Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Interview
Pagi itu Sovereign terasa lebih tegang dari biasanya. Ruang interview yang biasanya hanya digunakan untuk sesi duo HR kini dipakai langsung oleh CEO muda perusahaan itu, Liam. Gema, asisten pribadinya—atau lebih tepatnya tangan kanannya—berdiri di samping meja sambil memegang daftar kandidat.
Dari tiga nama yang lolos seleksi administrasi, satu nama membuat Liam menatap layar lebih lama daripada kandidat lain.
Anna.
Sang magang yang ia sudah anggap sebagai sumber kekacauan—berawal dari insiden teh panas itu, yang membuat hari kerja perusahaan terganggu selama berhari-hari.
“Ini bukan kesalahan input, kan?” tanya Liam dingin.
“Bukan, Pak,” jawab Gema, berusaha menjaga suaranya tetap netral. “Nilai administrasi dan asesmennya bagus. HR juga menilai dia layak ikut interview.”
Liam mengetukkan jarinya ke meja, tampak tidak puas tetapi tidak membantah. “Biarkan dia masuk. Saya ingin melihat apakah penilaian HR benar.”
Gema tahu maksud kalimat itu: Liam ingin menjatuhkan Anna. Namun dia tidak bisa menghalangi; tugasnya adalah memastikan proses ini tetap berjalan profesional.
Satu demi satu kandidat masuk ke ruangan. Ada yang gugup, ada yang terlalu percaya diri. Liam menilai semuanya dengan ketelitian yang tidak pernah berubah.
Namun ketegangan baru benar-benar muncul ketika pintu terbuka dan Anna melangkah masuk. Penampilannya rapi, lebih matang dari hari-hari biasanya. Wajahnya tenang meski Gema bisa melihat cara Anna menggenggam map sedikit terlalu kuat.
“Selamat siang, Pak,” ucap Anna sopan sambil sedikit membungkuk.
“Silakan duduk,” jawab Liam, suaranya datar.
Gema memulai sesi interview sesuai standar. “Baik, seperti kandidat lainnya, interview ini akan menilai kemampuan teknis, karakter, dan respons Anda terhadap situasi di lapangan. Apakah Anda siap, Anna?”
“Saya siap, Pak.”
Liam menatapnya dengan pandangan tajam. “Anda melamar posisi ini untuk apa? Anda paham beban kerjanya jauh lebih berat dibanding posisi magang Anda saat ini?”
Anna duduk tegap. “Saya memahami deskripsi pekerjaannya, Pak. Saya melamar karena saya ingin menguji kemampuan saya serta memberikan kontribusi lebih kepada perusahaan.”
Liam mendengus kecil. “Kontribusi? Anda bahkan tidak bisa memegang sebuah gelas dengan benar.”
Gema langsung menoleh, memberikan sinyal agar Liam meredakan nada bicaranya.
Namun Anna tidak bereaksi defensif. “Saya mengakui kesalahan saya hari itu, Pak. Tapi saya harap satu kejadian tidak mendefinisikan seluruh kompetensi saya.”
Liam mengabaikan kalimat itu. “Baik. Jika begitu, saya ingin menguji Anda secara langsung.”
Ia mengambil selembar skenario jadwal yang biasanya hanya diberikan pada kandidat manajer senior. Ia meletakkannya di depan Anna.
“Ini jadwal rapat untuk tiga jam ke depan. Ada benturan keenam agenda penting, termasuk dua klien internasional dan rapat emergency dengan divisi legal. Susun ulang penjadwalan ini, tentukan prioritasnya, dan jelaskan alasan Anda.”
Gema yang duduk di sampingnya nyaris terbelalak. “Pak Liam… itu—”
“Saya ingin melihat sejauh apa kemampuannya,” potong Liam tanpa menatap Gema.
Anna melihat skenario itu tanpa mengeluh meski wajahnya sempat menunjukkan keterkejutan. Dua puluh lebih agenda dalam waktu tiga jam—bahkan untuk sekretaris profesional pun ini adalah ujian berat.
Namun ia tidak menyerah. Setelah menarik napas dalam, ia mulai membaca satu per satu jadwal dengan teliti. Suasana ruangan berubah hening. Liam menatapnya tanpa kedip, seakan menunggu Anna kehilangan arah.
Yang mengejutkan, itu tidak terjadi.
Anna mulai menandai agenda mana yang harus didahulukan—agenda klien internasional terlebih dahulu, kemudian pertemuan legal penting yang tidak bisa ditunda. Rapat internal dipindahkan ke slot lain yang masih realistis.
“Kenapa rapat divisi internal Anda pindahkan?” tanya Liam tiba-tiba.
Anna menjawab tanpa mengangkat wajah, “Karena agenda itu tidak melibatkan pihak eksternal, Pak. Klien internasional memiliki jadwal ketat dan hanya bisa bertemu hari ini. Rapat internal lebih fleksibel.”
“Dan rapat dengan legal Anda beri jeda satu jam dari investor meeting. Alasannya?”
“Bapak memerlukan waktu untuk membaca brief hukum sebelum memutuskan apa pun. Jika dua rapat besar dilakukan berurutan tanpa jeda, efektivitasnya pasti turun.”
Gema sampai memandang Anna lebih lama. “Anda memperhatikan pola kerja Pak Liam?”
Anna mengangguk pelan. “Saya observasi selama menjalani orientasi, Pak.”
Kening Liam sedikit berkerut. Ia tidak menyangka seorang magang memperhatikan pola kerjanya sedetail itu.
Anna menyelesaikan penyusunan jadwalnya dalam waktu lima belas menit. Tidak cepat, tetapi stabil dan sistematis. Ia menambahkan alternatif pada catatan kecil, mengantisipasi perubahan mendadak.
“Selesai, Pak,” ucapnya sambil mendorong kertas itu ke arah Liam.
Liam mengambilnya. Matanya bergerak cepat menyisir catatan tersebut. Alur penyusunan agenda jelas, prioritasnya tepat, dan alasannya logis. Tidak sempurna, tetapi sangat baik untuk level magang.
Ia meletakkan kertas itu kembali ke meja dan bersandar di kursinya.
“Baik,” katanya singkat.
“‘Baik’ berarti bagus atau sekadar formalitas, Pak?” tanya Gema dengan sedikit senyum kecil.
Liam mengabaikan komentar itu. “Apakah Anda memiliki pertanyaan lain?”
Anna menggeleng. “Tidak ada, Pak. Terima kasih atas kesempatan interviewnya.”
Ia berdiri, membungkuk sopan, lalu berjalan ke pintu. Gema memperhatikannya—ada rasa bangga di matanya, bercampur kekhawatiran pada bagaimana hasil keputusan akhir nanti. Anna menutup pintu perlahan, tanpa suara.
Begitu pintu tertutup, Gema langsung berbalik menghadap Liam.
“Pak, Lo tahu hasil jawaban Anna tadi sangat baik, bukan?”
Liam tidak menjawab.
“Lo sengaja ngasih skenario tingkat tinggi dengan harapan dia tersandung. Tapi dia tetap bisa menyelesaikannya. Bahkan alasannya buat setiap keputusan sangat rasional.”
Liam memijat pelipisnya. “Gue gak suka kedisiplinannya yang tiba-tiba muncul hari ini.”
“Itu bukan alasan menolak kemampuan seseorang, Pak.”
Liam diam. Ada sesuatu di matanya—ketidaksukaan, tetapi bukan karena Anna buruk… melainkan karena Anna tidak sesuai ekspektasinya untuk gagal.
“Anna… terlalu berani,” gumam Liam akhirnya.
Gema menghela napas. “Atau justru terlalu kompeten untuk diremehkan, Pak.”
Liam tidak mengiyakan. Tetapi untuk pertama kalinya, ia tidak memiliki alasan logis untuk menjatuhkan Anna.
Dan itu, bagi Liam, jauh lebih mengganggu daripada insiden teh panas mana pun.
Di luar ruangan, Anna bersandar sejenak pada dinding koridor, merasakan lututnya melemas pelan. Seluruh keberaniannya tadi seperti menguap begitu pintu tertutup. Ia tidak tahu apakah jawaban-jawabannya cukup, tetapi yang ia tahu adalah satu hal: ia sudah melakukan yang terbaik tanpa berbohong pada dirinya sendiri. Saat berjalan menuju lift, beberapa staf memandangnya dengan penasaran, namun Anna tetap melangkah tegak. Di sisi lain pintu ruangan, Liam masih menatap jadwal yang ia susun. Meski enggan mengakuinya, ada satu hal yang akhirnya harus ia terima—Anna bukan sekadar magang yang ceroboh. Gadis itu, tanpa sadar, baru saja menggeser persepsinya satu inci ke arah yang tidak ia sukai.