Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5: Usaha yang Tiba-Tiba Laris
Seminggu setelah percakapan itu, warung Arsyan jadi... aneh.
Bukan aneh dalam artian serem atau mistis—meskipun, oke, mungkin emang ada unsur mistisnya—tapi aneh dalam artian: tiba-tiba rame banget. Rame sampai Arsyan nggak sempet duduk. Rame sampai kuah sotonya abis sebelum maghrib. Rame sampai... Arsyan sendiri bingung.
"Gas, ini hari ketujuh berturut-turut warung lo penuh terus," kata Bhaskara sambil ngitung uang receh di meja plastik. "Lo yakin ini normal?"
Arsyan ngusap keringat di jidat pake ujung kaos. Capek. Badan pegal semua. Tapi... seneng. Seneng banget. Pertama kalinya dalam lima tahun jualan, dia ngerasain warungnya laku keras.
"Mungkin emang rezekinya lagi bagus, Bhas."
"Atau..." Bhaskara nunduk, suaranya pelan. "...ini ulah Wulan."
Arsyan berhenti ngepel meja. Tangannya diem di udara, lap basah netes-netes ke tanah.
"Jangan mulai lagi."
"Gas, gue serius. Lo pikir ini kebetulan? Sejak Wulan dateng, warung lo langsung rame. Pembeli pada dateng entah dari mana. Bahkan orang-orang yang biasanya lewat doang, sekarang berhenti beli."
"Mungkin soto gue memang enak—"
"GAS." Bhaskara berdiri, menatap Arsyan tajam. "Soto lo dari dulu rasanya sama. Nggak ada yang berubah. Yang berubah cuma... kehadiran Wulan."
Arsyan diam.
Dalam hatinya... dia tau. Dia tau Bhaskara bener. Tapi dia nggak mau ngakuin. Karena kalau dia ngakuin, berarti dia harus terima kenyataan bahwa Wulan... bukan manusia biasa.
Dan Arsyan belum siap buat itu.
"Bhas... gue cuma mau seneng dulu. Boleh nggak?"
Bhaskara menatap Arsyan lama. Lalu dia menghela napas panjang, pundaknya turun. "Oke. Tapi Gas... kalau nanti ada apa-apa, jangan bilang gue nggak pernah ngingetin."
"Iya. Makasih, Bhas."
Bhaskara pergi, ninggalin Arsyan sendirian di gerobaknya yang bau kuah soto campur keringat.
Malamnya, pas Arsyan lagi beresin mangkuk terakhir, Wulan dateng.
Kayak biasa. Tiba-tiba muncul dari arah sungai, jalan pelan, senyum tipis. Arsyan—meskipun udah capek banget—langsung berasa seger lagi.
"Mbak," sapanya, nyengir lebar. "Udah makan?"
"Belum. Tapi aku nggak laper."
"Loh, kok nggak laper? Mbak sakit?"
Wulan geleng pelan, duduk di bangku plastik yang udah retak. "Aku... jarang laper, Mas."
Arsyan bingung. "Jarang laper? Emang bisa?"
"Bisa. Aku... emang jarang makan."
"Terus lo makan apa?"
Wulan tersenyum. Senyum yang... aneh. Nggak lucu, tapi juga nggak sedih. Cuma... kosong. "Aku... nggak butuh makanan kayak Mas. Tapi... aku suka makan soto Mas. Rasanya... bikin aku inget rumah."
Arsyan mau nanya "rumah mana?" tapi dia urungkan. Ada sesuatu di mata Wulan yang bilang: jangan tanya.
"Oke deh. Gue buatin seporsi ya."
"Terima kasih, Mas."
Arsyan nyiapin soto dengan hati-hati. Dia tambahin daging lebih banyak, kuahnya dia bikin agak panas, terus dia taroh di depan Wulan kayak lagi ngasih hadiah.
"Ini. Spesial buat Mbak."
Wulan menatap mangkuk itu lama. Lalu... matanya berkaca-kaca.
Arsyan panik. "Mbak—kenapa? Gue salah ngomong?"
"Nggak." Wulan ngusap matanya cepet. "Aku cuma... terharu. Mas... baik banget sama aku."
"Ya iyalah. Gue... gue suka sama Mbak."
Hening.
Angin malam bertiup pelan, bawa aroma kenanga yang makin kuat.
Wulan menatap Arsyan. Dalam. Kayak lagi ngukir wajah Arsyan di ingatannya.
"Mas... nggak takut sama aku?"
Arsyan menelan ludah. Jujur? Dia takut. Takut banget. Tapi...
"Takut. Tapi... aku lebih takut kehilangan Mbak."
Wulan menangis.
Nangis diam-diam. Air matanya jatoh ke pipi, tapi dia nggak ngucek, nggak isak. Cuma... nangis.
Arsyan langsung duduk di sebelah Wulan, pegang tangannya—dingin, selalu dingin—tapi dia peluk erat.
"Mbak... jangan nangis. Gue di sini."
"Mas... kenapa Mas baik banget? Padahal... padahal aku... aku nggak pantas..."
"Nggak ada yang nggak pantas, Mbak. Lo baik sama gue, lo nemenin gue, lo... lo bikin hidup gue lebih... lebih ada artinya."
Wulan menatap Arsyan, mata merah, basah. "Mas... kalau suatu hari nanti... aku harus pergi... Mas bakal benci aku?"
Arsyan jantungnya langsung nyesek.
"Pergi kemana?"
"Aku... aku nggak tau. Tapi... mungkin aku harus pergi. Dan mungkin... aku nggak bisa balik."
"Kenapa?"
Wulan nggak jawab. Dia cuma natap langit malam yang penuh bintang.
"Mas... janji sama aku. Apapun yang terjadi... jangan benci aku."
Arsyan nggak ngerti. Tapi dia jawab, "Aku janji."
Mereka duduk lama di sana. Nggak ngomong apa-apa. Cuma duduk, pegang tangan, dengerin suara sungai yang mengalir pelan.
Dan Arsyan—entah kenapa—ngerasa ini adalah momen paling penting dalam hidupnya.
Momen yang dia nggak akan pernah lupa.
Besoknya, warung Arsyan makin rame.
Sampe ada yang rela antri. ANTRI. Di warung soto pinggir jalan yang catnya ngelupas.
Dzaki dateng bawa minyak zaitun lagi (kayaknya dia beli grosiran), mukanya pucat.
"Gas... ini nggak beres."
"Apanya yang nggak beres? Warung gue laris, Zak. Syukurin dong."
"Laris nggak wajar, Gas! Orang-orang yang dateng... aku baca auranya... mereka... mereka kayak di-tarik ke sini."
Arsyan berhenti motong daun bawang. "Ditarik gimana?"
"Kayak... ada magnet gaib. Mereka dateng tanpa sadar kenapa mereka pengen makan di sini."
Arsyan menggeleng. "Zak, lo kebanyakan baca kitab. Santai dikit."
"Gas, ini serius! Kalau ini terus-terusan, nanti ada yang curiga. Nanti ada... entahlah, dukun, kiai lain, atau malah... kerajaan jin lain yang—"
"KERAJAAN JIN?!" Arsyan nyaris teriak.
"Iya! Kalau Wulan emang jin dan dia bantu lo, berarti dia pake kekuatannya di dunia manusia. Itu... itu melanggar aturan, Gas. Aturan antar alam."
Arsyan diam.
Dadanya sesak.
Dia pengen marah, pengen bilang Dzaki ngaco. Tapi... ada bagian dari dirinya yang tau Dzaki nggak ngaco.
"Terus... terus gue harus gimana?"
"Tanya Wulan. Langsung. Jangan ditunda lagi."
Malam itu, Arsyan nunggu Wulan sampe jam sebelas. Tapi dia nggak dateng.
Arsyan pulang dengan perasaan campur aduk.
Senang karena warungnya laris.
Tapi takut... takut karena semua ini ada harganya.
Dan dia belum tau harga itu... seberapa mahal.