SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Epilog
🎬 Pembukaan: Peringatan Televisi
Layar televisi menayangkan sebuah adegan yang gelap dan mencekam. Suara narator yang berat dan menggelegar memenuhi ruangan.
"Kamu tahu apa yang ditakutkan setelah datangnya kematian?"
Narator berhenti sejenak, membangun ketegangan.
Gambar di layar beralih cepat: keluarga yang menangis di pemakaman, lalu tumpukan harta yang tak berarti di peti besi.
"Keluargamu?"
"Hartamu?"
Narator kembali berhenti, suaranya kini lebih dalam, lebih menusuk.
"Jawabannya?"
"Siksa kubur!!"
Gambar di layar berubah menjadi visual grafis yang mengerikan: liang lahat yang menyempit, api yang berkobar dari tanah, ular-ular yang melilit, dan wajah-wajah yang berteriak kesakitan.
"Siksa kubur benar adanya!!!"
Visual itu begitu nyata, begitu brutal, seolah-olah penonton dipaksa menjadi saksi mata atas kengerian yang tak terbayangkan. Efek suara palu godam, jeritan pilu, dan suara gemuruh yang menggelegar membuat bulu kuduk merinding. Itu adalah cuplikan adegan paling intens dari sebuah film atau drama horor spiritual yang dibuat dengan sangat detail.
🎥 Di Balik Layar Kisah
Tirai hitam di layar televisi menyingkap. Suara narator berangsur-angsur memudar, digantikan oleh suara ambient ruangan yang lebih nyata.
Yang tadi di alur itu hanyalah sebuah cerita dari film TV yang belum pernah dirasakan Slamet, Sinta, Alim, atau siapapun itu.
Semua kengerian yang telah kita baca—Sinta yang dikurung di liang lahat, Slamet yang disiksa oleh ular, api, belatung, balok dosa yang berbicara, dan Malaikat berwajah monster—semuanya adalah bagian dari skenario film yang intens dan mendalam.
Tidak ada yang benar-benar terjadi pada Sinta secara fisik. Tidak ada mati suri. Tidak ada kehabisan oksigen. Itu hanyalah sebuah narasi fiksi yang dirancang untuk menyampaikan pesan moral yang kuat tentang ancaman siksa kubur.
Alur cerita itu tidak melibatkan Sinta dan tokoh-tokoh yang ada di sini.
Ini berarti Sinta yang kita kenal—si perawat baik hati, si anak yatim piatu, si korban Nini—adalah orang yang terpisah dari karakter "Sinta" dalam film TV tersebut. Demikian pula, "Slamet" yang disiksa di film TV hanyalah karakter fiksi, bukan Pak Slamet lansia yang mungkin ada di panti jompo. Alim pun demikian. Mereka adalah pemirsa, atau mungkin aktor yang berperan dalam film tersebut, tetapi tidak pernah benar-benar mengalami peristiwa supernatural itu dalam "realitas" cerita ini.
💖 Realitas Sejati Sinta
Layar televisi kini menampilkan pantulan ruangan yang hangat dan nyaman.
Dan akhirnya, Sinta datang.
Ia melangkah masuk ke ruang keluarga sebuah panti jompo, mungkin Panti Jompo "Senja Indah", tempat para lansia sedang menonton televisi.
Sinta tampak berbeda dari deskripsi kita tentangnya di Bab 19. Wajahnya penuh polos dan senyum ramah. Ia tidak memakai hijab, dan tidak ada jejak trauma, ketakutan histeris, atau kegilaan yang terlihat di matanya. Ia adalah Sinta yang ramah, hangat, dan penyayang, seperti yang kita kenal di awal-awal cerita. Ia adalah perawat yang berdedikasi.
Ia menoleh ke arah para lansia yang masih terkesima oleh tayangan film horor spiritual di TV.
Dan berkata, "Sudah malam, Bapak-bapak, Ibu. Ayo, waktunya tidur."
Suaranya lembut, penuh perhatian, dan menenangkan. Ia tidak terpengaruh oleh adegan-adegan mengerikan di televisi. Baginya, itu hanyalah film.
Sinta tersenyum, lalu mematikan televisi, mengakhiri tayangan mengerikan itu.
Ia tidak pernah dikurung di liang lahat. Ia tidak pernah melihat siksa kubur. Ia tidak pernah mengucapkan tobat histeris di samping mayat Slamet. Itu semua hanyalah adegan-adegan dari sebuah film yang ia tonton (atau mungkin ia bintangi sebagai aktris).
Paham?
BILA WAKTU TLAH BERAKHIR
Bagaimana kau merasa bangga
Akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua
Hilang dan pergi meninggalkan dirimu
Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masihkah ada jalan bagimu
Untuk kembali mengulangkan masa lalu
Dunia dipenuhi dengan hiasan
Semua dan segala yang ada akan kembali padaNya
Bila waktu tlah memanggil
Teman sejati hanyalah amal
Bila waktu tlah terhenti
Teman sejati tinggallah sepi
Bila waktu tlah memanggil
Teman sejati hanyalah amal
Bila waktu tlah terhenti
Teman sejati tinggalah sepi
Bila waktu tlah memanggil
Bila waktu telah terhenti
Teman sejati tingallah sepi ho
TAK ADA YANG ABADI
Takkan selamanya tanganku mendekapmu
Takkan selamanya raga ini menjagamu
Seperti alunan detak jantungku
Tak bertahan melawan waktu
Dan semua keindahan yang memudar
Atau cinta yang telah hilang
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Biarkan aku bernafas sejenak
Sebelum hilang
Takkan selamanya tanganku mendekapmu
Takkan selamanya raga ini menjagamu
Jiwa yang lama segera pergi
Bersiaplah para pengganti
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
BENGAWAN SOLO
Bengawan Solo
Riwayatmu ini
Sedari dulu jadi perhatian insani
Musim kemarau
Tak seberapa airmu
Di musim hujan air
Meluap sampai jauh
Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air mengalir sampai jauh
Akhirnya ke laut
Itu perahu
Riwayatmu dulu
Kaum pedagang slalu
Naik itu perahu