Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Bimbang
Menjelang subuh, ruangan itu masih dibalut keheningan. Lampu di sudut langit-langit hanya menyala redup, memberikan semburat cahaya hangat yang memantul lembut di dinding putih rumah sakit. Di luar, langit belum sepenuhnya terang, tapi bayangan gelap malam mulai bergeser perlahan.
Ervan membuka matanya. Tidurnya tak benar-benar nyenyak. Bahkan bisa dibilang ia hanya sempat terlelap beberapa jam sebelum gelisah itu kembali membangunkannya. Percakapan semalam terus berputar dalam kepalanya, seperti rekaman rusak yang tak berhenti memutar ulang kalimat-kalimat Shanum.
Dengan napas berat, ia bangkit duduk dari ranjang lipat. Selimut tipis jatuh ke pangkuannya, tangan kirinya secara refleks mengusap wajah. Ia menatap lurus ke arah ranjang utama. Shanum masih terlelap, tubuhnya menyamping, wajahnya tenang dalam tidurnya.
Tanpa make-up. Tanpa topeng.
Dan justru saat seperti inilah Ervan bisa melihat perempuan itu seutuhnya. Kulit pucat yang masih terlihat bersih. Alis yang alami. Bibir yang tak diwarnai tapi tetap tampak lembut. Tidak seperti Meidina yang selalu tampil sempurna, Shanum terlihat nyata. Manusiawi. Dan entah kenapa, cantik dalam kesederhanaannya.
Ervan menelan ludah. Hatinya berdesir pelan.
Ia tahu ini seharusnya tidak terjadi. Ia tahu pikirannya tidak semestinya mengarah ke sana. Tapi perasaan itu muncul begitu saja, tanpa bisa ia kendalikan. Tangannya terangkat pelan, seperti ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat.
Jemarinya menyentuh pipi Shanum. Lembut. Hangat.
Shanum tidak bergerak. Masih terlelap. Matanya masih terpejam damai, bibirnya mengatup tenang. Napasnya teratur. Seolah sentuhan itu justru membawanya makin dalam ke pelukan mimpi.
Ervan menarik tangannya perlahan turun, lalu berhenti di atas perut Shanum. Ia tahu, di balik lapisan selimut dan pakaian rumah sakit itu, ada kehidupan yang sedang tumbuh. Anak dari Reinaldi—adiknya sendiri. Seorang lelaki yang dengan mudahnya menghindar dari tanggung jawab, lalu melemparkan beban itu ke pundaknya. Namun, perlu diingat kepergian adiknya sendirinya pun atas perintah ia dan mamanya.
Jari-jari Ervan mulai mengelus perlahan. Ada rasa hangat yang sulit dijelaskan.
Dan tanpa sadar, ia bergumam lirih, nyaris seperti doa yang terselip di antara napas.
“Apakah saya harus menceraikan mama-mu, Nak? Tapi, kenapa Om terasa berat?”
“Atau Om, boleh jadi papamu, Nak?
Tidak ada jawaban. Hanya detak jantungnya sendiri yang terdengar begitu keras di telinga. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergeser. Pelan tapi pasti.
Seketika itu juga, sesuatu di hatinya seperti disentuh dari dalam. Sebuah perasaan aneh, halus, tapi kuat. Bukan cinta—belum. Tapi ada semacam dorongan batin. Sebuah koneksi yang tiba-tiba terasa nyata. Seperti tubuhnya merespons hal yang belum dipahami pikirannya.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar itu.
Dan di sisi ranjang, Shanum tetap tertidur. Tapi wajahnya kini tampak lebih damai. Seolah hatinya tahu bahwa ada seseorang di sisinya. Bahwa meski belum sepenuhnya bisa diandalkan, Ervan tengah berusaha.
Dalam tidur, tubuh Shanum bergeser sedikit. Kepalanya miring, seperti mencari kenyamanan baru. Dan senyum samar—nyaris tak terlihat—terlukis di bibirnya.
Bukan senyum bahagia. Tapi senyum hangat. Ringan. Seperti anak kecil yang sedang bermimpi dipeluk oleh ibunya.
Dan Ervan tetap di sana. Tangan masih menyentuh perut itu. Matanya menatap wajah Shanum dengan perasaan yang tak bisa ia beri nama.
Bukan karena ia jatuh cinta. Tapi karena untuk pertama kalinya sejak pernikahan itu terjadi—ia merasa ada makna yang mungkin belum sempat ia pahami. Dan perlahan-lahan ia menunduk kepalanya mendekati perut istrinya, kecupan singkat ia berikan pada perut yang berselimut selimut tipis.
Subuh pun datang perlahan. Adzan terdengar jauh dari masjid kecil di luar rumah sakit. Suaranya mengalun lembut, menyusup masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Bersamaan dengan itu, hati Ervan terasa sesak, tapi bukan karena sesal. Melainkan karena kesadaran bahwa segala sesuatu tak bisa selalu dikendalikan oleh logika.
Kadang, perasaan datang setelah semuanya terlambat.
Atau mungkin, belum sepenuhnya terlambat.
Ia menarik selimut Shanum dengan hati-hati, memastikan perempuan itu tetap hangat. Lalu beranjak perlahan menuju jendela besar. Matanya menatap langit yang mulai berubah warna. Abu-abu pekat mulai tergantikan semburat biru dan jingga.
Pagi segera datang.
Dan bersama pagi, Ervan tahu … akan ada keputusan yang harus segera ia ambil.
Apakah ia akan tetap pada keputusan untuk bercerai?
Atau ... mungkinkah hatinya mulai mengarah ke jalan lain?
...***...
Jam digital di dinding menunjukkan pukul 06.02 pagi saat Bik Laras membuka pintu kamar kecil dengan langkah pelan. Perempuan paruh baya itu sudah terbiasa bangun sebelum subuh. Rambutnya yang sudah sedikit memutih disanggul rapi, dan aroma minyak kayu putih khas dari tubuhnya langsung memenuhi ruangan begitu ia masuk.
Matanya langsung menangkap sosok Ervan yang duduk sendirian di salah satu sofa di sudut ruangan, dengan secangkir kopi hangat di tangannya. Pria itu tampak diam, hanya memandangi lantai tanpa fokus, seperti larut dalam pikirannya sendiri. Sesekali, ia meniup permukaan kopi dan menyesapnya perlahan.
“Oh, Tuan sudah bangun,” sapa Bik Laras pelan.
Ervan mendongak, seulas senyum tipis menghiasi wajahnya. “Pagi, Bik.”
“Pagi, Tuan. Saya kira masih tidur.”
“Tidak bisa tidur lagi,” jawab Ervan sembari menaruh cangkir ke atas meja kecil di sampingnya. “Saya bikin kopi sendiri. Bik Laras masih tidur tadi.”
“Ndak apa-apa, Tuan. Tapi lain kali bilang saja, saya bisa buatkan.”
Ervan mengangguk, lalu merogoh dompet dari saku celananya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan menyodorkannya pada perempuan setengah baya itu.
“Tolong belikan sarapan, Bik. Beli bubur ayam buat Shanum, roti panggang buat saya atau nasi campur. Kalau bisa ada jus jeruk juga serta beberapa roti isi buat dia. Dan, beli juga sarapan buat Bibi sendiri,,” ucapnya dengan nada ringan namun perhatian.
Bik Laras mengangguk cepat. “Siap, Tuan. Saya langsung pergi sekarang.”
Ervan mengangguk, lalu kembali menyesap kopinya. Begitu Bik Laras melangkah keluar ruangan, keheningan kembali melingkupi ruang rawat. Hanya suara mesin infus dan monitor detak jantung yang terus berdetak pelan.
Namun ketenangan itu hanya bertahan sebentar.
Gemerisik dari ranjang utama membuat Ervan menoleh cepat. Shanum menggeliat pelan di bawah selimutnya, lalu perlahan membuka mata. Ia tampak bingung beberapa detik, lalu tanpa berkata apa-apa langsung mencoba menyibak selimut dan bangkit.
Ervan bangkit dari duduknya, meletakkan cangkir ke meja, lalu menghampiri. “Mau ke mana?” tanyanya cepat, sedikit khawatir.
Shanum mendongak setengah kesal. “Mau ke kamar mandi.”
“Biar saya bantu.”
“Eh, enggak usah,” jawab Shanum cepat. “Shanum bisa sendiri.”
Bersambung ... ✍️
𝑚𝑎𝑘𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑚𝑜𝑚𝑚𝑦
𝑙𝑎𝑛𝑗𝑢𝑡💪💪💪💪💪