Bukan Nikah Kontrak

Nara sudah siap dengan baju casualnya. Dia segera mengambil tas lalu duduk di kursi untuk sarapan. Pesan masuk dari ponsel nya dan nara membukanya.

Ternyata itu adalah pesan dari adam. Pria itu mengirimi nya sebuah poto dengan tulisan.

‘Boneka nya ketinggalan di saku tadi malam. Aku akan membawa nya ke kantor. Boleh aku menjemput kamu pagi ini?’

Nara terkekeh. Lalu mengetik balasan pada pria itu.

^^^‘Iya. Aku pun lupa dengan boneka nya. Jemput aku di tempat kemarin’^^^

Setelah itu nara memperbesar gambar boneka yang di kirimkan oleh adam. Sebenarnya tak terlalu besar, hanya seukuran ponsel dengan bentuk kelinci cream. Hasil mereka main mesin capit malam tadi.

“kenapa lo senyum senyum sendiri?” tanya naresh yang baru datang.

Nara menggelengkan kepalanya dan kemudian menutup ponselnya. Membuat naresh heran dengan kelakuan wanita itu.

“Hari ini gue anterin. Sekalian gue mau ke salah satu cafe cabang” kata naresh memberitahu.

“Nggak perlu. Gue ada yang jemput pagi ini, temen sekantor” tolak nara.

Naresh yang tengah mengambil salah satu lauk pun terhenti. Dia menatap nara dengan tatapan yang sulit di artikan.

“Teman yang kemarin malam anter lo?” tanya cowok itu berusaha biasa saja. Entah kenapa ada rasa tak suka saat nara mengangguk sebagai jawaban.

“Iya. Adam namanya” angguk nara. Dia yang menunduk tak dapat melihat bagaimana ekspresi yang naresh tampilkan saat ini.

“Sama kayak nama kakak ipar lo” sahut naresh melanjutkan makan nya.

Bergantian nara yang menghentikan pergerakan nya, tiba tiba dia merasa deja vu. “Beda. Suami kak rena namanya adam ryan armando. Kalau temen gue namanya muhammad adam al-fateh” elak nara.

Menganggukan kepalanya pelan, naresh berusaha mengatur nafasnya. Akibat dadanya yang tiba tiba terasa menyesakkan.

“Besok gue mau ngelamar vania ke rumah nya” ujar naresh tiba tiba. Dia lirik nara sebentar, tetapi tidak ada raut wajah kaget dari wanita itu. Tetap datar seolah ini bukan hal yang mengejutkan.

Dan tanpa sadar naresh tak menyukainya. Dia mengepalkan tangannya dan berdehem pelan.

“Hm, bagus dong. Biar kalian cepat cepat lanjutin rencana pernikahan kalian. Oh ya, jangan lupa sama perjanjian kita naresh. Lo harus cerein gue kalau mau nikah sama dia” ucap nara mengingatkan.

Uhuk!

Naresh mengambil minum cepat dan menegak nya. Dugaan bahwa nara akan terkejut dengan keputusannya ternyata terbalik, dia yang terkejut dengan ucapan wanita itu.

“Gue gak ada niatan cepet nikah sama dia. Mungkin beberapa bulan lagi” naresh merutuki bibirnya. Kata kata itu terlontar begitu saja tanpa pikiran.

Entah apa yang membuatnya begitu sampai mendorong mengeluarkan kata kata itu. Seolah hatinya resah dan tak ingin ada perpisahan di antara mereka.

“Ya gak papa. Urusan gue kan udah selesai, bikin kalian balikan lagi. Tinggal janji lo ke gue buat cerein gue secepatnya, bukan nya itu yang lo mau? Lagi pun gue yakin seratus persen kalau sampe orang tua vania tahu lo masih ada hubungan sama gue pasti bakal susah di restuin. Gue gak peduli kalian mau nikah satu bulan lagi, dua bulan atau dua tahun lagi juga gak papa. Asal kita udah gak ada hubungan” lanjut nara menjelaskan. Meski ada rasa kesal dalam dirinya, tetapi nara sekuat tenaga menahannya.

Lidah naresh seakan kelu untuk berbicara, dia kehabisan kata kata. Meski hatinya memberontak untuk menahan wanita itu, tetapi pikiran nya menolak keras.

Tidak ada jawaban lagi, sampai mereka selesai makan. Sampai nara yang keluar dari apartemen dan pergi dengan teman lelakinya menaiki motor.

Naresh berdiri di balkon, memperhatikan setiap gerak gerik wanita itu meski menurutnya dia tak penting dan tak berharga. Dia tahu ini hanya menghabiskan waktu untuk hal tak penting, tetapi dia malah melakukan nya.

Sesuatu yang mengganjal hatinya, seolah ini salah. Tangannya tanpa sadar mengepal erat, nafasnya tiba tiba berat dan dia tak tenang.

Sebenarnya apa yang terjadi padanya?

… .

Nara harus menahan panas di telinga nya akibat godaan godaan makhluk sekitar. Betul, siapa lagi kalau bukan tiga temannya yang sedari tadi terus bersiul akibat melihat dirinya datang bersama adam.

“Cie cie… Yang pdkt hampir tiap hari. Gimana? Udah jadian belum?” tanya opelia mengedipkan matanya.

“sama kak adam nih ya? Nempel mulu perasaan” sambut sadrina mencolek bahu nara pelan saat lewat pada meja nara.

“Terus gimana sama naresh nar? Bukan nya dia masih suami lo ya?” tanya marlin menghampiri meja kerja temannya.

Nara meletakan telunjuk di depan bibir marlin, lalu memelotot kecil. “Stt.. Jangan keras keras. Nanti yag lain denger” peringat nara.

Jangan sampai ada yang mendengar hal ini. Di kantor biarlah ketiga temannya saja yang tahu dia sudah menikah, sedangkan yag lainnya nara tetap merahasiakan nya.

“Ups! Sorry” marlin nyegir.

Nara meletakan pulpen yang dia pegang dan memilih menatap teman nya itu. “gue sama naresh bentar lagi cerai. Lagian dia juga udah balikan sama vania, jadi gue bebas mau sama cowok mana pun” ujar nara mengibaskan rambutnya dengan centil. Dia tersenyum tipis dan menggoda lalu mengedipkan sebelah matanya.

Marlin dan dua temannya yang lain bereaksi sama, mereka memeletkan bibir nya karena jijik.