Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Masakan Gosong
🦋
Gavriel duduk di kursi rias, matanya tak lepas dari huruf-huruf itu.
G & R.
Z G R.
Ia mencoba menghubungkannya. G jelas merujuk pada dirinya, Gavriel. Tapi R...? Seseorang yang dekat dengan Valora? Atau... seseorang yang ingin memisahkannya dari Valora?
ZGR, tiga huruf itu seperti kode rahasia. Ia memicingkan mata menatap gambar istana yang terlukis di kertas. Bukan sembarang istana, pikirnya. Arsitekturnya unik, atap runging, jendela kaca patri, dan gerbang besi hitam dengan ukiran naga.
Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak.
"Masuk," ujarnya cepat, menyembunyikan kedua kertas itu di bawah tumpukan buku di meja rias.
Ana masuk, membawa nampan teh. "Tuan Gavriel, Anda belum makan siang. Saya pikir..."
"Tutup pintunya," potong Gavriel.
Ana menatapnya heran tapi menuruti. "Ada yang ingin Anda bicarakan, Tuan?"
Gavriel menatapnya lama, lalu berkata pelan, "Ana, kau sudah bekerja di rumah ini sejak aku dan Valora masih masa sekolah. Kau tahu segala hal tentangnya, bukan?"
Ana menunduk. "Saya hanya tahu yang diizinkan untuk saya tahu, Tuan."
"Apakah kau pernah mendengar dia menyebut... huruf G dan R? Atau sebuah tempat bernama ZGR?"
Ana terdiam. Jemarinya meremas celemeknya. "Tuan... sebaiknya Anda tidak mengusik masa lalu Nyonya Valora."
"Jawab pertanyaanku, Ana," desaknya, suaranya mulai bergetar. XApakah dia pernah..."
Ana menatapnya dengan sorot mata cemas. "ZGR bukan tempat yang aman, Tuan. Itu bukan nama kota... itu sebuah lingkaran."
"Lingkaran?" Gavriel memicingkan mata.
Ana menelan ludah. "Lingkaran orang-orang yang... bahkan polisi pun tak berani mengusik mereka. Jika Nyonya Valora meninggalkan petunjuk tentang ZGR, berarti dia ingin Anda mencari... atau justru menjauh. Saya tak tahu pasti."
Gavriel terdiam. Kata-kata Ana membuat dadanya semakin berat.
"Aku tak peduli siapa mereka," katanya akhirnya, suaranya tegas. "Kalau ini ada hubungannya dengan Valora dan anak-anakku... aku akan menemukannya."
Ia menunggu Ana keluar, lalu mengeluarkan kembali kertas bergambar istana itu. Di sudut bawah, ia baru menyadari ada angka kecil yang nyaris pudar: 17° 48' S — 63° 10' W.
Koordinat.
Ia meraih laptop, mengetiknya di peta digital. Layar menampilkan lokasi di tengah hutan terpencil, jauh dari pemukiman. Di sana, dari citra satelit, berdiri sebuah bangunan besar dengan bentuk persis seperti istana di kertas itu.
Gavriel menatap lekat gambar di dalam amplop itu, alisnya perlahan berkerut. Sebuah kastil megah terhampar di sana, atapnya berbentuk kubah dengan ujung runcing, dikelilingi benteng tebal yang berdiri angkuh. Alun-alun berbatu terbentang luas, dan di setiap sudutnya berdiri delapan patung raksasa dengan ekspresi berbeda. Bukan ekspresi indah atau anggun, melainkan wajah-wajah yang menatap seolah mengutuk.
Ada yang matanya kosong seperti menyimpan rahasia, ada yang menyeringai tajam, dan satu patung bahkan terlihat seperti sedang menangis darah.
Bulu kuduk Gavriel meremang. Kastil itu memang indah, tapi keindahannya seperti terjerat oleh sesuatu yang gelap.
"Apa yang kau pikirkan, sayang…?" gumamnya lirih. Valora… hanya dia yang bisa melukis sesuatu semengerikan ini dengan detail nyaris hidup.
Gavriel melipat kembali kertas itu hati-hati, seolah takut merusaknya. Ia membawanya ke kamar, menaruhnya di dalam laci, menyimpannya seperti menyimpan sisa-sisa napas terakhir dari wanita yang pernah ia sebut istrinya.
"Sudah tiada, baru menyesal," suara itu terdengar pelan, tapi menusuk.
Gavriel menoleh spontan. Di tengah ranjang, Valora duduk bersila, menatapnya lurus. Kulitnya pucat bagai porselen, dan mata itu, mata yang dulu ia kenal hangat, kini dingin, seperti cermin dari dunia yang tidak ia pahami.
Sebelum ia sempat bicara, Valora menjentikkan jemarinya. Tubuhnya memudar, terurai menjadi serpihan-serpihan cahaya, lalu lenyap.
***
Di dapur mansion, Ed tengah memotong sayuran. Tangannya cekatan, aroma rempah memenuhi udara. Ia sudah terbiasa, perannya di rumah ini memang lebih mirip pengasuh daripada sekadar pelindung Miss Ki.
"Hari ini masak apa?" suara ringan terdengar di belakangnya.
Ed menoleh dan membeku. Miss Ki berdiri tanpa topeng, hanya mengenakan kaos kebesaran dan celana pendek yang memperlihatkan kaki jenjangnya. Wajah yang selama ini ia sembunyikan terlihat jelas, polos, dan… terlalu berbahaya untuk dibiarkan orang lain lihat.
"Apa yang kau lakukan?!" sergah Ed, matanya tajam.
"Aku bosan, Ed," jawab Miss Ki santai. "Bosan bersembunyi di balik topeng itu. Aku ingin bernapas seperti manusia normal."
Ed menahan napas sejenak, lalu menghela panjang. Ia mengangkat tangannya, menjentikkan jari dua kali. Dalam sekejap, tubuh Miss Ki kembali mengenakan dress hitam selutut dan topeng butterfly yang menjadi ciri khasnya.
"Belum waktunya, Ki," ucap Ed, suaranya merendah tapi penuh peringatan.
"Kita memang jauh dari dia, tapi orang itu bisa merasakan kehadiranmu. Bertahanlah sebentar lagi. Aku tahu topeng itu menyiksa, tapi energinya akan melindungimu, walau tubuhmu belum siap."
Miss Ki menunduk. "Baiklah…"
Ed akhirnya mengalah. Ia mengeluarkan sebuah ikat pinggang tipis bertabur batu amethyst dari saku celananya, lalu mengaitkannya di pinggang Miss Ki. "Ini akan menutupi auramu. Untuk malam ini saja, kau bebas."
"Terima kasih," ucap Miss Ki sambil memejamkan mata, membaca mantra pelan. Dalam sekejap, pakaiannya kembali berganti seperti semula.
Namun Ed tiba-tiba mengernyit. "Ki… kau mencium bau aneh?"
Miss Ki mengendus. Matanya melebar. "Ya Tuhan... Ed, masakannya gosong!"
Asap putih mengepul dari kompor. Ed buru-buru merapal mantra, segumpal air muncul di telapak tangannya, tapi…
DUARR!
Bukan apinya yang padam, melainkan teflon di atas kompor yang mental dan jatuh menghantam lantai.
Refleks, Miss Ki memeluk Ed erat.
"Tenang, it’s okay, my queen," bisik Ed, mencoba menenangkannya.
Tatapan mereka bertemu. Waktu seperti melambat. Miss Ki melihat ketenangan di wajah Ed, sedangkan Ed… hampir tak bisa berpaling dari mata besar itu, dari bibir yang merah muda alami.
"Keturunan Madura Jawa memang tak pernah gagal…" gumamnya tanpa sadar.
Sebuah suara memotong momen itu. "Kalian akan terus berpelukan di sini? Atau kita bahas masakan gosong ini?"
Seorang pria sudah berdiri di dekat mereka, memegang teflon yang tadi tergeletak di lantai.
***
Sementara itu, di kamarnya, Gavriel merebahkan tubuhnya. Makan malam bersama keluarga Wardana hanya menyisakan rasa kosong.
"Andai kau masih ada… pasti kita sedang bermain dengan anak-anak sekarang," batinnya.
Namun pikirannya kembali ke beberapa jam yang lalu, ke surat dari rumah sakit yang ia temukan, yang menyatakan Valora hamil kembar. Bayi yang… kini tak pernah sempat ia lihat.
Ketika matanya mulai terpejam, suara lantang memecah keheningan.
"Apa kau merasa bersalah setelah membunuhku?"
Gavriel tersentak. Valora berdiri di samping ranjang, menatapnya tanpa ampun. Percakapan mereka berubah menjadi adu kata yang penuh tuduhan, penuh luka lama.
Saat Gavriel menanyakan tentang bayi kembar itu, Valora menjawab dingin, mereka sudah di surga. Dan ia… belum siap melepaskan dendamnya.
"Aku akan menyeretmu ke neraka bersamaku," katanya pelan namun mematikan, sebelum menghilang meninggalkan kelopak mawar berserakan di lantai.
Keesokan harinya, Jevano berdiri di pemakaman, menaburkan bunga di makam Valora dan Zayn. Kata-katanya lembut, penuh kerinduan, hingga kehadiran Gavriel memutus ketenangan itu.
Pertemuan mereka memanas. Kalimat yang keluar dari mulut Jevano, tentang mengakui Zayn setelah kematiannya, membuat Gavriel tertegun. Ia merasa pernah mendengarnya, tapi dari siapa?
Saat Gavriel akhirnya berbicara di hadapan makam Valora, air matanya pecah. Penyesalan membanjiri kata-katanya, pengakuan dosa keluar satu per satu.
Dari kejauhan, Miss Ki dan Ed mengamati.
"Pria bodoh hanya akan menangisi penyesalan," ujar Miss Ki dingin, lalu menghilang.
Ed masih menatap Gavriel. "Kali ini aku tidak akan gagallagi," bisiknya. "Hari penentuan akan datang… dan kau akan mendapat hukuman yang sebenarnya."
🦋To be continued...