Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29
Mobil mewah itu belum sempat melaju ketika Papi Marco melangkah maju, menatap Adrian dengan sorot mata tajam. Suaranya berat, penuh wibawa.
"Tunggu sebentar, anak muda."
Adrian tertegun, langkahnya tertahan. Ia berusaha tetap tenang, tapi tatapan pria paruh baya itu membuat nyalinya ciut.
Mami Elisabet ikut melangkah maju, wajahnya anggun namun menyimpan kemarahan yang ditahan.
"Kamu menantu tak tahu diri. Bagaimana mungkin kamu memperlakukan Anjani seperti pembantu di rumah sendiri? Apa kamu lupa siapa istrimu?"
Adrian menelan ludah, hatinya panas.
"Saya... saya tidak tahu siapa mereka! Anjani tidak pernah cerita!"
Kelvin yang sedari tadi berdiri di samping Anjani, tersenyum sinis.
"Bagaimana bisa dia bercerita... kalau kamu bahkan tidak pernah bertanya?"
Marco melipat tangan di dada, matanya menyipit menahan emosi.
"Anjani adalah anak kandung kami yang hilang. Kami sudah mencarinya bertahun-tahun. Tapi siapa sangka... dia ternyata hidup menderita bersama suaminya sendiri."
Mami Elisabeth menatap Adrian penuh kekecewaan.
"Seharusnya kamu menjadi pelindungnya... bukan orang yang menyakitinya."
Adrian semakin tidak berkutik.
"Saya yang menafkahinya... saya suaminya!"
Mami Elisabeth mendekat, menatap Adrian tajam.
"Dan dia yang bertahan dalam luka... karena dia mencintaimu."
Anjani menundukkan kepala, hatinya ikut sedih mendengar kata-kata ibunya.
"Sudah, Ma... Papi... tidak perlu memperpanjang lagi."
Marco menarik napas panjang, menahan amarahnya.
"Kamu beruntung, Adrian. Anjani wanita baik yang masih mau membela harga dirimu."
Adrian hanya bisa diam, menahan perasaan campur aduk.
Anjani menatap Adrian dengan sorot mata penuh luka.
"Aku pergi bukan karena aku tak mampu bertahan... tapi karena kamu yang tak pernah ingin aku bertahan."
Mami Elisabeth hanya memandang Adrian dengan kecewa. Kelvin menatap Adrian sekilas, seolah pria itu bukan siapa-siapa.
"Tunggu sebentar, anak muda."
Adrian tertegun, langkahnya tertahan. Ia memandang pria asing itu dengan bingung.
Mami Elisabet melangkah mendekat, wajahnya anggun namun menyiratkan kemarahan.
"Kami memang tidak mengenalmu... tapi kami tahu betul bagaimana kamu memperlakukan Anjani."
Adrian menelan ludah, berusaha mempertahankan gengsinya.
"Siapa kalian? Apa hak kalian menghakimi rumah tangga saya?"
Kelvin, yang sedari tadi berdiri di samping Anjani, menyahut dingin.
"Hak kami? Karena kami adalah keluarga kak Anjani…..terutama aku sebagai adik satu satu nya akan selalu melindungi kakakku.”
Adrian menatap Anjani seakan meminta penjelasan.
"Apa sebenarnya ini anjani ?"
Marco menatap lembut ke arah Anjani, mencoba menahan emosi.
"Kamu bisa menjelaskan nya sayang ."
Adrian mendengus, melipat tangan di dada.
"Jangan sok tahu kalian! Mereka ini siapa, Anjani? Jangan-jangan kamu memang selingkuh dengan mereka!"
Wajah Anjani memerah, matanya berkilat menahan emosi.
"Cukup, Adrian! Jangan asal menuduh tanpa tahu apa-apa! Mereka orang tua dan adik kandungku. Karena Bu fatma dan pak Iksan ternyata mereka cuma orang tua angkat ku."
Mami Elisabeth melangkah maju, menatap Adrian tajam.
"Aku sekarang malah bersyukur ,anakku bisa lepas dari laki laki yang tak bertanggung jawab sepertimu adrian."
Marco menahan napas panjang, mencoba menenangkan istrinya.
"Kamu sudah kehilangan wanita terbaik dalam hidupmu, Adrian... dan itu sepenuhnya salahmu sendiri."
Anjani menundukkan kepala, hatinya terasa perih. Namun, ada rasa hangat dari keberadaan orang-orang yang membelanya.
"Aku pergi bukan karena aku tak mampu bertahan... tapi karena kamu yang tak pernah menghargai kehadiranku."
Anjani melangkah masuk ke dalam mobil, meninggalkan Adrian yang hanya bisa terpaku menatap kepergiannya.
Kelvin menutup pintu mobil dengan keras, seolah menegaskan akhir dari semua penderitaan Anjani.
Adrian hanya bisa berdiri di tempat, menyaksikan semua dengan perasaan tak percaya .ternyata Anjani anak orang kaya. Ada rasa tidak rela melepaskan Anjani.
Sedang Wiliam melihat semua kejadian itu dari jauh . Ia tak mau ikut campur karena sudah ada mami dan papi Anjani yang akan membelanya. segera meninggalkan tempat itu ketika mobil keluarga Anjani sudah pergi terlebih dulu.
Sepeninggal Anjani dan keluarganya, Adrian terduduk lemas di dekat sepeda motornya. Wajahnya pucat, sorot matanya kosong menatap aspal yang mulai panas oleh sinar matahari siang. Napasnya memburu, seakan baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga, tapi tak pernah disadari selama ini.
Kepalanya dipenuhi suara-suara yang saling bersahutan. Bayangan Anjani yang selama ini sabar menemaninya melintas di benaknya. Perkataan Papi Marco dan Mami Elisabet masih terngiang di telinganya, membuat dadanya terasa sesak.
"Aku pergi bukan karena aku tak mampu bertahan... tapi karena kamu yang tak pernah menghargai kehadiranku."
Kalimat itu menusuk hatinya dalam-dalam. Tangan Adrian mengepal, bibirnya bergetar menahan emosi.
"Anjani... kenapa kamu nggak pernah cerita tentang keluargamu ? Kenapa kita akhirnya jadi begini ?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Dia memejamkan mata, mencoba meredam gejolak di dadanya. Namun, semakin ia mencoba, semakin bayangan masa lalu menghantam dirinya.
Adrian tahu dirinya salah, tapi egonya masih terlalu besar untuk mengakui. Sekarang, ketika semuanya sudah terlambat, baru ia menyadari betapa berharganya sosok Anjani dalam hidupnya.
Ia meremas rambutnya sendiri, frustasi. Penyesalan mulai merayapi hatinya, tapi apa lagi yang bisa ia lakukan? Anjani sudah pergi... bersama keluarga yang selama ini tidak diketahui.
Pelan-pelan, setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Namun, dengan cepat ia menghapusnya, menolak menunjukkan kelemahannya di hadapan dunia.
Waktu seakan lambat bagi Adrian. Setelah kesadaran menghantam dirinya, ia segera melangkahkan kaki meninggalkan parkiran pengadilan. Motor tuanya melaju pelan di bawah terik matahari, membawa hatinya yang penuh sesal menuju rumah.
Setibanya di rumah, Bu Rina sudah menunggunya di ruang tamu. Wajah wanita paruh baya itu tampak tegang, tapi sorot matanya masih menyiratkan rasa tidak suka pada Anjani.
"Udah selesai, kan? Bagus! Sekarang kamu bisa hidup tenang tanpa perempuan itu!" ucap Bu Rina ketus, menyambut anaknya.
Adrian menghentikan langkahnya, menatap ibunya dengan mata memerah.
"Mama jangan ngomong gitu... Anjani bukan perempuan sembarangan."
Bu Rina melipat tangan di dada, wajahnya sinis.
"Bukan perempuan sembarangan apanya? Sejak awal Mama nggak pernah suka sama dia. Sok sabar, sok pengertian... ternyata buktinya dia ninggalin kamu begitu aja!"
Adrian mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi.
"Dia pergi karena aku, Ma! Karena aku nggak pernah bisa menghargai dia!"
Bu Rina mendengus, seakan tak percaya.
"Kamu nyesel sekarang? Nyesel kenapa? Perempuan kayak dia gampang diganti! Lihat saja, sebentar lagi Anggun bakal jadi istri kamu! Dia lebih pantas jadi menantu Mama!"
Adrian membuang nafas kasar, kepalanya semakin pusing.
"Mama nggak tahu apa-apa soal Anjani... Dia lebih baik dari siapa pun yang pernah aku kenal!"
Bu Rina mendekat, menatap tajam ke arah anaknya.
"Kamu itu anak Mama! Jangan sampai kena sihir perempuan kayak dia! Ingat, yang terbaik buat kamu adalah yang Mama pilih!"
Adrian hanya terdiam, hatinya berkecamuk. Ia baru sadar betapa ibunya selama ini telah membutakan dirinya.
Dalam hati, ia mulai bertanya-tanya... apakah selama ini cintanya pada Anjani yang terkubur ataukah dirinya yang terlalu lemah melawan kendali ibunya?
Setelah mendengar kabar dari dita tentang sidang Adrian yang sudah selesai ,Anggun segera melaju dengan penuh semangat menuju rumah Adrian.
Senyum tipis terus menghiasi wajahnya, membayangkan dirinya segera menjadi istri dari pria pujaannya. Di kepalanya, sudah terbayang kehidupan indah yang akan ia jalani bersama Adrian.
Setibanya di rumah, Anggun turun dari mobil dengan percaya diri. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Adrian duduk termenung di teras, wajahnya kusut dan mata sayunya menatap kosong ke depan.
"Adrian...?" panggil Anggun lembut, mencoba menarik perhatian.
Adrian hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap jauh tanpa sepatah kata pun.
Anggun bingung, ekspresi wajah cerianya perlahan memudar. Ia tak menyangka akan disambut dengan sikap dingin seperti ini.
Bu Rina yang sedari tadi mengintip dari dalam rumah, segera keluar dengan senyum ramah.
"Anggun, sayang... sini duduk! Jangan hiraukan Adrian, dia cuma lagi capek."
Anggun tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kebingungannya.
"Iya, Tante... Mungkin Adrian masih butuh waktu ya, setelah semuanya selesai."
Bu Rina menepuk pundak Anggun, memberikan dukungan.
"Tenang aja, sekarang nggak ada yang namanya Anjani lagi. Sebentar lagi kamu yang bakal jadi pengantin di rumah ini."
Anggun langsung berseri-seri mendengar kata-kata itu, seakan mendapat energi baru. Ia duduk mendekat ke Adrian, berusaha meraih tangannya.
"Adrian... aku di sini. Aku siap nemenin kamu kapan aja."
Namun, Adrian menarik tangannya pelan tanpa menoleh.
"Aku lagi nggak mau ngomong, Anggun."
Suasana seketika menjadi canggung. Anggun menatap Bu Rina, meminta bantuan lewat tatapan matanya.
Bu Rina segera menengahi.
"Adrian, kamu jangan begini dong. Anggun datang ke sini buat kasih semangat. Kamu nggak boleh terus-terusan murung gara-gara perempuan yang nggak tahu diri kayak Anjani!"
Adrian mendengus pelan, tapi tetap tak membuka suara. Ia hanya menyandarkan kepala ke kursi, menutup mata sejenak, membiarkan perasaan kalutnya menekan dirinya sendiri.
Anggun berusaha tersenyum, meski hatinya mulai goyah. Ia mencoba berpikir positif, menganggap ini hanya masalah waktu sebelum Adrian menerima kehadirannya sepenuhnya.
****
Sesampainya di kediaman Robert, Anjani dan keluarganya turun dari mobil. Rose menyambut mereka di depan pintu dengan senyum hangat.
"Bagaimana sidangnya, Anjani? Semua berjalan lancar?" tanya Rose lembut.
Anjani menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis meski matanya menyiratkan kelelahan.
"Aku resmi bercerai, Tante."
Rose menepuk pundak Anjani, memberikan dukungan tanpa banyak kata. Mereka pun masuk ke ruang keluarga dan duduk di sofa. Suasana hangat namun sedikit tegang terasa di antara mereka.
Marco yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara.
"Anjani, Papi dan Mami memutuskan akan kembali ke Italia dalam waktu dekat."
Mata Anjani membulat, menatap Marco penuh keterkejutan.
"Secepat itu, Papi?"
Elisabet, yang duduk di samping Marco, ikut angkat bicara dengan suara lembut namun penuh kasih.
"Ini hanya sementara, sayang... Kami harus menyelesaikan beberapa urusan di sana. Tapi setelah semuanya beres, kami akan kembali ke Jakarta untuk menetap bersamamu."
Anjani menunduk, menahan rasa haru yang membuncah di dadanya.
"Aku tidak bisa ikut, Papi... Aku ingin tetap di sini."
Marco tersenyum lembut, menggenggam tangan Anjani.
"Papi tidak akan memaksamu, Anjani. Tapi Papi ingin kamu tinggal di rumah baru yang akan Papi siapkan. Dan satu lagi... Bu Fatma dan Pak Iksan harus tinggal bersamamu. Mereka keluargamu yang sudah merawatmu selama ini."
Tiba-tiba Kevin yang sedari tadi diam, angkat bicara dengan nada mantap.
"Aku juga memutuskan untuk tidak kembali ke Italia, Papi... Aku ingin kuliah di Jakarta dan menjaga Kak Anjani."
Semua mata tertuju pada Kevin. Anjani menatap adik laki-lakinya dengan mata berkaca-kaca.
"Kevin... Kamu yakin?"
Kevin tersenyum tipis, lalu meraih tangan Anjani.
"Aku tidak mau kakakku sendirian lagi. Kita baru saja bertemu... Aku ingin ada di sini, bersamamu."
Marco dan Elisabet saling berpandangan, lalu mengangguk setuju.
"Baiklah, Kevin... Jika itu keputusanmu, Papi dan Mami mendukung."
Anjani tak bisa menahan air matanya. Ia merasa tidak sendiri lagi. Ada keluarga yang mencintainya, yang siap melindunginya.
"Terima kasih... Terima kasih semuanya."
Hingga kemudian, William yang sedari tadi hanya memperhatikan suasana akhirnya angkat bicara.
"Papi Marco, tak jauh dari rumah ini ada mansion yang sangat indah dan masih kosong. Jika Papi berkenan, aku bisa merekomendasikannya."
Marco mengalihkan pandangannya pada Wiliam, tersenyum tipis mendengar usulan itu.
"Menarik... Tapi semua keputusan ada di tangan Anjani. Bagaimana, sayang? Apakah kamu ingin melihatnya? Mansion itu akan menjadi hadiah dari Papi untukmu."
Anjani yang duduk di antara Elizabeth dan Kevin menoleh ke arah Marco, hatinya hangat mendengar perhatian dari ayah kandungnya.
Dengan senyum lembut, Anjani menjawab, "Aku ikut saja, Papi... Apapun yang Papi siapkan, aku akan menerimanya dengan senang hati. Terima kasih, Papi."
Marco mengangguk puas, sementara Elisabeth menggenggam tangan Anjani penuh kasih sayang.
"Kamu pantas mendapatkan yang terbaik, sayang... Setelah semua yang kamu lalui."
Kevin ikut tersenyum, merangkul bahu Anjani ringan.
"Kakak tidak akan sendiri lagi... Kita semua ada di sini."
Malam itu, keputusan penting telah diambil. Masa depan baru menanti Anjani, dikelilingi oleh keluarga yang akhirnya ia temukan. Meskipun perjalanan hidupnya penuh luka, kini ia siap menata kembali kehidupannya dengan dukungan orang-orang yang mencintainya.
Siapkah Anjani dengan kehidupan baru nya … ?? Lanjutkan …dan tinggalkan jejak..
jng krn cinta trus ngorbanin keadilan yg jelas buat kakakmu.
wanita macam Alana mudah di cari bnyak pun, tp keadilan tidak bisa di cari kl kita tdk menegakkan. ingat jng lemah.
pa lagi Williams bnyak pikiran pasti mudah jenifer njebak.
smp hapal bner krn tiap penulis selalu bikin konflik bgini, jarang ada lelaki yg gk bisa di jebak pasti kebanyakan masuk jebakan 😂😂😂😂😂
hrs berani lawan lahhh