Jejak Tanpa Nama mengisahkan perjalanan Arga, seorang detektif muda yang berpengalaman dalam menyelesaikan berbagai kasus kriminal, namun selalu merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Suatu malam, ia dipanggil untuk menyelidiki sebuah pembunuhan misterius di sebuah apartemen terpencil. Korban tidak memiliki identitas, dan satu-satunya petunjuk yang ditemukan adalah sebuah catatan yang berbunyi, "Jika kamu ingin tahu siapa yang membunuhku, ikuti jejak tanpa nama."
Petunjuk pertama ini membawa Arga pada serangkaian kejadian yang semakin aneh dan membingungkan. Saat ia menggali lebih dalam, ia menemukan sebuah foto yang tampaknya biasa, namun menyembunyikan banyak rahasia. Foto itu menunjukkan sebuah keluarga dengan salah satu wajah yang sengaja dihapus. Semakin Arga menyelidiki, semakin ia merasa bahwa kasus ini lebih dari sekadar pembunuhan biasa. Ada kekuatan besar yang bekerja di balik layar, menghalangi setiap langkahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dyy93, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertempuran di Ruang Komando
Ruangan besar yang dipenuhi layar monitor berkilauan dengan cahaya merah, memantulkan tanda bahaya yang terus berkedip. Suara sirene melengking di kejauhan, mempertegas situasi genting. Arga, Alya, Damar, dan Lina berdiri di tengah ruang komando, dikelilingi oleh robot tempur yang mengaktifkan senjatanya secara serempak.
Nathan Helios, pria paruh baya dengan sikap dingin, berdiri di tengah ruangan, memandangi mereka dengan ekspresi penuh kemenangan. “Kalian telah membuat banyak kekacauan di sini, tapi aku khawatir perjalanan kalian berakhir sekarang.”
“Apa yang kau rencanakan, Nathan?” Arga bertanya dengan nada penuh amarah. “Berhenti bermain-main dan katakan kenapa kau menciptakan semua kekacauan ini.”
Nathan tersenyum kecil. “Kekacauan? Tidak, ini adalah awal dari era baru. Dunia ini membutuhkan seseorang untuk memimpin dengan tangan besi, bukan politikus yang lemah dan sistem yang korup. Aku hanya mengambil kendali yang seharusnya menjadi milikku.”
“Dengan menghancurkan hidup jutaan orang?” balas Alya, suaranya penuh kebencian. “Kau bukan pemimpin, Nathan. Kau hanyalah monster.”
Nathan menghela napas, seolah-olah bosan dengan percakapan itu. “Jika kalian lebih memilih mati sebagai pahlawan yang tidak berarti, maka biarlah. Robot-robotku akan mengurus kalian.”
Dengan satu gerakan tangannya, robot-robot tempur mulai bergerak maju, senjata mereka mengarah ke tim Arga.
---
“Alya, ambil posisi di belakang. Damar, gunakan granatmu untuk memecah formasi mereka!” seru Arga, langsung mengambil inisiatif.
Lina bergerak cepat menuju konsol utama di tengah ruangan. “Aku akan mencoba mengendalikan sistem ini! Beri aku waktu!”
Arga dan Alya melindungi Lina, menembak robot-robot yang mendekat. Sementara itu, Damar melempar granat ke arah kelompok robot yang berkumpul, menciptakan ledakan besar yang menghancurkan beberapa dari mereka.
Robot-robot tempur ini jauh lebih canggih daripada yang mereka hadapi sebelumnya. Mereka memiliki perisai energi yang mampu menahan sebagian besar serangan, membuatnya sulit dilumpuhkan.
“Senjata biasa tidak cukup!” teriak Alya sambil menembak salah satu robot yang terus mendekat.
Arga menatap sekeliling, mencari celah. Matanya tertuju pada generator di sudut ruangan yang tampak memberikan daya untuk robot-robot itu. “Lina, apa generator itu mengontrol robot-robot ini?”
Lina melirik ke arah yang dimaksud Arga. “Kemungkinan besar, tapi aku butuh waktu untuk menonaktifkannya!”
“Damar, fokus pada generator itu!” perintah Arga.
Damar mengangguk dan mulai bergerak, menggunakan sisa granatnya untuk membuka jalan ke generator.
---
Di tengah kekacauan itu, Nathan tetap berdiri di tempatnya, tampak tidak terganggu. Dia menyaksikan pertempuran dengan ekspresi tenang, seolah-olah semuanya berjalan sesuai rencananya.
“Percuma saja,” katanya dengan nada mengejek. “Kalian hanya memperlambat yang tak terhindarkan. Sistemku jauh lebih canggih daripada yang bisa kalian bayangkan.”
“Diamlah!” balas Arga, menembak salah satu robot yang mendekat.
Damar akhirnya berhasil mencapai generator. Dengan satu granat terakhirnya, ia melemparkannya ke arah generator, menciptakan ledakan besar yang mengguncang seluruh ruangan. Cahaya dari mata robot-robot itu langsung meredup sesaat, membuat mereka melambat.
“Mereka melemah! Serang sekarang!” teriak Arga.
Dengan serangan gabungan, Arga, Alya, dan Damar berhasil menghancurkan sisa robot yang masih aktif.
---
Sementara itu, Lina berhasil mengakses sistem utama di konsol tengah. “Aku hampir masuk ke server utama mereka. Tapi ada sesuatu yang aneh di sini.”
“Apa maksudmu?” tanya Arga sambil mengawasi Nathan, yang mulai berjalan mendekati mereka.
“Sistem ini terhubung ke lebih banyak lokasi daripada hanya markas ini. Nathan memiliki jaringan markas tersembunyi di seluruh dunia,” jawab Lina, wajahnya tampak tegang.
Nathan tertawa kecil. “Kalian pikir menghancurkan tempat ini akan menghentikan operasiku? Tidak. Aku sudah mempersiapkan segalanya. Markas ini hanyalah salah satu dari banyak titik kontrol. Bahkan jika kalian menghancurkan semuanya, aku tetap akan bangkit kembali.”
“Kami tidak peduli seberapa banyak rencanamu,” balas Alya. “Kami akan menghancurkan semuanya, dimulai denganmu.”
Nathan mengangkat tangannya, dan tiba-tiba dinding ruangan terbuka, memperlihatkan mesin besar yang tampak seperti senjata penghancur masif.
“Inilah kartu as-ku,” katanya sambil tersenyum dingin. “Sebuah senjata yang akan mengubah dunia ini selamanya.”
Arga menatap mesin itu dengan wajah serius. “Kita harus menghentikan itu sekarang juga.”
“Lina, kau fokus untuk menonaktifkan mesin itu. Alya, Damar, lindungi dia. Aku akan menghadapi Nathan,” kata Arga, suaranya penuh determinasi.
Nathan tersenyum lebar. “Aku sudah menunggu momen ini, Arga. Tunjukkan apa yang kau punya.”
---
Pertarungan terakhir antara Arga dan Nathan dimulai. Nathan, meskipun tampak seperti pria biasa, ternyata memiliki kekuatan luar biasa berkat teknologi canggih yang tertanam di tubuhnya. Dia bergerak cepat, menyerang Arga dengan pukulan dan serangan energi yang hampir tidak mungkin dihindari.
Namun, Arga tetap bertahan, menggunakan segala kemampuan dan pengalamannya untuk melawan. Sementara itu, Alya dan Damar menghadapi gelombang terakhir dari pasukan robot yang mencoba melindungi mesin besar itu.
“Lina, bagaimana keadaanmu?” teriak Alya sambil menembak musuh yang mendekat.
“Aku hampir berhasil!” jawab Lina, jari-jarinya terus bekerja cepat di konsol.
Pertarungan itu berlangsung sengit, dengan waktu yang terus berjalan. Nathan tampak yakin akan kemenangannya, tetapi Arga tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah.
“Ini bukan tentang kemenangan pribadimu, Nathan,” kata Arga sambil menghindari serangan energi. “Ini tentang keadilan untuk semua orang yang telah kau hancurkan.”
Nathan hanya tersenyum dingin. “Keadilan adalah ilusi, Arga. Kekuatan adalah segalanya.”
Namun, sebelum Nathan bisa melancarkan serangan terakhirnya, Lina akhirnya berteriak, “Aku berhasil! Mesin itu mati!”
Lampu di ruangan itu berkedip, dan suara mesin besar mulai meredup. Nathan tampak terkejut, menyadari bahwa rencananya telah digagalkan.
“Kau kalah, Nathan,” kata Arga.
---