NovelToon NovelToon
Hilangnya Para Pendaki

Hilangnya Para Pendaki

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Hantu
Popularitas:329
Nilai: 5
Nama Author: Irmann Nhh

Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.

Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.

Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.

Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.

Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8 – Tanda-tanda Siapa yang Tidak Akan Turun

Kami berhenti di tanah datar, jauh dari jurang. Sari mulai sadar perlahan, napasnya masih ngos-ngosan. Dia lihat kanan kiri dengan bingung sebelum akhirnya sadar dia ada di pelukan aku dan Lintang.

“Aku… gagal nyelamatin Arif…” suaranya lemah, seperti orang yang baru kalah perang.

Aku geleng pelan. “Kamu berhasil nyelamatin diri kamu sendiri.”

Sari memejamkan mata. “Tapi kalau dia beneran Arif…”

Lintang memotong halus, tapi nggak menuduh: “Kalau itu Arif beneran, dia nggak akan manggil kamu doang. Dia akan panggil kita semua.”

Sari nggak jawab. Tapi dari cara dia menelan ludah, aku tahu… dia mulai nerima kenyataan pahit itu. Menerima bukan berarti ikhlas — cuma berhenti menyangkal.

---

Setelah semuanya agak tenang, kami coba evaluasi posisi.

Lintang keluarin kompas kecil dari kantong celana, tapi jarum kompas muter pelan lagi. Seolah arah magnetik di sini bukan cuma utara–selatan… tapi berubah sesuai “keinginan sesuatu”.

“Kompas nggak ngebantu,” katanya.

Aku ambil HP — masih mati, sinyal bukan masalah lagi.

Jam tangan juga masih di angka 19:57… padahal jelas udah lewat jam 10 malam.

Sari duduk sambil memeluk lutut, pelan: “Waktu berhenti… jurang ngarahin aku… suara Arif palsu… tenda kosong… Ini semua bukan kejadian acak. Kayak… gunung bikin pola buat masing-masing orang.”

Lintang mengangguk pelan.

Yang naik lima.

Masing-masing diberi “ujian” berdasarkan luka batinnya.

Kalau seseorang menyerah, pintunya terbuka.

Gunung menunggu orang yang paling rapuh.

---

Kami lanjut turun — pelan, sangat pelan. Sari sudah bisa jalan sendiri, tapi aku tetap jaga di sampingnya. Lintang di depan, pimpin arah.

Beberapa menit tidak ada yang bicara. Tapi dalam keheningan itu… aku merasa sesuatu mulai berubah.

Dari tadi suara langkah enam selalu mengikuti kami dari belakang.

Tapi setelah kejadian jurang… langkah itu hilang.

Atau lebih tepatnya… berpindah.

Sekarang langkah itu terdengar dari depan.

Seolah sesuatu sedang menunggu kami untuk menyusulnya.

Sari meremas tanganku keras-keras.

“Raka… kenapa dari depan?” tanyanya gemetar.

Jawaban paling logis justru yang paling menakutkan:

Kalau langkah berada di depan, berarti…

dia menuju basecamp bersama kita.

Seolah yakin bahwa salah satu dari kami akan menyerah sebelum sampai bawah.

---

Sekitar sepuluh menit kemudian, kami menemukan sesuatu di sisi jalur:

tali tambang biru yang biasa dipakai sebagai pegangan di jalur curam.

Di ujungnya tergantung lightstick hijau — masih menyala.

Arif yang bawa itu.

Sari hampir lempar air mata lagi. “Berarti Arif masih hidup… dia baru lewat sini…”

Lintang mendekat, memegang lightstick, dan langsung ngelepas secepat mungkin seolah panas.

“Ini bukan tanda hidup,” katanya pelan.

Aku bingung. “Loh, ini kan kalau habis dipatahkan nyalanya kuat… berarti baru kepake, kan?”

Lintang menarik napas panjang.

“Lightstick nggak bisa nyala kalau patahannya dicabut dari ujung. Tapi liat bentuk retakan ini…”

Dia tunjuk garis retakan di dalam plastik — bukan retak patahan manual biasa.

“Kayak… ada yang remas dari ujung ke ujung pakai tangan.”

Aku nggak mengerti dulu — sampai aku coba memegang ujungnya dan terasa cekungan kecil di plastik, bentuknya seperti jari-jari yang menekan dari luar ke dalam.

Jadi lightstick ini bukan dinyalakan oleh manusia… tapi dirusak oleh cengkeraman sesuatu.

Tepat di momen itu, Sari pelan bilang: “Kalian sadar nggak… sejak kita turun… nggak ada satupun tanda jejak Arif dan Dimas yang nunjuk arah turun?”

Kami hening.

Dia lanjut, lirih: “Semua petunjuk yang kita lihat — tenda, gelang, lightstick — semuanya muncul di tengah jalan. Bukan di jalan keluar.”

Dan itu artinya satu hal:

Dimas dan Arif tidak sedang turun.

Mereka sedang dibawa berputar-putar.

Sampai pintu mereka terbuka sepenuhnya.

Tubuhku langsung mual.

---

Kami lanjut turun. Tiba-tiba Lintang berhenti.

Bukan karena ada sesuatu di depan.

Tapi karena dia mulai batuk keras — sampai lututnya goyah.

Dari hidungnya keluar darah sedikit.

Sari panik. “Lintang! Kamu kenapa?!”

Lintang nggak jawab. Dia ambil tisu dari kantong dan nutupin hidungnya — darahnya bukan karena luka, tapi keluar sendiri.

Aku pegang pundaknya. “Lin, lu diganggu secara fisik. Ini buruk.”

Lintang ngelap darahnya pelan, lalu berdiri lagi. Tapi wajahnya jelas makin pucat.

“Gue masih sadar,” katanya. “Gue belum buka pintu gue.”

Waktu dia bilang itu, aku sadar sesuatu.

Lintang yang dari tadi paling kuat secara mental…

sekarang mulai lemah secara fisik.

Gunung sepertinya tahu Lintang kuat kalau diserang secara mental.

Jadi dia mulai diserang via tubuh.

Dan kalau tubuhnya tumbang duluan… pikirannya pasti nyerah.

Aku sadar dengan sangat jelas:

Target gunung bukan Sari.

Target gunung bukan aku.

Target gunung sejak awal — Lintang.

Tanda-tandanya jelas:

Panggilan yang menyamar jadi sepupu

Tenda berhantu datang langsung ke dia

Sosok dari awal memanggil namanya

Sekarang tubuhnya yang mulai diserang

Lintang bukannya gak kuat.

Justru karena dia terlalu kuat

makanya gunung nggak mau melepaskannya.

Orang kuat yang akhirnya menyerah — itu puncak “hadiah” untuk gunung ini.

Sari nangis pelan. “Terus kita harus gimana? Kalau dia yang paling kuat aja target… gimana kita nolong dia?”

Lintang jatuh berlutut lagi — bukan karena sedih, tapi karena pusing seperti mau pingsan. Aku menahan bahunya.

“Lintang! Lu denger gue! Kita turun bareng. Lu gak mati di sini!”

Lintang nunjuk dadanya, napasnya tersengal: “Aku… aku berusaha… tapi dia makin dekat… dia nunggu aku… kalau aku jatuh, kalian jangan berhenti. Jangan balik.”

Jantungku seketika sakit.

“Gue nggak mau ninggalin lu, Lin.”

Lintang tersenyum miris, kecut, seperti orang yang udah lama berdamai dengan rasa bersalahnya sendiri. “Kamu nggak bisa nolong orang yang nggak mau diselamatkan dari dirinya sendiri.”

Sari memeluk Lintang dari belakang sambil menangis: “Lintang, kamu bukan sendirian! Kamu nggak gagal waktu sepupu kamu hilang! Kamu nggak harus bayar semuanya pake nyawa kamu!”

Lintang menggigit bibir kuat-kuat, menahan sesuatu dari dalam diri. “Aku pengin pulang… tapi dia pengin aku lebih.”

Aku nggak tahan dengernya.

Bajingan.

Gunung ini bukan cuma membunuh — tapi memakai rasa bersalah orang untuk meyakinkan bahwa kematian itu lebih benar daripada hidup.

Lintang tiba-tiba mendongak — seolah mendengar sesuatu yang kami nggak dengar.

“Dia dekat,” katanya tanpa berkedip.

Setelah itu… kami semua dengar suara.

Sangat pelan.

Tepat di telinga — padahal nggak ada apa pun di sekitar kami.

“Lin… ayo pulang.”

Sari menjerit. Aku merinding sampai ke tulang.

Karena suara itu… terdengar seperti suara anak remaja.

Sepupu Lintang.

Lintang langsung berdiri dengan mata berkaca-kaca. Napas pendek, tapi langkah kakinya maju.

Aku pegang tangannya sekuat yang aku bisa.

Dia menatap aku sambil gemetar: “Aku kangen dia… banget…”

Aku tahu kalimat setelah itu akan jadi penentu hidup mati:

“Aku cuma mau lihat dia sekali lagi…”

Sari langsung peluk Lintang dari belakang supaya dia nggak jalan.

Lintang menangis keras untuk pertama kali: “Aku… capek banget nyalahin diri sendiri… aku cuma mau dia maafin aku…”

Dan saat itu aku sadar: Ini saatnya.

Kalau kita gagal sekarang — Lintang akan hilang.

Aku peluk dia dari depan dan teriak, suaraku pecah: “Lintang! Lu bukan penyebab kematian siapa pun! Lu cuma anak SMA yang nggak kuat nahan orang lain! Itu bukan salah lu! Kalo sepupu lu hidup, dia nggak bakal mau liat lu MATI buat nebus kesalahan yang bukan salah lu!”

Lintang menggigit bibir sampai berdarah — dia berjuang untuk tetap hidup.

Suara di telinganya menggoda lagi: “Kalau kamu ikut… kamu nggak akan sedih lagi…”

Aku teriak tepat di wajahnya: “Lu nggak perlu mati buat berhenti sedih! Lu cuma perlu maafin diri lu sendiri!”

Hutan hening.

Lama.

Sangat lama.

Lalu sesuatu berubah di mata Lintang — bukan hilang, tapi kembali sadar.

Dia akhirnya berkata dengan suara gemetar tapi tegas: “Gue pengin hidup.”

Saat dia mengatakan itu — langkah ke-enam itu terdengar lagi.

Tapi kali ini bukan dari belakang… bukan dari depan…

melainkan dari samping, berjarak sangat dekat — seolah sedang berdiri menonton.

Sesuatu telah marah.

Rasanya udara turun jadi dingin tajam, semak meriak pelan seperti tersentuh angin yang nggak wajar.

Lintang menatap gelap hutan dan berbisik: “Dia nggak akan berhenti sekarang. Dia nggak akan nyerah.”

Aku memegang pundaknya. “Kalau dia nggak mau lepas… kita rebut lepasnya.”

Sari mengusap air matanya, suara penuh tekad: “Kita bertiga lawan dia. Bukan satu-satu lagi.”

Lintang mengangguk… tapi wajahnya tetap pucat — seperti tahu sesuatu:

“Kalau kita pilih melawan… nggak semua dari kita yang bisa turun.”

Dan di titik itu, bukan siapa yang paling lemah yang terancam…

Tapi siapa yang paling kuat.

Karena gunung ini ingin satu hal:

Orang kuat yang akhirnya menyerah.

Dan Lintang… baru saja membuat dirinya lebih berharga untuk diambil.

1
Roro
waduh gak mudeng aku thor
Roro
hummmm penasaran
Irman nurhidayat: sebenernya aku gak serius si ngerjain novel ini wkwk,tapi kalo misal udah baca sampe ke bab terakhir dan minta lanjut,bakal aku lanjutin si,tpi aku ada prioritas novel lain yg lebih horor lagii,pantau yaa💪
total 1 replies
Roro
🤣🤣🤣🤣🤣 kok makin kesini malah gak horor tur, malah lucu
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
Irman nurhidayat: cek novel terbaruku kak,lebih seru,seram,mudah di cerna,lebih horor dan seram 🔥🔥
total 3 replies
Roro
ahhh keren inj
Roro
lanjut besok aja, jadi merinding aku
Roro
ouu UU main horor lagi,
Roro
lah... Arif apa kabar
Roro
sulit aku mencerna , tapi seru u tuk kubaca, dan akhirnya aku faham jalan cerita
Roro: iya kek nya Thor, tapi aku tetap menikmati bacaanya
cerinya nya seru banget
total 2 replies
Roro
beuhh makin keren aja
Roro
hah... tamat kah
Roro
makin seru dan makin penasaran aku
Roro
ahhhh keten banget
Roro
gak sabar pengen tau Arif sama Dimas udah koit atau kek mana yah
geram sekali sama mereka main kabur aja
Roro
keren.. makin penasaran aku
Roro
aku doakan pembaca mu banyak Thor, aku suka banget sumpah
Irman nurhidayat: Aamiin🤲makasih yaaaaa🙏
total 1 replies
Roro
Ter amat bagus...
Irman nurhidayat: mantapp makasih rating bintang 5 nyaa😍😍
total 1 replies
Roro
aku bacanya sesak nafas,
terasa banget horor nya.
Irman nurhidayat: bisa sampe sesak nafas yaa🤣
total 1 replies
Roro
ahhh seru banget
Irman nurhidayat: Bantu share yaaa💪💪
total 1 replies
Roro
misteri...
aku suka horor
Irman nurhidayat: mantap kak lanjut baca sampai tamatt💪💪
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!