NovelToon NovelToon
ADOPSI YANG MENJADI OBSESI

ADOPSI YANG MENJADI OBSESI

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:456
Nilai: 5
Nama Author: frj_nyt

Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.

Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.

Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.

Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.

Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.

Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12

Waktu tidak pernah bertanya apakah seseorang siap.Ia hanya berjalan.

Lima tahun berlalu tanpa suara keras. Tidak ada peristiwa besar yang bisa dijadikan penanda. Tidak ada ledakan emosi, tidak ada perpisahan dramatis. Hanya hari-hari yang bertumpuk satu sama lain, membentuk rutinitas yang diam-diam mengubah segalanya.

Yun Qi berusia lima belas tahun. Ia berdiri di depan cermin kamar mandi, mengikat rambutnya ke belakang dengan karet hitam sederhana. Rambutnya kini lebih panjang, jatuh melewati bahu. Wajahnya tidak lagi sekurus dulu pipinya mulai berisi, kulitnya lebih cerah, matanya tidak lagi kosong.

Namun caranya menatap cermin masih sama. Hati-hati. Seolah ia belum sepenuhnya percaya bahwa bayangan di depannya adalah dirinya. Ia merapikan kerah seragam sekolahnya, menarik napas, lalu keluar kamar.

Apartemen itu masih sama luas, bersih, dan terlalu tenang. Tapi ada perubahan kecil di sana-sini. Rak buku di ruang tamu kini terisi buku pelajaran. Di kulkas, ada catatan kecil tulisan Bu Lin: jangan lupa makan.

Yun Qi melangkah ke meja makan. Sarapan sudah tersedia. Ia duduk, menuangkan susu ke gelasnya sendiri. Gerakannya rapi, nyaris otomatis. Lima tahun di tempat ini mengajarkannya bagaimana hidup tanpa banyak suara.

Namun satu hal tidak berubah. Ia tetap menunggu. Langkah kaki terdengar dari lorong. Yun Qi menoleh secara refleks.

Hao Yu muncul dari arah kamar. Usianya kini tiga puluh tahun. Posturnya tetap tinggi, bahunya lebar, ekspresinya masih sulit dibaca. Tapi garis wajahnya lebih tegas, aura dinginnya semakin matang. Setelan yang dikenakannya berbeda lebih dewasa, lebih berat.

Namun matanya masih sama. Tenang. Mengawasi. “Selamat pagi, Ge,” sapa Yun Qi. Nada suaranya ringan, jujur. Tidak dibuat-buat. Hao Yu mengangguk. “Pagi.” Ia duduk di kursi seberang. Seperti biasa, jarak mereka tidak dekat, tidak jauh. Jarak yang aman. “Kamu berangkat jam berapa?” tanya Hao Yu.

“Jam tujuh,” jawab Yun Qi. “Hari ini ada ulangan matematika.”

“Sudah belajar?” Yun Qi mengangguk cepat. “Sudah. Bu Lin bantu aku semalam.” Hao Yu melirik ke arah dapur, lalu kembali menatap Yun Qi. “Kalau sulit, jangan dipaksakan.”

“Iya.” Ia menyuap sarapannya, lalu bertanya pelan, “Ge pulang malam lagi?”

“Ya.” Jawaban itu singkat. Yun Qi sudah terbiasa. “Oh,” katanya, lalu tersenyum kecil. “Hati-hati di jalan.”

Hao Yu berhenti makan. Tatapannya menetap beberapa detik lebih lama dari biasanya. “Kamu juga,” katanya akhirnya. Kalimat itu terdengar biasa. Tapi Yun Qi merasakannya seperti sentuhan kecil di kepala sesuatu yang hangat dan menenangkan.

Sekolah menengah atas itu tidak mewah, tapi rapi dan terawat. Yun Qi berjalan melewati gerbang dengan tas di punggungnya, langkahnya ringan. Beberapa siswa menyapanya, sebagian hanya melirik. “Qi!” suara perempuan memanggil dari belakang. Yun Qi menoleh. “Mei!”

Mei adalah teman sebangkunya sejak dua tahun lalu. Gadis itu berlari kecil menghampirinya, rambutnya diikat dua, wajahnya ceria. “Kamu kelihatan cerah hari ini,” kata Mei sambil menyikutnya ringan. “Kenapa?” Yun Qi mengernyit. “Emang kelihatan?”

“Iya. Biasanya kamu kalem, tapi hari ini beda.” Yun Qi tersenyum kecil. “Nggak tahu.” Ia tidak berbohong. Ia memang tidak tahu. Ada hari-hari di mana ia merasa… cukup. Tidak bahagia berlebihan, tidak sedih. Hanya merasa aman. "Eh,” Mei menurunkan suaranya. “Kamu masih tinggal sama kakakmu itu?” Yun Qi mengangguk. “Iya.”

“Kakak kandung?”

“Bukan.”

“Terus?”

Yun Qi berpikir sebentar. “Keluarga.” Mei mengangguk, seolah itu cukup. “Kakak kamu kelihatan dingin banget, ya. Aku pernah lihat dia jemput kamu.” Yun Qi tertawa kecil. “Emang gitu orangnya.”

“Tapi ganteng,” tambah Mei cepat. Yun Qi terdiam sepersekian detik. “Ya… mungkin,” katanya akhirnya. Ia tidak pernah benar-benar memikirkan itu. Bagi Yun Qi, Hao Yu adalah sesuatu yang lebih besar dari sekadar tampilan luar. Ia adalah kehadiran. Ketegasan. Seseorang yang selalu ada meski jarang terlihat.

Sore hari, Yun Qi pulang sendiri. Supir keluarga mengantarnya sampai depan gedung, seperti biasa. Ia naik lift, membuka pintu apartemen, dan disambut keheningan. Bu Lin belum pulang. Yun Qi meletakkan tasnya, mengganti baju, lalu duduk di meja belajar. Ia mengerjakan PR dengan rapi, sesekali mengerutkan dahi saat kesulitan, lalu mencatat ulang dengan sabar.

Jam menunjukkan pukul delapan ketika pintu terbuka. Yun Qi menoleh. “Ge,” sapanya, bangkit dari kursi. Hao Yu masuk, melepas jasnya. “Belum tidur.”

“Belum,” jawab Yun Qi. “Aku nunggu Bu Lin.”

“Dia izin pulang malam ini,” kata Hao Yu.

“Oh.” Yun Qi berdiri, mengambil segelas air dari dapur, lalu kembali ke ruang tamu. Ia menyerahkan gelas itu pada Hao Yu. “Minum dulu.” Hao Yu menerimanya. Jari mereka tidak bersentuhan, tapi jaraknya cukup dekat untuk disadari. “Kamu sudah makan?”

“Sudah,” jawab Yun Qi cepat. “Aku masak mie sendiri.” Hao Yu mengangguk. “Bagus.” Yun Qi ragu sebentar, lalu berkata, “Ge… besok aku ada kegiatan sekolah sampai sore.”

“Di mana?”

“Di aula. Latihan drama.” Hao Yu menatapnya. “Drama?” Yun Qi mengangguk, sedikit malu. “Aku kepilih jadi pemeran pendukung.”

“Jam berapa selesai?”

“Jam lima.”

“Aku akan suruh supir menjemput.” Yun Qi membuka mulut, ingin berkata tidak perlu, lalu menutupnya kembali. “Iya,” katanya akhirnya.

Hao Yu mengamatinya. “Kamu berubah,” katanya tiba-tiba. Yun Qi terkejut. “Hah?”

“Lebih… hidup.” Kalimat itu sederhana. Tapi Yun Qi merasakannya seperti pengakuan yang sangat besar. “Oh,” katanya pelan. “Mungkin karena aku… sudah besar.”

Hao Yu menatapnya lama. “Belum,” katanya akhirnya. “Kamu masih anak-anak.” Nada suaranya bukan merendahkan. Justru tegas. Seperti garis yang tidak boleh dilewati. Yun Qi mengangguk. “Iya,” jawabnya.

Namun di dalam dadanya, ada sesuatu yang bergerak pelan rasa ingin tahu yang belum ia pahami. Tentang dirinya sendiri. Tentang dunia. Tentang pria yang berdiri di hadapannya.

Malam itu, Yun Qi tidur dengan perasaan aneh. Tidak gelisah. Tidak tenang sepenuhnya. Hanya… sadar bahwa dirinya sedang berada di persimpangan usia. Di antara anak-anak dan dewasa. Di antara ketergantungan dan keinginan untuk berdiri sendiri. Dan tanpa ia sadari, seseorang mengawasi setiap langkahnya dari jarak yang ia anggap aman.

1
@fjr_nfs
tinggalkan like dan Komen kalian ☺❤️‍🔥
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!