Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 DBAP
Naya menarik napas panjang, berusaha sekali lagi meyakinkan dirinya untuk tetap berpura-pura tidak mendengar apa yang baru saja Arsen katakan. Ia memilih menunggu. Menunggu sampai Arsen sendiri yang dengan tegas menyatakan semuanya di hadapannya. Hanya saat itu, ia akan mengambil keputusan.
Mungkin terdengar egois, tapi Naya tahu, ia tidak punya pilihan lain. Bukan karena ketakutan Arsen soal jarak usia mereka, bukan pula karena ia menolak kenyataan bahwa Arsen adalah ayah dari anak yang kini dikandungnya. Yang benar-benar menjadi beban di hatinya adalah soal kejujuran dan cinta.
Naya tidak mau membangun rumah tangga hanya karena rasa tanggung jawab. Ia tidak ingin hidup selamanya dalam bayang-bayang rasa kasihan atau keterpaksaan. Ia ingin dicintai sepenuh hati, tanpa syarat.
"Kamu tidak egois, Naya... ini cara untuk menyelamatkan dirimu sendiri," bisiknya, seolah menguatkan hatinya yang rapuh. "Selama ini, kamu sudah kehilangan begitu banyak. Anak yang kamu kandung sekarang adalah satu-satunya harapanmu. Kalau Paman tidak benar-benar mencintaimu... suatu saat, dia bisa saja meninggalkanmu dan mengambil anak itu darimu."
Kata-kata itu terus menggema dalam dirinya, menekan dadanya hingga terasa sesak.
Beberapa menit kemudian, Naya berusaha menenangkan diri. Ia bangkit perlahan dari tempat tidurnya, membersihkan diri, lalu keluar dari kamar, mencari sesuatu untuk mengganjal perutnya yang mulai kelaparan.
Saat ini, hanya ada satu harapan dalam hatinya semoga Arsen sudah pergi dari rumah, agar ia bisa bebas melakukan apa pun yang ia mau tanpa merasa terikat. Namun, langkah kecilnya membawanya ke pemandangan yang tak ia harapkan.
Di dapur, Arsen tampak sibuk menyiapkan sarapan. Mendengar suara langkah-langkah ringan Naya, lelaki itu segera menoleh. Tatapannya penuh perhatian saat ia berkata, "Kenapa kamu keluar kamar? Kamu masih harus bedrest."
"Aku sudah tidak kenapa-napa, Paman," jawab Naya dengan suara pelan.
"Kalau begitu, duduklah. Aku sudah membuatkan susu hamil dan beberapa sarapan ringan," ujar Arsen lembut. "Aku tahu trimester pertama itu berat untuk ibu hamil. Kadang bisa mual di pagi hari. Kamu merasakannya?" Arsen berusaha keras menunjukkan perhatiannya, berharap Naya merasa sedikit lebih nyaman.
Tapi semua tidak berjalan seperti harapannya. Naya justru menatap Arsen sejenak, lalu berkata dengan senyum tipis, "Tidak, Paman. Anak ini terlalu baik... dia tidak mau menyusahkan ibunya. Mungkin dia tahu, nanti saat lahir di dunia ini, hanya aku, ibunya, yang akan menjadi keluarganya."
Hati Arsen terasa mencengkeram. Ia ingin marah pada dirinya sendiri, ingin berteriak lantang bahwa ia tak akan pergi, bahwa ia akan tetap di sana bersama mereka. Tapi dari mana ia harus mulai? Bagaimana ia bisa mengaku bahwa dirinya adalah ayah dari anak itu? Dan lebih penting lagi, apakah Naya mau menerimanya?
Arsen menarik napas pelan sebelum berkata, "Mungkin... ayah dari anak itu juga ingin bersama kalian. Dia tidak akan meninggalkan kalian," ucapnya, sambil menyodorkan segelas susu hamil ke tangan Naya.
Naya menerimanya dengan tenang, lalu tersenyum kecil. Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang membuat dada Arsen kembali sesak.
Dengan suara lembut, Naya berkata, "Paman bicara seperti itu... seolah-olah Paman adalah ayah dari anak ini. Atau... Paman memang ayah dari anak ini?"
Waktu seolah berhenti. Hanya suara detak jantung Arsen yang terdengar di telinganya, berdetak lebih cepat daripada yang ia kira. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mengaku, untuk memohon agar Naya mau menerima keberadaannya.
Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Naya sudah lebih dulu bicara sambil terkikik pelan, "Paman, aku cuma bercanda. Mana mungkin itu Paman, kan? Ah... kenapa aku ini..." Ia mengusap perutnya dengan sayang. "Mungkin karena efek semalam dan hormon ibu hamil, jadi aku terlalu banyak berfantasi. Ya, kan, Paman?"
Arsen hanya tersenyum kaku, menyembunyikan rasa sakit yang mengiris perlahan dalam diamnya.
Naya, yang tak mampu membaca ekspresi Arsen, santai saja menyesap susu itu. Setelah habis, ia berpamitan, “Paman, aku kembali ke kamar dulu. Emm... hari ini aku ingin ke restoran juga. Bagaimanapun, sudah satu minggu tidak masuk kerja.”
"Kamu... mau masuk kerja?" tanya Arsen, suaranya terdengar ragu.
"Iya, Paman. Aku masih harus membayar hutangku pada Nisa. Dan juga kebutuhan kuliah lainnya," jawab Naya dengan polos.
Hampir saja Naya bangkit dari kursinya, tapi suara Arsen yang tiba-tiba tegas menghentikannya, "Tetap di situ!"
Naya membeku, menatap Arsen dengan bingung. Namun, ia menuruti perintah itu, tetap duduk di tempat.
Beberapa saat kemudian, Arsen berbalik dan berjalan masuk ke kamar. Tak lama, ia kembali membawa dompet di tangannya. Tanpa banyak kata, Arsen meletakkan dua kartu di meja di hadapan Naya.
"Kamu tidak perlu bekerja lagi. Ini kartu gajiku, kamu yang pegang. Dan ini juga kartu tabunganku," ucap Arsen, matanya menatap lurus, suaranya keras namun dalam.
Naya menatap dua kartu yang tergeletak di atas meja. Matanya membesar, terkejut dan tidak percaya. Waktu seolah berhenti sejenak, dan rasa berat yang mengendap di dadanya semakin menyesakkan. Tidak ada kata yang bisa keluar, hanya perasaan campur aduk yang meremas dadanya, membuat ruang di sekitarnya terasa semakin sempit.
"Paman, aku... aku tidak bisa..." suara Naya hampir hilang di tenggorokan, terdengar lirih, seperti bisikan yang terbata. "Ini terlalu banyak, aku... aku tidak ingin membuatmu merasa seperti... ini."
Arsen menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. Ia sudah memperkirakan bahwa Naya pasti akan menolak. Kali ini, nada suaranya berubah lebih dalam, lebih tegas, tanpa memberi ruang untuk penolakan.
"Naya," katanya, suara itu lebih berat, penuh tekad. "Aku tidak ingin mendengar alasan lagi. Kamu harus berhenti bekerja, ini bukan hanya untukmu, tapi juga untuk kesehatanmu. Aku tidak ingin kamu membahayakan anakmu lagi."
Naya terdiam, sebuah senyum getir merekah di bibirnya. Ternyata, Arsen lebih mencemaskan anak dalam kandungannya daripada dirinya. Rasa sakit itu seperti terbakar di dadanya, membuatnya terhenyak. Ia menggelengkan kepala dengan cepat, seolah menepis perasaan yang tiba-tiba mengguncang hatinya. Tubuhnya mulai merasa cemas, jantungnya berdegup lebih cepat, dan kata-kata yang ingin ia katakan terasa tercekik di tenggorokan.
"Tidak, Paman, aku...," suaranya hampir tak terdengar, tertahan oleh amarah yang tiba-tiba muncul. "Aku... aku tidak bisa hanya menerima ini... Aku tidak ingin merasa...," kata-katanya tercekat, namun rasa kesal itu semakin menggerogoti dadanya.
Arsen maju selangkah, dan wajahnya kini dipenuhi dengan ekspresi yang lebih tegas. "Nay, berhenti bersikap seperti ini." Nada suaranya melunak, tetapi penuh dengan tekad. "Kamu tahu kan status kita? Suami istri. Biarkan aku memenuhi kewajibanku."
Naya menunduk, tak tahu harus berkata apa. Hatinya terasa berat, seperti ada sesuatu yang membelit di dalamnya. Arsen, yang melihat perubahan itu, langsung merasakan perasaan Naya. Ia menghela napas dan berbicara dengan lembut, meskipun ada ketegangan di dadanya. "Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti ini..." katanya pelan, "Aku hanya ingin kamu baik-baik saja."
Kemudian Arsen mengubah topik pembicaraan, mencoba memberi sedikit ruang bagi Naya untuk merasa lebih tenang. "Aku... hari ini ada jadwal operasi dan kemungkinan sampai sore. Kakak mengundang kita untuk makan malam. Kalau kamu mau, aku akan menjemputmu. Di sana juga ada Zayan."
Melihat Naya hanya terdiam saja, akhirnya Arsen memilih untuk pergi dari tempat itu. Namun, saat membuka pintu bola matanya membulat saat melihat seseorang yang kini berdiri di depan pintu.