Pedang Pusaka menceritakan tentang seorang manusia pelarian yang di anggap manusia dewa berasal dari Tiongkok yang tiba di Nusantara untuk mencari kedamaian dan kehidupan yang baru bagi keturunannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cut Tisa Channel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Pedang Pusaka
Daerah sekeliling tembok kota raja terlihat porak poranda.
Perang yang memakan puluhan ribu korban akhirnya terhenti. Malam itu, pasukan kerajaan dengan sisa sisa tenaganya mengangkut mayat dan menolong teman yang masih hidup.
Ada puluhan orang dari pihak pemberontak yang terluka dan tidak tewas, dibawa mereka ke penjara untuk di kurung bahkan sebagian yang terluka parah dibunuh begitu saja.
Siaw Jin yang mendapat luka sabetan pedang dari datuk timur di lengannya kini tampak dirawat oleh Naya di ruang belakang rumah jenderal Bao.
Xiansu yang sedikit terluka bersama para muridnya juga mendapat perawatan dari pihak tabib istana.
Jenderal Bao masuk ke ruangan belakang rumahnya yang luas dimana para tamu yang membantunya sedang di rawat.
"Pihak pemberontak hanya sedikit yang melarikan diri. Menurut berita, si pemberontak Ki telah tewas. Kini kita bisa bernapas lega". Seru nya setelah duduk di bangku besar yang ada di sana.
"Syukurlah kerajaan kini aman". Sahut Xiansu sambil melirik ke arah Siaw Jin yang menunduk sedari tadi.
Di saat mereka sedang merawat luka, dua orang segera pergi diam diam ke arah taman belakang milik jenderal Bao.
"Adik Kim, tunggu!" Panggil Sie Liong mempercepat langkah nya menyusul Siaw Kim.
"Cepatlah,, dasar!!!" Seru Siaw Kim yang langsung duduk di bangku taman itu.
Dibawah sinar bulan sepotong, mereka berdua duduk diam beberapa menit menikmati keindahan taman dengan lampu lampu dan banyak air mancur menghiasi setiap kolam kecil di situ.
"Bagaimana jawaban mu adik Kim?" Si Liong bertanya sembari menatap wajah cantik Siaw Kim lekat lekat.
"Aku tidak tau kanda. Hubungan kita telah lama terjalin tapi kau malah akan di nikahkan dengan Naya". Jawab Siaw Kim sambil menatap bulan yang sebagian di tutupi awan.
"Aku mencintaimu Kim moi. Aku tak akan mau menikah dengan Naya".
"Kenapa kau tak pernah menyampaikan kepada orang tuamu bahwa yang kau cinta bukanlah Naya ha? Bagaimana aku mau menjawab pertanyaanmu jika kau pun tidak berani jujur pada paman Si dan Bibi Lan".
"Sekembalinya kita disini, aku akan menyampaikan kepada mereka. Lagian, kau dengar sendiri kan dari Xiansu tentang penolakan Naya kepadaku. Mana mungkin kami bisa berjodoh".
"Apa kau cinta pada Naya kanda?" Tiba tiba Siaw Kim menoleh ke samping menatap wajah Sie Liong dengan tajam.
"A,,aku,, ah, dulu aku memang suka dan cinta kepadanya. Tapi itu adalah cinta monyet Kim moi". Jawab Si Liong balas menatap mata Siaw Kim.
"Berarti kau monyet dong kanda? Hihihihi".
"Ehemmm,, rupanya kalian enak enak pacaran disini ya? Dasar!!" Tiba tiba muncul Naya dari belakang mereka.
"Ah, kau Naya, mengagetkan saja. Kami pikir siapa tadi ehem ehem". Seru Siaw Kim dengan wajah merah sedikit malu.
"Kalian sungguh pasangan yang serasi. Aku akan bilang ke paman Han dan Bibi Lan untuk menjodohkan kalian berdua". Naya berkata sambil berdiri di dekat bangku taman yang di duduki mereka.
"Naya, benarkah kau tidak suka kepada kanda Liong?" Tanya Siaw Kim berharap.
"Siapa bilang tak suka? Dia teman ku dari dulu bahkan sebelum mengenalmu".
Dengan wajah pucat Siaw Kim berdiri dan menatap Naya sambil berkata,
"Jadi,, Jadi kau,, mencintai kanda Liong?"
"Gila kau Siaw Kim. Mana mungkin aku cinta kepadanya? Dia sudah seperti kakak ku sendiri. Aku suka dengan nya sebagai saudara, sebagai abang. Namun cinta, aku tak tau apa itu cinta. Yang pasti, aku tak akan pernah mau jika kami di jodohkan". Jawab Naya yang membuat Siaw Kim kembali duduk dengan tenang.
"Bagaimana dengan kakak Gin? Apa kau juga menolaknya seperti yang Suhu bilang?" kembali Siaw Kim bertanya.
Sie Liong dari tadi hanya celingak celinguk menatap wajah kedua dara yang sedang berbicara itu.
"Jika dia bisa mengalahkan ku dalam ilmu silat. Bisa jadi aku akan pikir pikir dulu untuk menerimanya atau tidak". Sahut Naya.
"Tak adakah sedikitpun cinta mu untukku Naya?" Tanya Siaw Gin yang kini berada tepat dibelakang mereka.
"Kalau cinta, maaf, sekarang ini belum ada Kak Gin. Sedikitpun belum ada cinta di hatiku kecuali untuk,,"
"Untuk siapa?" Tanya Siaw Kim penasaran.
"Ya untuk orang tuaku lah," Jawab Naya yang berlari kedalam sambil tertawa.
***~###~***
Ratusan pendekar dari partai persilatan dan pendekar pendekar dunia beladiri saat itu sedang mencari tiga buah pedang pusaka yang di desas desus kan pertama kali oleh Balanga yang telah berganti nama.
Pedang kayu bintang yang dulu dimiliki si manusia dewa yang paling dicari di dunia persilatan. Adapun sepasang pedang pusaka putih, banyak juga yang mencari setelah mendengar kabar kaisar yang baru saja wafat setelah pemberontakan besar yang baru saja terjadi.
Desas desus yang tersiar, pedang kayu bintang berada di tangan Losian. Sedangkan sepasang pedang putih berada di tangan Xiansu dan Rambala.
Maka ramailah para ahli silat, baik dari pendekar golongan putih dan penjahat golongan hitam yang mencari cari Losian, Xiansu dan Rambala.
Daerah perbatasan himalaya kini seperti menjadi ajang arena perlombaan bagi mereka.
Ratusan orang dengan senjata bermacam macam berkeliaran di sekitar himalaya itu.
Siaw Jin yang merupakan pemilik asli pedang kayu bintang terlihat berjalan bersama Naya di kaki gunung Mong Li.
Setelah tiga minggu yang lalu mereka berdua meninggalkan kota raja untuk mengunjungi Shifu sang beruang salju dan juga singgah ke tempat Losian dan orang tua Naya.
Setelah melihat keadaan sekitar, Pemuda tampan yang mengenakan baju putih celana hitam itu segera mendaki gunung mong li di ikuti Naya di belakangnya.
Sesampainya mereka disana, Siaw Jin segera membuka batu besar penutup goa dimana mereka menjumpai si beruang besar yang awalnya membuat Naya takut.
Setelah di perkenalkan oleh Siaw Jin, gadis cantik berbaju biru itu malah terlihat akrab dengan hewan yang di panggil nya paman beruang.
Tiga hari kemudian, Siaw Jin turun gunung bersama Naya setelah mendapatkan izin dari Shifu.
Mereka berdua melanjutkan perjalanan ke arah perbatasan india dimana rumah Naya berada.
***~###~***
"Aku heran, siapa yang menyebarkan berita itu sehingga banyak ahli silat berada di daerah ini". Seru Rambala yang duduk bersama Xiansu dan Losian.
"Entahlah. Mungkin ada maksud lain dibalik fitnah yang beredar itu. Kelak kita lihat saja siapa dalang dibalik ini semua.
Sedang asyik mereka mengobrol, tiba tiba suara panggilan Siaw Jin dan Naya membuat mereka bertiga menoleh.
"Ah, Naya, akhirnya kau pulang juga. Maafkan ayah nak, janga pergi seperti itu lagi". Rambala yang biasa nya tegar dalam segala hal terlihat hampir menangis melihat sang putri yang berwajah sedikit kusam dan kurus.
"Suhu, Supek, ayah, ini adalah Siaw Jin yang sering di ceritakan Suhu dan Supek". Setelah mereka duduk, Naya segera memperkenalkan pemuda itu kepada ayahnya.
Sambil memberi hormat, Rambala berkata,
"Jadi ini calon menantu ayah?" Seru Rambala sambil memandang tajam wajah putrinya.
Naya yang tampak tersipu malu memerah wajah nya berkata dengan salah tingkah,
"Ah, ayah. Aku,, tidak, iihh,," Gadis cantik itu segera berlari ke belakang menjumpai ibunya yang berada di dapur di selingi tawa Losian, Rambala dan Xiansu.
"Kami setuju dengan niat mu Rambala. Kami mendukung 100 persen". Sahut Losian yang di anggukkan oleh Xiansu.
Siaw Jin yang pura pura tidak mengerti arah percakapan mereka hanya menunduk saja.
"Siaw Jin, bagaimana hasil latihan mu dengan kitab yang ku berikan dulu?" Tanya Losian serius setelah beberapa saat.
Siaw Jin menjawab bahwa masih belum sempurna dia dapat menerapkan ilmu yang amat susah itu.
Setelah berjanji besok akan membantu latihan Siaw Jin, Losian mengajak mereka masuk ke ruang tengah,
"Aku sudah sangat lapar. Mari kita makan terlebih dahulu".
Mereka semua terlihat makan di meja yang besar itu bersama sama sambil membicarakan pengalaman masing masing dan juga desas desus tentang tiga buah pusaka yang akan membawa perubahan besar dalam hidup Siaw Jin dan Naya.
BERSAMBUNG. . .