Kisah Lyla, seorang make-up artist muda yang menjalin hubungan diam-diam dengan Noah, aktor teater berbakat. Ketika Noah direkrut oleh agensi besar dan menjadi aktor profesional, mereka terpaksa berpisah dengan janji manis untuk bertemu kembali. Namun, penantian Lyla berubah menjadi luka Noah menghilang tanpa kabar. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka lagi. Lyla yang telah meninggalkan mimpinya sebagai make-up artist, justru terseret kembali ke dunia itu dunia tempat Noah berada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon meongming, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Debaran Pertama
Malam itu di kamar Noah, suasana hening hanya ditemani lampu meja yang redup. Ia duduk di depan meja belajarnya, menekuni tumpukan kertas naskah yang penuh coretan revisi.
Juliet memang tidak pernah berhenti mengomel kalau naskah belum beres—dan kali ini, dia bahkan mengirim voice note panjang hanya untuk mengkritik satu adegan.
Noah menghela napas, lalu menuliskan catatan terakhir.
Selesai.
Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menatap kosong ke kalender dinding. Tanggal-tanggal penuh coretan, pengingat pentas, deadline revisi...
Perlahan, tangannya meraih ponsel. Ia membuka aplikasi pesan dan scroll ke bawah. Di sana, satu pesan masih belum dibalas.
Dari Lyla.
Emoticon hati.
Sudah ia baca sejak kemarin.
Tanpa membalas.
Noah menatap layar itu lama. Jemarinya sempat bergerak, seakan hendak mengetik sesuatu. Tapi tidak jadi.
Meski begitu, sudut bibirnya terangkat pelan. Senyum tipis yang bahkan tidak ia sadari
Keesokan harinya..
Latihan pun berlanjut. Para pemain mulai memanaskan suara dan tubuh dengan pemanasan singkat yang dipandu oleh Juliet.
“Tarik napas... buang... Sekarang latihan ekspresi! Wajah sedih… wajah bahagia… wajah jatuh miskin karena beli boba tiap hari!” seru Juliet.
Semua tertawa, terutama Lyla yang sampai menutup mulutnya karena geli melihat ekspresi Noah yang terlalu serius menirukan wajah sedih.
“Noah, kamu kebanyakan drama,” celetuk salah satu anggota.
“Tapi bagus kan?,” jawab Noah sambil mengedip ke arah semua orang.
Lyla ikut tertawa kecil. Ia merasa mood-nya baik hari ini. Mungkin karena Noah tidak bersikap canggung sama sekali. Bahkan saat mereka duduk berdekatan, Noah tetap seperti biasanya—ramah dan santai.
Saat istirahat, mereka semua duduk melingkar sambil makan bekal masing-masing. Ada yang bawa mie goreng, sandwich, sampai roti tawar isi cokelat.
“Eh eh, siapa yang mau liburan ke pantai abis pentas?” tanya Rose sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Semua langsung ribut menyebut nama pantai, ada yang mau berenang, ada yang teriak “camping!”, dan ada juga yang jawab, “Pantai virtual aja di Google.”
Juliet mengangkat tangan, “Kalau kalian semua ikut, aku pertimbangkan. Tapi harus latihan yang bener dulu. Kalau nggak, gagal pentas, gagal pantai!”
“Siap, kapten!!” semua menjawab kompak.
Lyla tersenyum. Ini pertama kalinya dia merasa benar-benar seperti bagian dari kelompok. Tidak canggung, tidak kikuk… hanya bahagia.
**
Saat pulang, Lyla berjalan santai di trotoar, tas selempangnya digantungkan ke satu bahu. Noah dan beberapa anak lain sudah jauh di depan, tampak bercanda sambil menuju halte bus.
Di samping Lyla, Juliet menguap lebar sambil merenggangkan bahu. “Besok aku mau istirahat, capek banget,” gumamnya.
Lyla hanya tersenyum kecil menanggapi, menikmati angin sore yang menerpa wajahnya.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kejauhan.
“Lyla!!”
Lyla menoleh reflek.
Noah berdiri di dekat pintu bus, melambaikan tangan dengan semangat ke arahnya. Sebelum naik ke dalam, dia membentuk lambang hati dengan tangannya dan tersenyum lebar ke arah Lyla.
Lyla membeku di tempat. Matanya membesar, napasnya tertahan sejenak.
Itu… lambang love?!
Juliet melirik Lyla dengan ekspresi tak percaya. “Kenapa si Noah itu, gila?”
Lalu matanya menyipit curiga. “Kalian pacaran?”
“Eh… tidak, Ka!” Lyla panik dan buru-buru menggeleng. “Beneran, enggak!”
Juliet mengangkat alis. “Hmm, kalau iya juga nggak apa-apa loh.”
Lyla menunduk sambil menutup wajahnya dengan tangan. Pipinya terasa panas.
Tapi dalam hati, entah kenapa, ada sesuatu yang berdebar lebih cepat dari biasanya.
Juliet menyenggol bahu Lyla pelan sambil menyeringai jahil.
“Jangan malu-malu...”
Lyla menoleh dengan wajah memerah, tapi Juliet sudah tertawa geli.
“Serius deh, dia tuh enggak pernah segila ini sebelumnya. Apalagi di depan umum.” Juliet mendekat, berbisik menggoda, “Fix ada yang spesial…”
“Ka… sudahaaah!” Lyla berseru malu sambil menutupi wajah dengan kedua tangan.
Juliet tertawa lepas. “Ih lucu banget kamu!”
Lyla buru-buru mempercepat langkah, berusaha menyembunyikan senyum yang terus muncul di wajahnya.
Di belakangnya, Juliet masih cekikikan sambil menggeleng-geleng. “Duh, cinta-cintaan remaja… manis banget sih!”