“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”
Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.
Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.
Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.
Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.
Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Tidak Ingin Melihat Wajahnya
Eve baru saja membuka pintu rumah. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikiran dan hatinya lega.
Sebagian besar rumah sudah gelap. Dia pikir semua orang telah tidur, sampai suara berat dan datar menyapanya dari sisi ruang tamu.
“Dari mana saja kau?”
Langkah Eve terhenti. Suara itu mengejutkannya.
Alex duduk di sofa, sebagian wajahnya tertutup bayangan. Kakinya menyilang santai, tapi ekspresinya tak bisa dibaca. Di depannya, secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
“Itu, aku … dari panti. Aku tidak tahu kalau kau menungguku. Kau bilang urusanku adalah urusanku.”
Alex berdiri perlahan. Wajahnya tetap datar. Kedua tangannya tenggelam dalam saku celana.
“Dan menjaga nama baik keluarga Ace adalah tugasmu.”
Eve menunduk, baru sadar jam tangannya menunjukkan hampir tengah malam. Dia menghela napas kecil dan tersenyum canggung.
“Maaf. Aku tidak akan pulang selarut ini lagi.”
Alex tidak langsung menjawab. Hanya memandangi Eve dengan sorot yang sulit ditebak.
“Aku menemui ibu asuhku,” lanjut Eve pelan. “Setelah ibuku meninggal dulu, aku sempat tinggal di sana dan diasuh olehnya. Dia ingin mengenalmu. Bisakah … kau ikut denganku lain waktu? Kalau kau sibuk, tak apa. Aku akan bilang padanya sendiri.”
Masih tidak ada reaksi.
Alex hanya berjalan melewatinya.
Eve hampir mengira permintaannya diabaikan, sampai pria itu berhenti di ambang tangga.
“Kita pergi besok.”
Eve menatapnya, tertegun, lalu perlahan senyumnya tumbuh. Ada sesuatu yang hangat merambat di dadanya.
“Tunggu, Alex ….”
Alex menoleh pelan, alisnya naik sedikit.
“Apa … aku bisa resign dari perusahaanmu?”
“Bukan karena aku tidak nyaman,” lanjut Eve cepat, “Aku ingin melanjutkan toko kue milik ibu asuhku. Dulu itu sumber hidupnya. Setelah dia kehilangan penglihatan, toko itu tutup. Aku ingin menghidupkannya kembali.”
Alex memandangi Eve cukup lama.
“Terserah.”
Lalu dia pergi ke lantai atas.
Eve berdiri beberapa detik, menatap tangga kosong, lalu menghela napas panjang.
Untuk pertama kalinya sejak menikah, dia merasa sedikit … didengarkan.
Akhirnya Eve bisa tidur nyenyak.
…..
Mobil melaju mulus menembus jalanan lengang, hanya suara mesin dan deru angin yang terdengar di sela keheningan mereka.
Eve duduk diam di sisi Alex, sesekali melirik pria itu yang sedang mengemudi dari ekor matanya.
Meski dia tidak yakin apakah ini akan menjadi pertemuan yang menyenangkan mengingat Alex yang begitu acuh, dia tetap menghargai kemauan Alex.
Mobil melambat saat memasuki halaman panti, lalu berhenti di bawah pohon.
Melihat Eve yang turun, beberapa anak langsung berteriak memanggil yang lain, berlarian menyerbu.
Namun, langkah mereka langsung terhenti ketika Alex terlihat.
Wajah Alex yang datar dan kaku, serta sorot matanya yang tajam membuat mereka berhenti di tempat. Bahkan beberapa dari mereka menyelinap ke belakang tubuh temannya yang lain.
Dengan sengaja Eve menenggor lengan suaminya. “Setidaknya tersenyumlah sedikit. Kau menakuti mereka,” ucapnya lirih.
Tapi Alex tidak melakukannya. Hanya kepalanya saja yang tertunduk sedikit.
Sesulit itukah tersenyum untuk orang lain?
“Dia … temanku. Kalian boleh menyapanya,” kata Eve, mencoba meredakan ketegangan mereka.
“Kak, dia … suamimu?” Salah satu dari mereka yang paling dewasa bertanya.
“Ya. Dia—“
Belum selesai Eve bicara, tapi Alex sudah mendahuluinya, melewati anak-anak itu seolah tidak melihat apa-apa.
“Alex, tunggu!”
Tapi Alex tidak pernah berhenti. Dia berjalan lebih dulu seolah tahu di mana tempat tujuan mereka.
Eve menarik lengannya, menyeret dia ke sisi lain. “Kau mau ke mana, sih? Kau berjalan seolah-olah kau tahu tempat ini. Bukan di sana, Alex ….”
Sadar Eve menggenggam lengannya, Alex menarik diri dengan kasar. “Kau jalan dulu,” katanya agak kesal.
Padahal hanya menggenggam lengan. Bagaimana jika dia memeluknya? Apa Alex akan mendorongnya ke laut?
Rumah Liana tampak sepi dari luar.
Eve berjalan lebih dulu, tidak memperdulikan Alex di belakangnya.
Di dalam rumah itu, Liana sedang merajut. Kedua tangannya bergerak dengan hati-hati meski harus dengan meraba-raba.
“Ibu, aku datang ….” Eve berkata dengan semangat, bergerak mendekatinya.
“Kau di sini, Eve?”
“Ya, aku di sini.” Eve mengambil telapak tangan Liana, mencium punggung tangan itu dengan hangat, lalu mencium kedua pipi Liana juga. “Apa yang sedang kau buat?”
“Aku mencoba membuat syal. Bagaimana menurutmu? Apa ini terlalu berantakan?”
“Kau membuatnya sangat baik.” Eve menoleh, mencari Alex di belakangnya tadi.
Pria itu baru terlihat di teras. Dia melangkah pelan ke arah pintu, tapi … langkahnya tertahan saat itu.
Matanya menatap lurus ke arah mereka, dan ekspresinya tiba-tiba menjadi begitu gelap.
“Bu, aku menepati janjiku padamu kemarin. Aku membawa suamiku kemari.” Eve memberi isyarat Alex untuk mendekat, tapi pria itu mendadak seperti lembing. Tak bergerak sama sekali.
“Alex, kemarilah …!” ucap Eve sedikit lebih keras.
Liana menoleh. Seolah matanya tidak pernah buta, tatapannya tertuju pada sesuatu di depan sana.
Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya Alex menggerakkan kaki. Dia mendekat, pelan, tapi ekspresinya begitu serius.
Eve baru sadar, ternyata tatapan Alex tidak pernah tertuju padanya, melainkan Liana. Dan pandangan itu tidak pernah goyah.
Dia berdiri tepat di depan Liana, tapi tidak bereaksi sama sekali.
Liana meraba-raba udara, sampai akhirnya telapak tangan wanita tua itu jatuh ke permukaan tangan Alex yang dingin.
Senyum Liana melebar. Matanya berbinar dengan kehangatan.
“Jadi … kau suaminya Eve?”
Namun Alex tidak pernah merespon. Bahkan bibirnya pun tidak bergerak sedikit pun.
Eve menenggor lengannya lagi. Tapi kali ini Alex benar-benar mengabaikannya.
Karena Alex tidak juga membuka mulut, Eve mewakili. “Benar Bu, dia Alex, suamiku.”
Sekali lagi Alex tidak bereaksi. Hanya diam, memandangi wajah Liana. Sedangkan Liana menatap, seperti menunggu suara dari Alex.
“Maaf Bu, dia … dia sedang sakit gigi dan itu membuatnya kesulitan bicara.”
Eve bicara sesukanya, melirik Alex dengan kesal.
Tiba-tiba Alex menarik tangannya dari genggaman Liana. Dia berbalik, pergi begitu saja tanpa meninggalkan apa-apa.
Tangan Liana menggantung di udara. Sesuatu dari dirinya seperti hilang begitu saja sampai air matanya nyaris menetes.
Eve berpikir jika Liana tersinggung, buru-buru dia meminta maaf. “Maaf Bu, Alex tadi … Alex tadi baru mendapat panggilan dari perusahaan. Maaf jika dia langsung pergi begitu saja. Aku akan menyusulnya.”
Alex tidak mengatakan apa-apa. Semakin lama langkahnya semakin cepat.
“Alex, kau mau ke mana Alex? Alex ….”
Entah apa yang mau dia lakukan. Tapi karena Alex masuk ke mobil, Eve pun segera mengikuti.
“Alex, apa yang—“
Ucapan Eve terpotong. Tiba-tiba saja Alex menginjak gas dengan keras, berbelok tajam lalu melaju dengan kecepatan gila!
Nyawa Eve seperti tertinggal di belakang.
“Alex, hentikan Alex! Aku tidak mati!”
Dan saat itu Alex benar-benar menghentikannya—dengan cara yang gila!
Tubuh Eve terpental ke depan, lalu tertarik kembali ke belakang. Napasnya tersengal.
“Turun.”
Belum sempat Eve bernapas, suara Alex mengejutkannya.
“Apa?”
“Aku bilang turun!”
“Kau- kau menurunkanku di sini?” Eve ternganga tidak percaya.
Tapi wajah Alex sama sekali tidak bercanda. Dia terlihat begitu marah, seolah kemarahan itu bisa menghancurkan seluruh dunia.
“Baik!” Eve mendengus kesal. “Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi kau benar-benar pria menyebalkan yang pernah aku temui!”
Dia keluar, menutup pintu mobil dengan sekeras-kerasnya.
Mobil itu kembali melaju dengan gila.
Bukan ke arah di mana rumahnya berada, melainkan sebuah jalan menuju rumah sakit kota.
Alex berhenti di tempat parkir.
Dia melangkah masuk. Lebar, dan cepat. Ada sebuah ruangan yang menjadi tujuannya.
Tidak tahu apakah ada orang atau tidak di dalam, Alex membuka pintu tanpa mengetuk,seolah dia sudah terbiasa melakukannya.
Seorang dokter muda yang sedang duduk sambil membaca berkas sedikit terkejut melihatnya. “Alex?”
Dr. Nicholas White. Nama itu tertera di name tag jas putihnya.
Alex datang, menendang kursi pasien dengan keras, melampiaskan kemarahannya.
Nic mengenal Alex sejak lama, dan dia tidak pernah melihat pria itu semarah ini. Bukan hanya menendang kursi, tapi dia meninju tembok dengan kepalan tangannya hingga ruas-ruas jarinya terluka.
Biasanya Alex selalu terkendali. Bahkan jika dia marah, dia tidak akan menjadi berantakan seperti ini.
Nic diam, menunggu sampai Alex siap bicara.
“Aku bertemu dengannya, Nic.” Suara Alex bergetar, ada banyak tekanan di dalamnya.
Awalnya Nic juga tidak mengerti. Sampai akhirnya dia sadar.
Nic menghela napas panjang. “Alex, aku sudah pernah mengatakannya padamu. Kau tidak bisa selalu menghindar atas apa yang sudah terjadi padamu sekalipun kau berpaling dari dunia. Kau harus menghadapinya.”
“Tapi aku tidak ingin melihat wajahnya!” pekik Alex dengan keras.
“Jika kau seperti ini, maka selama kau tidak akan pernah sembuh. Ingatlah, trauma itu tidak bisa dihindari, tapi harus dihadapi dan diterima. Dengan begitu, kau akan bisa berdamai dengan masa lalumu.”
“Kau tidak tahu apa yang aku rasakan!”
“Memang. Yang aku tahu, kau datang ke sini, meminta bantuanku, dan aku melakukan tugasku.”
Nic berdiri dan menepuk pundaknya. “Alex, apa yang kita lakukan selama ini, hanya akan sia-sia jika kau terus terjebak dalam masa lalumu. Kesenangan yang kau tempuh tidak akan pernah bisa mengobati apa pun. Kau hanya akan semakin terperangkap dan menikmati semua rasa sakit itu. Bukan untuk berdamai dengan mereka.”
Alex memejamkan mata, tapi wajahnya menegang. Nafasnya berat dan tidak stabil, seperti menahan sesuatu yang tidak sanggup diucapkan.
“Ingatlah, tidak akan ada kesedihan kecuali kau sendiri yang menikmati kesedihan itu dan membiarkannya larut dalam dirimu.”
***