Ayudia berpacaran dengan Haris selama enam tahun, tetapi pernikahan mereka hanya bertahan selama dua tahun, sebab Haris ketahuan menjalin hubungan gelap dengan sekertarisnya di kantor.
Seminggu setelah sidang perceraiannya usai, Ayudia baru menyadari bahwa dirinya sedang mengandung janin kecil yang hadirnya tak pernah di sangka- sangka. Tapi sayangnya, Ayudia tidak mau kembali bersama Haris yang sudah menikahi wanita lain.
Ayudia pun berniat nutupi kehamilannya dari sang mantan suami, hingga Ayahnya memutuskan agar Ayudia pulang ke sebuah desa terpencil bernama 'Kota Ayu'.
Dari situlah Ayudia bertemu dengan sosok Linggarjati Putra Sena, lelaki yang lebih muda tiga tahun darinya dan seorang yang mengejarnya mati-matian meskipun tau bahwa Ayudia adalah seorang janda dan sedang mengandung anak mantan suaminya.
Satu yang Ayudia tidak tau, bahwa Linggarjati adalah orang gila yang terobsesi dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nitapijaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memang perlu di racun
"Lokasinya ada di dua tempat,"
"Hah? maksudnya, dia bisa membelah diri?" Ekspresi wajah cengo Danu berhasil membuat Haris berdecak kagum. Ternyata temannya memang sebodoh itu.
"Lo kira istri gue amoeba yang bisa ber-fragmentasi?!" Rutuk Haris pada Danu.
Setelah dari cafe, mereka memang langsung berangkat ke tempat kenalan Danu yang bernama Firman, katanya dia cukup ahli dalam lacak melacak. Dan terbukti, tidak sampai satu jam, lelaki gondrong itu sudah memberikan informasi yang di dapatnya.
"Gue rasa, nomor istri Lo ada di dua perangkat. Tapi, buat memastikan lagi, kita bisa nyoba sekali lagi." Tutur Firman, tak mau menanggapi kebodohan Danu.
Padahal usianya sudah setua ini, tapi pikirannya —entahlah.
"Oke, gue coba lagi." Haris langsung mendial nomor Ayudia, lelaki itu terpaksa membeli beberapa kartu baru agar bisa menghubungi sang mantan istri. Belajar dari pengalaman kemarin, karena nomornya selalu di block.
Firman tak menjawab karena matanya fokus ke layar komputer di depannya. Panggilan itu terhubung, tapi belum di angkat oleh pemilik nomor. Dan bisa dia lihat, kalau nomor yang sedang di lacaknya memang tersambung di dua perangkat dengan lokasi yang berbeda dan cukup jauh.
Tutt! Panggilan itu tersambung dari perangkat yang menunjukan sebuah lokasi di perkotaan karena jaringan terlihat lancar, sementara satu perangkat memang kurang bagus karena sepertinya lokasinya ada di sebuah hutan.
"Halo, Dekk, ini—"
Baru satu detik panggilan itu tersambung, di sebrang sana sudah keburu mematikan. Haris mengumpat kesal, ingin merutuki Ayudia, tapi tidak berani.
"Di matiin lagi?" Tebak Danu, lelaki itu menatap wajah frustasi sohibnya.
Sepertinya tanpa di jawab pun Danu sudah tau jawabannya. Lalu tatapannya beralih pada Firman, "Gimana bro?"
"Ketemu," jawaban lelaki gondrong itu langsung membangkitkan senyuman Haris, begitu juga Danu yang turut senang.
"Bisa langsung tau lokasinya sekarang? Gue mau nyusul hari ini juga,"
"Ini baru satu lokasi, yakin mau langsung Lo datengin?" Tanya Firman, Haris langsung mengangguk semangat.
"Iya, gue yakin kalau itu memang Istri gue, bro. Soalnya waktu itu gue pernah telepon dia, dan langsung di matiin kaya sekarang. Gue yakin setelah ini nomor gue bakal di block lagi," ujar Haris dengan sedikit nada nanar, tapi tak menyurutkan semangatnya untuk menyusul Ayudia.
Firman yang pada dasarnya tak mau repot hanya mengangguk saja. Dia hanya menyediakan jasa sesuai keinginan klien, kalau kliennya sudah bilang 'yakin' yasudah, dia tinggal menunggu bayaran masuk ke rekeningnya.
"Oke, keep. Untuk lokasinya gue kirim lewat WhatsUpp biar Lo lebih mudah nanti,"
Setelahnya, ketiga laki-laki itu saling melemparkan kebahagiaan dengan alasan yang berbeda-beda. Haris dengan harapan segera bertemu sang pujaan hati, sedangkan Firman dengan wajah semringah begitu Haris menunjukan bukti transferan. Danu pun ikut bahagia, setidaknya dia tidak akan di pusingkan dengan curhatan temannya lagi, kan?
Harapannya begitu.
Sementara kebahagiaan menguap di sana, di sisi lain ada satu lelaki yang menahan amarah, kekesalan dan dongkol hati. Dia adalah Linggarjati.
Lelaki hitam manis itu sedang mengontrol toko-nya yang berada di kabupaten, tapi sedari tadi ponselnya terus berdering dengan nomor tak di kenal masuk. Lebih kesal lagi karena tau, nomor asing itu mencoba menghubungi Ayudia.
Sudah jelas kalau itu nomor mantan suaminya, lelaki bodoh itu tidak menyerah juga rupanya. Padahal sudah berkali-kali di blokir oleh Linggar, tetap saja menghubungi.
"Kenapa Mas? Kecut banget wajahnya," celetuk salah satu anak buahnya yang bertugas menjaga toko.
"Biasa, bibit-bibit perusak muncul." Jawab linggar yang di artikan lain oleh anak buahnya. Dia kira Bosnya kesal karena hama pada tanaman di kebunnya mulai bermunculan.
"Lho, iya Mas. Sawah bapak saya juga gagal panen karna meningkatnya populasi tikus, belum lagi cuaca sedang tidak bagus." Curhatnya. Linggar terkesiap, tapi tak mengelak.
"Memang perlu di racun itu tikus, biar sadar diri nggak berharap sama calon istri orang!" Sahut lelaki itu menatap wajah Anak buahnya yang mengernyit heran.
"Nggak usah di pikirin," Linggar melempar senyuman konyolnya, selepas itu pamit pergi meninggalkan Toko. Dia tak bisa berlama-lama, begitu urusannya selesai Linggar harus segera kembali ke Desa.
Akhir-akhir ini Hujan sering melanda, meski pagi-pagi matahari masih terik, tapi siang sudah mulai mendung dan gerimis. Bisa bahaya kalau Linggar terjebak di kota, masalahnya dia tidak mau jauh dari Ayudia, hehehe.
****
"Aku mau nyusul Mbak ke sana," Ayudia bisa melihat wajah berbinar adik terakhirnya ketika berucap demikian.
"Kapan?" Tanya Ayudia tak kalah berbinar. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu, rasanya cukup rindu. Padahal, dulu saat di kota mereka juga jarang berkumpul karena Ayudia lebih sering menghabiskan waktu bersama Haris.
"Kalo aku dalam Minggu ini bisa langsung otw, tapi kalau Ayah Ibu nunggu Ayah cuti kerja, Mas Gala juga sama."
Ayudia angguk-angguk, di otaknya sudah terencana kegiatan apa saja yang akan dia lakukan bersama Julian nanti. Selama ini dia hanya bisa mengandalkan Linggar, itu pun jarang karena dia tak mau merepotkan orang lain.
"Mbak mau di bawain apa? Siapa tau ponakan Juli pengen sesuatu," Di layar ponsel itu, Julian bertopang dagu menatap Ayudia.
"Apa ya? Brownies langganan Mbak aja, ya. Sama, kalau ada strawberry juga boleh." Kemudian Ayudia juga menyebutkan apa saja yang dia inginkan dari kota, yang sekiranya tidak bisa dia dapatkan di desa.
Saking bersemangatnya, Ayudia sampai mengabaikan panggilan seseorang juga ketukan pintu yang berulang-ulang. Ayudia baru sadar ketika orang tersebut masuk ke dalam lewat pintu dapur.
Jangan di tebak siapa, jelas-jelas Uti yang baru pulang dari kebun Pakde Narman.
Wajah tuanya sudah merengut, hampir memarahi cucu perempuannya kalau saja Julian tak menyapa Uti Nur. Ayudia cengengesan ketika di sindir oleh mulut lemes Uti Nur.
Wanita sepuh itu juga turut mengomeli Julian yang tak salah apa-apa, dasarnya orang tua, kalau emosi pasti siapapun bakal kena batunya. Asal ada di depan mata saja pasti kena omel, tak perduli siapa yang membuat salah.
"JEMURAANN!"
Ayudia menjerit heboh tak kala terdengar suara tetesan air hujan, wanita hamil itu langsung lari terbirit-birit keluar rumah menuju halaman samping —tempat biasa menjemur pakaian.
"Jangan lari nduuuk!" Uti memperingati Ayudia yang terlalu panik.
"Nggak Ti!"
Uti Nur mendengus sebal, lalu menatap cucu laki-lakinya yang jauh di sana. "Kan, Uti bilang juga apa! Mbak mu itu kalau nggak grusak-grusuk hidupnya Ndak tenang, sudah dibilangin jangan suka lari-larian, tetap aja lari." Omel Uti.
Julian di layar ponsel menyengir lebar, "Maklum Ti, jemuran lebih penting dari keselamatan, wkwk"
"Sembarangan! Ndak ada yang lebih penting dari keselamatan, memangnya kalau kamu sakit jemuranmu bisa bantu rawat? Ndak, toh!"
"Ujung-ujungnya yang repot keluarga, yang sedih keluarga. Gini ini kamu masih muda, belum mengerti nikmat sehat bagi orang tua!"
"Udah ah, Ti! Uti dari tadi ngomel terus kaya Ibu. Lama-lama kuping Julian bisa terbelah kalau dengerin Uti ngoceh terus!" Julian cemberut sebal yang membuat Utinya tambah berang.
Panggilan pun tersudahi, Julian pamit karena dia harus menyiapkan beberapa hal sebelum berangkat ke Kota Ayu.
Sementara Uti keheranan karena cucu perempuannya yang sedikit bandel belum juga masuk ke rumah, padahal hujan sudah terdengar lebat.
Karena khawatir, Wanita sepuh itu memutuskan untuk menyusul. Mulutnya sudah gatal ingin mengomel, tapi ketika sampai di halaman samping, matanya langsung melotot kaget.
"Kalian—!"
###
Lihat apa tuh Uti Nur 😂😂