ingin menyimpannya di tempat paling hangat.

Setelah itu, Luna berdiri pelan, mengambil kertas kosong di tempat yang sama seperti kemarin. Sambil menggenggam pena, jemarinya mulai bergerak pelan, hati-hati, seperti sedang berbicara pada seseorang yang tidak hadir di hadapannya, bahkan tak tahu sosoknya.

Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat pada dunia. Di antara ribuan orang yang gak percaya sama kamu, percayalah... aku masih percaya padamu.

Aku Luna. Entah dari mana kamu muncul dan mengetahui semua ini. Tapi sungguh, kata-katamu tidak hanya membuatku terkejut, tapi juga membuatku kini cukup merasa aman seperti sebuah kejutan yang datang di saat aku paling membutuhkan. Jika kamu membaca ini lagi, aku mohon... apa yang harus aku lakukan?

Setelah selesai menulis, Luna menatap sekali lagi lembar yang baru ia isi. Ia tersenyum kecil—senyum yang samar, tapi tulus. Kemudian, dengan hati-hati, ia menyelipkan kertas itu di tempat semula, di antara halaman buku hariannya. Seolah menitipkan sebagian dari hatinya pada ruang sunyi itu.

Perlahan ia berdiri, merapikan kursi, lalu melangkah menuju pintu perpustakaan. Suara langkahnya lembut, nyaris tak terdengar, hanya menyisakan aroma samar buku dan kehangatan yang tertinggal di udara.

Begitu pintu kayu itu menutup pelan di belakangnya, suasana perpustakaan kembali sunyi. Namun ternyata, Luna tak sepenuhnya sendiri. Di balik salah satu rak tinggi di sisi kanan ruangan, seseorang berdiri diam diri tanpa sepengetahuannya. Arga.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!