Cinta seharusnya tidak menyakiti. Tapi baginya, cinta adalah awal kehancuran.
Yujin Lee percaya bahwa Lino hanyalah kakak tingkat yang baik, dan Jiya Han adalah sahabat yang sempurna. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum manis Lino, tersembunyi obsesi mematikan yang siap membakarnya hidup-hidup. Sebuah salah paham merenggut persahabatannya dengan Jiya, dan sebuah malam kelam merenggut segalanya—termasuk kepercayaan dan masa depannya.
Dia melarikan diri, menyamar sebagai Felicia Lee, berusaha membangun kehidupan baru di antara reruntuhan hatinya. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Lino, seperti setan yang haus balas, tidak akan membiarkan mawar hitamnya mekar untuk pria lain—terutama bukan untuk Christopher Lee, saudara tirinya sendiri yang telah lama mencintai Yujin dengan tulus.
Sampai kapan Felicia harus berlari? Dan berapa harga yang harus dibayar untuk benar-benar bebas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Satu bulan telah berlalu sejak malam badai itu, namun bagi Lee Yujin, waktu seolah membeku, terperangkap dalam pusaran trauma dan ketakutan. Ia telah membangun dinding tebal di sekelilingnya, dinding kesunyian yang menolak setiap sentuhan dari dunia luar. Ia menolak setiap panggilan dan pesan dari Lee Lino, menghindarinya dengan segala cara, dan sepenuhnya mengisolasi diri dari kehidupan sosialnya.
Lino telah mencoba berbagai cara untuk menjebol dinding itu, seperti mengirim bunga-bunga mahal yang kini hanya berakhir layu di depan pintunya, datang ke kampusnya dengan tatapan memohon yang diabaikannya, menelepon tanpa henti hingga dering telepon itu hanya menjadi suara yang menyakitkan, tetapi Yujin selalu berhasil menghindar atau mengabaikannya. Lino tidak bisa menembus benteng fisiknya, tetapi ia berhasil menghancurkan kedamaian batin Yujin, meracuni pikirannya dengan ketakutan dan kecemasan yang tak berkesudahan.
Rutinitas Yujin kini terbagi dua, yaitu saat di kampus, ia adalah mahasiswa desain yang fokus dan dingin, seorang profesional muda yang gigih dan berdedikasi, dan yang kedua saat di rumah, ia adalah tawanan kecemasan dan kelelahan, seorang wanita muda yang berjuang untuk bernapas di bawah beban trauma dan ketakutan.
Pagi itu, Yujin terbangun dengan sensasi pusing yang menusuk, seolah-olah ada jarum-jarum tajam yang menusuk kepalanya dari dalam. Ia berjalan ke kamar mandi dengan langkah gontai, dan saat melihat bayangannya di cermin, ia terkejut. Wajahnya terlihat pucat pasi seperti mayat, lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, dan bibirnya kering dan pecah-pecah. Ia tampak seperti bayangan dari dirinya sendiri, seorang wanita muda yang telah kehilangan vitalitas dan semangat hidupnya.
"Mungkin hanya kelelahan," bisik Yujin pada dirinya sendiri, sebuah mantra yang sering ia ulang untuk menenangkan dirinya. "Aku terlalu banyak begadang karena tugas skripsi... Aku hanya kurang tidur dan terlalu banyak minum kopi..."
Namun, kelelahan ini terasa berbeda dari biasanya. Ini bukan hanya kelelahan fisik, tetapi juga kelelahan emosional dan spiritual. Ia merasa kosong dan hampa, seolah-olah jiwanya telah terkuras habis.
Yujin merasa mual setiap kali ia mencium aroma makanan tertentu, bahkan kopi yang dulu ia suka kini terasa menjijikkan. Pagi ini, aroma sabun mandi baru yang ia beli dengan harapan bisa menyegarkan dirinya justru membuat perutnya bergejolak, memaksa ia berlari ke toilet untuk memuntahkan isi perutnya.
Dengan tangan gemetar, ia segera berjalan ke lemari obat di dapur. Di sana, sudah tersimpan koleksi obat pereda sakit kepala, vitamin, dan antasida yang ia beli secara acak dari apotek terdekat, mencoba mengatasi gejala-gejala aneh yang mulai menggerogoti tubuhnya.
Yujin menelan dua tablet pereda nyeri dengan segelas air, berharap sensasi pusing dan mual itu segera hilang. Ia tidak ingin ke kampus hari ini, tetapi ia harus. Rutinitas adalah satu-satunya hal yang menjaga akal sehatnya, satu-satunya jangkar yang mencegahnya tenggelam ke dalam lautan keputusasaan.
***
Seiring berjalannya waktu, Yujin semakin menyadari perubahan drastis dalam pola hidupnya. Ia sering merasa sangat mengantuk di siang hari, bahkan di tengah-tengah kelas yang paling menarik, dan ia harus berjuang keras untuk tetap terjaga. Ia seringkali tanpa sadar tertidur di perpustakaan, di taman kampus, bahkan di dalam bus. Berat badannya terasa menurun drastis meskipun ia makan lebih banyak dari biasanya, tetapi perutnya... Perutnya terasa sedikit membesar.
Yujin menatap perutnya sendiri di cermin dengan tatapan kosong, mengenakan celana jins yang mulai terasa sedikit ketat dan tidak nyaman. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi perutnya terasa kembung dan penuh.
"Ini karena aku kurang olahraga... Aku terlalu banyak stres... Stres membuat perutku kembung..." bisiknya berulang-ulang, mencoba mencari alasan logis untuk menjelaskan perubahan aneh pada tubuhnya.
Ia harus menyalahkan stres. Stres yang disebabkan oleh Lino, Jiya yang membencinya, dan Christopher yang masih belum bisa dihubungi (Lino masih memblokirnya, dan Christopher mengira Yujin telah meninggalkannya). Stres adalah kambing hitam yang sempurna, alasan yang bisa ia gunakan untuk menyangkal kebenaran yang mengerikan.
Yujin mulai menghindari tempat-tempat yang ramai, takut ia akan pingsan atau tiba-tiba mual di depan umum, mempermalukan dirinya sendiri. Ia menghindari obrolan panjang dengan teman-temannya, takut ia akan kehilangan kendali emosionalnya dan menceritakan insiden di malam badai itu, mengungkapkan rahasia yang harus ia simpan rapat-rapat.
Suatu sore, Yujin pulang dari kampus lebih awal dari biasanya. Ia seharusnya merasa lega karena berhasil menghindari Lino hari itu, tetapi ia hanya merasa lemas dan tidak bertenaga, seperti seluruh energinya telah terkuras habis. Ia merasa seperti robot yang kehabisan baterai, berjalan tanpa tujuan dan tanpa semangat.
Ia duduk di sofa ruang tamu, memeluk cangkir teh hangat dengan kedua tangannya, mencoba menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Pikirannya tidak bisa lari dari kemungkinan terburuk, dari ketakutan yang terus menghantuinya.
Jantung Yujin berdebar kencang di dadanya, pusingnya terasa semakin kuat, seakan kepalanya akan pecah. Sudah lebih dari sebulan sejak menstruasi terakhirnya. Siklusnya, yang biasanya sangat teratur seperti jam Swiss, kini absen, menghadirkan tanda tanya besar yang menakutkan.
Yujin mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah efek psikologis dari trauma, bahwa tubuhnya hanya bereaksi terhadap stres yang luar biasa.
"𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬, 𝘪𝘯𝘪 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘴𝘵𝘳𝘦𝘴! 𝘚𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘴𝘪𝘥𝘦𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶, 𝘸𝘢𝘫𝘢𝘳 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘵𝘶𝘣𝘶𝘩𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘦𝘢𝘬𝘴𝘪 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪. 𝘓𝘪𝘯𝘰 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘣𝘯𝘺𝘢. 𝘋𝘪𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘶𝘳, 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵𝘬𝘶 𝘤𝘦𝘮𝘢𝘴, 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵. 𝘐𝘯𝘪 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘦𝘧𝘦𝘬 𝘵𝘳𝘢𝘶𝘮𝘢 𝘱𝘢𝘴𝘤𝘢-𝘪𝘯𝘴𝘪𝘥𝘦𝘯, 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯... 𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯 𝘩𝘢𝘮𝘪𝘭..."
Dengan panik, ia meraih buku tentang Biologi dan Psikosomatik dari rak buku. Ia mencari artikel tentang bagaimana stres akut dapat memengaruhi siklus hormonal wanita, mencari bukti ilmiah untuk mendukung penyangkalannya. Ia menelan setiap kata dengan rakus, mencari validasi ilmiah untuk menenangkan ketakutannya.
"𝘠𝘢, 𝘴𝘵𝘳𝘦𝘴 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘣𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘮𝘦𝘯𝘰𝘳𝘦 (𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘴𝘵𝘳𝘶𝘢𝘴𝘪). 𝘐𝘯𝘪 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘴𝘵𝘳𝘦𝘴... 𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘮𝘪𝘭..."
Yujin memejamkan mata, memeluk buku itu erat-erat ke dadanya, seolah-olah buku itu bisa melindunginya dari kebenaran yang mengerikan. Ia ingin memercayai buku itu lebih dari tubuhnya sendiri, lebih dari instingnya sendiri.
Namun, ia tidak bisa mengabaikan kata-kata Lino yang terus menghantuinya: "𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘳𝘢𝘱 𝘬𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘮𝘪𝘭. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘮𝘪𝘭, 𝘬𝘢𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶."
Kata-kata Lino yang penuh keyakinan itu kini terasa seperti kutukan yang menghantuinya.
Yujin mulai menangis pelan, air mata mengalir tanpa suara ke halaman buku, membasahi kata-kata yang ia harap bisa menyelamatkannya. Ia tidak bisa lagi menipu dirinya sendiri. Gejala-gejala fisik ini terlalu nyata untuk diabaikan.
Dengan langkah berat, ia bangkit dari sofa dan berjalan ke kamar tidurnya. Ia membuka laci meja rias dengan tangan gemetar, mengambil uang tunai yang tersisa dari dompetnya.
"Aku harus tahu... Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini..." bisiknya dengan suara bergetar.
Yujin menolak untuk membeli alat tes kehamilan di apotek dekat rumahnya. Ia takut Lino, atau Jiya yang mungkin sudah kembali dari KKN, akan memergokinya dan mengetahui rahasianya. Ia tidak ingin menjadi bahan gosip, ia tidak ingin ada orang yang tahu tentang kehancurannya.
Malam itu, dengan mengenakan topi dan masker untuk menyembunyikan identitasnya, Yujin berjalan jauh, jauh melampaui lingkungan perumahannya, ke sebuah apotek di distrik yang asing dan ramai. Ia merasa seperti seorang kriminal yang sedang melakukan transaksi ilegal.
Ia masuk ke dalam apotek dengan jantung berdebar kencang, berpura-pura mencari obat flu untuk mengalihkan perhatian, tetapi matanya hanya tertuju pada rak kecil di sudut yang berisi alat tes kehamilan.
"Saya ingin... vitamin C," kata Yujin pada apoteker wanita muda dengan suara yang bergetar. Ia mencoba untuk terdengar normal, tetapi suaranya terdengar aneh dan tidak wajar.
Kemudian, dengan ragu-ragu, Yujin berbisik hampir tak terdengar. "Dan... alat tes kehamilan. Yang paling akurat..."
Apoteker itu menatapnya dengan tatapan tanpa ekspresi, seolah-olah ia sudah sering melihat wanita muda yang putus asa seperti dirinya. Yujin merasakan rasa malu dan kehinaan membanjiri dirinya, membuatnya ingin menghilang ditelan bumi.
Ia membayar dengan uang tunai, menyembunyikan alat tes kehamilan itu di dalam kantong jaketnya, dan berlari keluar dari apotek secepat mungkin, merasa seperti seorang buronan.
Ia berjalan kembali ke rumahnya dalam kegelapan malam, merasa sendirian dan terpojok di dunia yang kejam ini.
Di kamar mandi rumahnya yang sunyi, Yujin menatap alat tes kehamilan itu dengan tatapan kosong. Tangan yang memegangnya gemetar tak terkendali. Jantungnya berdebar kencang di dadanya, ia merasa pusing bukan lagi karena tekanan darah rendah, melainkan karena ketakutan yang luar biasa.
Yujin menutup matanya rapat-rapat, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya, dan melakukan tes itu dengan tangan gemetar. Ia meletakkannya di atas wastafel, menghitung detik-detik yang terasa seperti keabadian.
Perlahan-lahan, dengan jantung berdebar kencang, ia membuka matanya.
Di bawah cahaya lampu kamar mandi yang dingin dan tanpa ampun, ia melihat hasilnya dengan jelas.
Dua garis merah yang tegas dan tak terbantahkan.
Senyap.
Tidak ada tangisan histeris, tidak ada jeritan putus asa. Hanya keheningan yang mematikan yang memenuhi ruangan.
Yujin menatap dua garis itu dengan tatapan kosong, kemudian mengalihkan pandangannya ke bayangannya di cermin. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun, hanya kekosongan yang mengerikan.
𝘓𝘪𝘯𝘰 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳. 𝘈𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘮𝘪𝘭.
Dengan tubuh lemas, Yujin membungkuk, menempatkan wajahnya di atas wastafel yang dingin, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara, berbaur dengan air dingin di wastafel.
Ia tidak punya siapa-siapa untuk berbagi kesedihannya. Dan ia membawa beban yang akan menjadi senjata Lino untuk mengklaimnya selamanya, untuk mengendalikan hidupnya, dan untuk menghancurkan semua impiannya.
.
.
.
.
.
.
.
ㅡ Bersambung ㅡ