Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK29
FLASHBACK!
Hujan salju di malam itu belum kunjung reda. Namun, Anna memilih untuk menempuh cuaca di malam yang dingin itu demi mengantarkan peralatan kerja Liam yang tertinggal di apartemen nya.
Mobil hitam metalik yang dikendarai nya berhenti di sebuah rumah yang terbilang megah. Ekonomi Liam memang cukup mampu untuk memiliki aset properti dan barang-barang mewah.
Anna menekan bel berulang-ulang. Namun, hanya burung hantu salju di pepohonan yang menyahutnya. Anna berjalan mundur beberapa langkah, rumah megah itu terasa sunyi. Ia baru menyadari, rumah itu ternyata gelap gulita, seolah tak berpenghuni.
"Liam belum pulang?" gumamnya seorang diri.
Anna mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi Liam kembali. Lagi-lagi, ponsel Liam tidak bisa dihubungi.
"Dia ke mana, ‘sih?!" gerutunya. Anna menggigit ujung bibirnya. "Apa, aku tinggalin di depan pintu aja benda-benda ini? —Tapi, ini alat-alat medis. Pasti bakalan rusak."
Lama Anna menatap benda yang ingin ia kembalikan, lalu tiba-tiba matanya berbinar. Anna menatap ponselnya, ia membuka aplikasi GPS yang akan menunjukkan di mana keberadaan Liam. Anna menatap lurus benda pipih nya, keningnya berkerut.
"Ini, kawasan pinggiran kota, ‘kan? —Ngapain dia di lokasi ini?" gumamnya. "Sebaiknya, aku menyusulnya ke sana."
Kurang dari lima belas menit setelah melacak lokasi Liam, Anna tiba di lokasi. Ia menemukan mobil Liam yang terparkir di bawah pohon besar. Anna turut memarkirkan mobilnya di sebelah mobil sang kekasih. Ia segera keluar, mendekatkan wajahnya di kaca mobil Liam, memeriksa kondisi di dalam sana. Namun, tak ada siapapun di dalam sana.
Anna menghela napas panjang, matanya mengedar ke pinggiran kota yang hanya diterangi lampu jalan redup. Tempat itu sepi, tak ada satupun kendaraan yang melintas. Wanita berbadan dua itu mulai gelisah dan menggigit ujung bibirnya.
"Gimana ini? Liam ngapain sih ke tempat begini? —Mau ketemuan sama siapa? Apa ... Jessie?" Anna menunduk lemah, ia selalu merasa kalah saing dengan kecantikan Jessie.
Maniknya tiba-tiba membulat, ia mendapati jejak kaki yang berasal dari mobil Liam. Ide itu tiba-tiba muncul, ia menyusuri jejak kaki itu. Jejak yang membawanya ke sebuah gudang tua dengan pendar temaram di dalamnya.
Anna melangkah pelan, sangat hati-hati sampai tapak sepatunya tak meninggalkan jejak suara. Jantung nya berdegup kencang, ia mencoba mengintip di celah-celah kaca yang hampir seluruhnya tertutup koran.
Wanita itu terpaku di tempat, matanya menatap setiap adegan yang terjadi di dalam sana dengan perasaan campur aduk. Adegan yang menghantam dadanya hingga ia nyaris gila.
Di dalam sana, sosok bertopeng tengah mengeksekusi korban. Suara parau nya terdengar hingga keluar : Hahaha, ini menyenangkan!
Anna menutup mulut dengan kedua tangannya, ia nyaris berteriak. Jelas ia mengenal siapa pemilik suara itu. Apalagi, sebuah gelang hasil buatannya sendiri, melingkar di pergelangan tangan sosok itu. Gelang yang sudah ia sisipkan dengan chip GPS agar memudahkannya untuk mengetahui keberadaan Liam di mana pun. Tentunya, Liam tidak mengetahui hal itu.
Liam yang baru saja memotong kepala korban, tiba-tiba saja menghentikan aksinya. Seolah-olah, ia menyadari kehadiran orang lain di sana. Pria itu perlahan-lahan berbalik badan, menatap lurus ke arah jendela.
"Siapa di sana ~~~?" Suara Liam sengaja mendayu-dayu. Meninggalkan kesan gila dan menakutkan.
Anna lekas berbalik badan, detak jantungnya sudah pasti tak menentu. Ia langsung berlari sekuat tenaga, mencoba mencari tempat untuk bersembunyi. Namun, tak ada satupun tempat yang terlihat aman. Anna kembali berlari kencang, ia bisa merasakan napasnya memburu. Namun, dia tahu, dia tidak bisa berhenti sekarang.
Anna terus berlari kencang. Ia tersandung, hampir jatuh, tapi, tangannya lebih dulu bersandar di pohon besar sebelum dia terhempas ke tanah. Wanita itu meringis, telapak tangannya terluka, akibat tertancap di kulit pohon. Namun, Anna kembali memilih berlari kencang. Sanking kencang nya, dalam waktu dua menit ia sudah sampai di mobilnya.
Bergegas Anna membuka pintu mobil. Namun, sedetik, ia terhenyak melihat benda yang menjadi tujuannya ke tempat itu. Tanpa pikir panjang, Anna menyambar benda itu dan membuangnya begitu saja. Setelah itu, mobil Anna segera meninggalkan lokasi tersebut.
Sedangkan Liam, dengan langkah santai ia mengikuti setiap jejak yang membekas di atas salju. Ia tersenyum dingin, jejak sepatu itu, jelas ia tau siapa pemilik ukuran sepatu tersebut.
"Anna?" gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Namun, terdengar sangat menyeramkan.
Ia kembali melangkah, mencari fakta lebih banyak untuk mendukung ucapannya. Langkah nya kembali berhenti, ia berdiri di sisi pohon besar. Hidungnya mulai mengendus di bagian kulit pohon, ia mengenal aroma parfum mahal yang menempel di sana. Parfum yang ia hadiahkan untuk kekasihnya, Anna.
"Ternyata memang benar kau, Anna...," desisnya.
Pria itu kembali melangkah, kali ini jauh lebih cepat. Ia menuju ke mobilnya. Setibanya di sana, ia menunduk, melihat jejak ban mobil yang sudah jelas belum lama meninggalkan lokasi tersebut.
Liam menatap benda yang familiar diatas tumpukan salju. Tas kuning berukuran mini. Tas yang berisi peralatannya.
"Hmm ... jadi, karena benda ini kau membuntuti aku?"
Liam tetap tenang. Mengingat sifat Anna, jelas wanita itu tidak akan mampu bercerita kepada siapapun saat ini. Liam mengangkat satu sudut bibirnya, ia menyeringai.
Pria itu kembali ke gudang tua, melanjutkan mengeksekusi korban. Setelahnya, ia kembali beraksi, meninggalkan korban di tempat yang akan menciptakan teka-teki untuk pihak penyidik.
Malam semakin larut, setelah membersihkan dirinya, Liam merebahkan diri di atas ranjang empuk dan mewah. Seolah memberikan hadiah yang pantas untuk dirinya yang sudah bekerja keras malam itu.
Ia menyambar ponselnya yang sengaja ia tinggalkan di atas meja nakas rumahnya. Sudah menjadi rencananya, jika ia dicurigai, maka ia akan meminta kepolisian memeriksa jejak aktifitas di mana ponselnya berada. Setidaknya, ia memiliki alibi sedang berada di rumah saat pembunuhan itu terjadi. Semua rencana itu, sudah dipikirkannya matang-matang. Termasuk menghapus jejak aktivitas GPS mobilnya setiap minggunya.
Liam mencoba menghubungi Anna. Namun, tidak ada jawaban. Padahal, ia bisa menebak, wanita itu tengah menatap ponsel dengan tubuh yang bergetar. Liam tidak menyerah, ia kembali menghubungi Anna. Nyaris di nada terakhir, akhirnya, panggilan itu terhubung.
"Iya, Liam?" suara Anna terdengar tenang, meskipun di seberang telepon wanita itu tengah gemetar.
"Sayang, kamu belum tidur? Atau sudah tidur? —Aku mengganggu mu ya?" Liam menahan tawa.
Di ujung telepon, Anna meneguk kasar ludahnya. Tenggorokannya terasa tercekat. "Aku baru saja hampir tertidur. Ada apa, Sayang?"
Dapat Anna dengar, ada suara tawa di ujung telepon meskipun terdengar pelan. Liam tengah mentertawakan nya.
"Besok malam, apa kita bisa bertemu?" Tanya Liam, suaranya mendadak datar dan dingin. "Ada yang ingin aku sampaikan padamu tentang, Max. Kamu tau kan, Max saat ini sibuk menyelidiki kasus terror pemburu kepala?"
Deg!
Jantung Anna yang tadinya berdetak kencang, kini semakin kencang. Tangannya lemas, hampir saja benda pipih dalam genggamannya terjatuh.
"I-iya. Memangnya kenapa, Liam?" tanya Anna dengan suara bergetar.
Di ujung sana, Liam sepuas-puasnya menyeringai. Dapat ia bayangkan ekspresi wajah wanita serapuh Anna. Pasti sangat menyenangkan jika ia bisa melihatnya langsung.
"Sepertinya, Max sedang dalam BAHAYA. Jadi, kita bisa BERTEMU kan, Anna?"
Dapat Anna rasakan perbedaan nada bicara Liam, nada yang jelas memberi penekanan bahwa ia harus datang jika tidak ingin kakaknya terluka. Anna bisa menebak, Liam sudah mengetahui siapa yang menyaksikan aksinya malam ini.
"Baik lah, besok jam berapa?" tanya Anna akhirnya.
Di ujung telepon, Liam kembali menyeringai. "Akan aku kabari nanti. Tapi, ingat ini, Anna. Kamu harus datang seorang diri. Mengerti kan, SAYANG?"
*
*
*
Readers 🥰 Selamat menyambut bulan suci Ramadhan ya 🥰
Mohon dimaafkan jika selama bekarya, ada kata-kata yang tidak berkenan 🥰
Semoga Readers pada strong ya menahan imun dan imin🤭
Selamat menjalankan semua ibadah di bulan Ramadhan🥰🥰🥰
Thor buat cerita agent agent gitu dunk Thor dgn ruang rahasia dll 🫰
Terima kasih banyak Kak, atas karya luar biasanya ini 🙏🥰🥰