Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria yang Aku Yakini Adalah Karma Berjalan (Bagian 1)
Dunia belum kiamat, tapi hidupku sudah seperti naskah sinetron yang tayang tengah malam.
Semua di mulai ketika Mbak Elga, Senior yang pernah jadi tetanggaku plus yang akhirnya menjelma jadi sahabat senior dan orang yang terlalu fashionable untuk jadi manusia biasa, jarak kami hanya dua tahun tapi karier Mbak Elga sudah lebih bagus dari kebanyakan orang dengan usia sama.
Selain kami berasal dari lingkungan yang sama, kami juga bersekolah di tempat yang sama. Mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas.
Singkat cerita, Mbak Elga tiba-tiba mengajakku nongkrong di coffee shop langganan, awalnya kukira mau ngajak diskusi soal tren interior minimalis atau sharing diskon skincare. Ternyata tidak. Ternyata aku…. Dijadikan tumbal.
“Mei,” ucapnya lembut, sambil menyeruput kopi dengan elegan.
“Aku ada urusan mendadak. Bisnis trip ke Surabaya. Tapi…ayahku udah ngatur perjodohan. Dan aku nggak enak kalau cancel.”
Aku yang saat itu masih asik mengaduk matcha latte, hanya menggangguk penuh simpati. “Ya udah, bilang aja lagi ada urusan. Lagian zaman sekarang masih aja ada orang tua yang pengen jodohin anaknya, padahal kita juga bisa cari sendiri, ini bukan kerajaan Majapahit.”
Dia tersenyum. Manis. Tapi penuh jebakan.
“Makanya kamu yang gantiin Mbak.”
“….”
Aku diam. Otakku nge-lag. Matcha latte terasa pahit.
“APA?”
Dia tetap tenang. “Tolong ya. Sekali ini aja. Cuma makan malam kok. Formal. Pake baju sopan. Jangan aneh-aneh.”
“Aku bukan kamu, Mbak! Aku nggak bisa ngobrol sama orang asing sambil senyum manis kayak Putri Indonesia! Aku tuh awkward kalau ditanya ‘kerja di mana’. Kadang jawabanku bisa ngelantur ke horoskop atau nasi goreng!”
“Justru itu yang bikin kamu unik.” Dia tersenyum makin manis. Manis yang mengancam.
“Dan cowoknya juga kayaknya tipe-tpe serius gitu. Kata Papa dia seumuran sama Mbak. Seorang dosen juga. Kayaknya cocok deh sama kamu yang…absurd.”
Aku menatap dia dengan tatapan trauma. Kegagalan kencan buta yang kemaren-kemaren terputar kembali di kepalaku.
“Mbak, denger ya. Aku ini INFJ. Taurus pula. Social battery-ku itu kayak HP jadul. Sebentar aja udah drop. Gimana caranya aku survive makan malam formal sama orang asing?”
Dia menatapku datar. “Kalau kamu nggak mau, Aku telpon Tante Rita ya.”
Tante Rita \= Mamaku.
Mama \= manusia penuh cinta sekaligus senjata rahasia yang bisa menjatuhkan tanpa menyentuh sehelai rambut pun.
“Jangan main-main, Mbak….”
Dia sudah mengeluarkan ponselnya. Detik berikutnya, aku dengar suara familiar dari speaker.
“Halo, Nak Elgaaa! Gimana kabarmu? Udah makan belum?”
Aku mendadak ingin pindah planet.
Dengan suara lembut berlapis licik, Mbak Elga menjawab, “Baik, Tante. Nih, Elga lagi bareng Meisya. Dia cerita katanya udah lama banget nggak diajak keluar rumah, katanya butuh refreshing. Elga pikir….ini waktu yang pas buat dia ketemu orang baru….”
Sumpah demi jiwa kemanusiaan, aku ingin berubah jadi butiran debu.
Suara Mamaku langsung semangat, ini adalah moment sacral yang sangat di nantikan Mama.
“Wah iya bener banget! Meisya tuh harus ketemu sama orang baru sering-sering, masa umur segitu masih belum ada niat buat nyari jodoh, kasian ih! Udah bener, ajak aja dia, Elga. Biar sekalian latihan komunikasi!”
‘LATIHAN KOMUNIKASI? MEMANGNYA GUE APA? MAHASIWA MAGANG?’
Aku mendesis pelan. “Mbak, serius ini… tega banget…”
Dia mengedikkan bahu. “Anggap aja ini misi sosial. Kamu kan suka bantuin orang.”
“Iya, tapi nggak gini juga!”
Aku menghela nafas Panjang. Panjang banget. Sampai-sampai paru-paruku ikutan menyerah.
Akhirnya…aku pasrah.
“Oke. Tapi ini kali terakhirnya aku bantuin Mbak sama hal-hal absurd kayak gini. Soal baju biar aku yang nentuin sendiri. Aku bakal datang dengan kepribadianku yang apa adanya. Jangan salahin aku kalau cowoknya kabur gara-gara aku cerita soal alien dan konspirasi jam digital.”
Dia tertawa kecil. “Justru itu yang bikin kamu berkesan.”
Ya. Berkesan…kayak bekas luka jatuh dari sepeda.
Dan begitulah, aku resmi jadi tumbal cinta Mbak Elga.
**
Malam itu aku melangkah ke medan perang dengan dress paling netral yang kupunya dan doa pendek penuh harapan:
‘Semoga cowoknya nggak psikopat. Semoga dia nggak old money yang suka flexing. Atau yang gak bisa move on dari mantannya. Atau semoga dia laki-laki tulen bukan separoh.’
Aku sudah setengah jalan menuju café itu, dengan perasaan setengah pasrah, setengah ingin menghilang, sebelum berangkat aku sudah wanti-wanti ke Mamaku.
“Aku udah bilang ya, Ma. Ini yang terakhir. Kalau zonk lagi, Mama harus janji gak akan maksa aku lagi buat kencan buta dengan siapa pun, termasuk dengan Ustad yang rutin ngasih kajian di Komplek!”
Mama cuma bilang , “Iya,iya. Tapi katanya cowok ini kalem, pinter, seorang dosen pula, Namanya bahkan terdengar keren, Pedro.”
Semoga seperti yang diharapkan. Tapi semesta …seperti biasa… punya keisengan yang konsisten.
Karena yang duduk disana, bersandar santai di kursi kayu minimalis dengan coffe latte setengah habis, adalah pria dengan jas warna cream, kaos putih bersih, celana bahan rapi, dan sepatu putih yang menantang debu dunia.
SI PENUDUH CABUL.
VERSI PREMIUM
Matanya melirik ke arahku, tatapan datar seperti suhu AC 16 derajat. Datar, dingin dan bikin tangan berkeringat.
Aku berhenti di tempat. Ingin lari. Atau berubah jadi manekin.
Aku menelan ludah. “M-Mas Pedro?” paggilku dengan suara gugup.
Dia melirik ke arahku lalu mengangguk pelan. Mengulurkan tangannya untuk menyuruhku duduk.
“Gue yang menggantikan Pedro.”
“Sorry?”
“Pedro tiba-tiba berhalangan hadir.” Suaranya datar kayak jalan tol.
“Gue Felix”.
Terlalu dingin untuk orang yang datang dengan tujuan kencan. Tampak jelas dia tidak suka basa-basi di lihat dari pendeknya penjelasan yang bisa dia sampaikan.
“Kenapa Mas Pedro…”
“Haruskah gue cerita panjang lebar alasannya? Kalau gue di sini berarti dia gak bisa datang.”
‘KENAPA DIA SEWOT BANGET TUHAN??’
‘KAYAK DENDAM KESUMAT??’
Aku terbatuk kecil. Tidak tau haruskah cosplay jadi batu di depannya biar gak gemetaran karena suhu di sekitanya serasa akan membeku.
Aku masih mencoba mencocokan puzzle absurd ini. Sementara dia masih tenang. Datar dan tak tersentuh.
“Lo… orang yang—”
“Yang lo cabuli di perempatan, ya,” potongnya tenang, bahkan tanpa angkat alis.
Aku langsung merosot ke dalam kursi. “Itu. Salah. Video bubble tea. Teman gue. Rahma. Headset nyambung Bluetooth. Tangan gue bersih. Gue bersumpah demi saldo rekening gue.”
Saking kelabakannya bahkan kalimat yang keluar dari mulutku pun tidak jelas.
Felix tak menanggapi langsung. Dia hanya menyesap latte-nya seperti sedang menguji kualitas moral manusia.
Setelah hening panjang yang bikin aku mempertimbangkan untuk teleportasi ke dunia lain, dia berkata datar. Felix masih duduk santai di kursinya, seperti menilai performaku sebagai manusia. Wajahnya datar, minumnya sopan, tapi sikapnya kayak juri MasterChef waktu peserta lupa masukin garam.
“Gue gak salah paham,” katanya pelan tapi mantap.
“APA?! Nggak!!” jawabku sopan, nyaris berteriak. “Sumpah, bukan gue!”
“Statistik menunjukan,” ucapnya tenang, “Kebohongan sering kali dibungkus dengan nada tinggi dan pembelaan spontan.”
‘APA?!’
“Statistik lo tuh yang ngaco. Gue bukan Google Form!”
Dia tetap diam. Lalu bersandar ke kursi seolah-olah menjaga jarak dari makhluk penuh dosa sepertiku.
“Tampang lo kayak anak baik-baik, tapi malah hobi nyentuh bokong cowok.”
“Kapan gue nyentuh bok—tunggu. Maksud lo—, lo nuduh gue cabul di perempatan karena ngira gue nyentuh bokong lo?”
“Menurut lo?”
“Gue kira lo nuduh gue cabul karena video iklan kolor?”
Dia diam. Aku diam.
Aku memutuskan untuk tidak membuang waktu basa-basi. Langsung kuangkat ponselku.
“Jadi, Mas…gue cuma mau lurusin ya. Waktu itu di perempatan, itu tuh video iklan dari teman gue, Rahma. Dan gue gak nyentuh apa-apa. Apalagi bokong lo, Mas. Itu kayak… puncak tuduhan terngadi-ngadi yang pernah gue alami.”
Dia tersenyum datar.
“Gue ingat banget posisi lo berdiri. Lo pegang HP di tangan kanan. Dan tangan kiri lo—waktu itu—kayaknya nyentuh bagian…ya, itulah.”
Dia mengangkat alis dengan nada akademis. “Dan video di HP lo sangat…mendukung narasi kejadian.”
“ITU SALAH BESAR!” suaraku meninggi kayak alarm nasi gosong.