NovelToon NovelToon
AZKAN THE GUARDIAN

AZKAN THE GUARDIAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Kehidupan alternatif / Kontras Takdir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: BERNADETH SIA

Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

WAKTU YANG BERLALU

Laina terbangun dengan disambut sepi oleh kastil yang kosong tanpa kehadiran Azkan. Dari Armana, Laina tahu kemana Azkan pergi dan kenapa dia tidak berpamitan langsung. Meski itu hal yang masuk akal, tetap saja Laina merasa kesal. Dia lebih senang kalau Azkan membangunkannya lalu berpamitan secara langsung. Laina semakin kesal ketika dia pikir, Azkan menyerah hanya karena pintunya terkunci. Katanya dia mencintaiku. Dia bahkan mengajakku menikah. Bagaimana bisa dia pergi begitu saja hanya karena pintu kamarku kukunci? Apa dia tidak punya cara lain untuk berpamitan? Kalau tidak mau membangunkanku, dia kan bisa menulis memo lalu menempelkannya di depan pintu kamarku. Lagipula, kenapa dia tidak mengijinkan ponsel di sini? Kalau ada ponsel, kita kan bisa saling mengirim pesan dan menelepon. Huh!

Gerutuan seperti itu, terus berulang di dalam kepala Laina. Di saat dia sarapan, bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit, hingga saat dia menemani bocah kecil yang masih tidak sadarkan diri di rumah sakit. 

“Ardoz, berapa lama biasanya waktu yang dibutuhkan Azkan kalau dia pergi ke Gunung Dewa?” Laina tidak bisa menahan rasa penasarannya. Sekarang sudah malam. Tadi, bocah kecil itu sempat sadarkan diri sebentar tapi karena masih kesakitan, Nico memberinya obat penghilang rasa sakit dan dia tidur lagi. Tidak ada banyak hal yang bisa dia lakukan di rumah sakit selain duduk di sisi bocah kecil itu. Isi pikirannya, lebih banyak dipenuhi tentang Azkan dibanding bocah yang sedang dia rawat. Kebetulan, Ardoz datang untuk menjemputnya.

“Tidak pasti, Laina. Lagipula, putaran waktu di puncak gunung, akan berbeda jika Dewa datang untuk berbicara.”

“Apa Azkan pernah melakukan ini sebelumnya?”

“Bicara pada Dewa di puncak gunung?” Laina mengangguk, mengiyakan maksud pertanyaannya.

“Sudah beberapa kali. Tiap kali ada sesuatu yang memberatkan hatinya, dia pasti ke puncak gunung.”

“Lalu, berapa lama dia baru akan kembali?”

“Biasanya satu sampai dua hari.”

“Ah, jadi kalau malam ini dia tidak pulang, mungkin dia akan pulang besok?”

“Iya. Kita hanya bisa menunggu.”

Laina tak bertanya lagi. Dia mengikuti Ardoz yang ditugaskan untuk mengantarnya pulang ke kastil.

Tetapi setelah hari ketiga berlalu, Azkan tak juga muncul. Ardoz yang biasanya tenang, kini mulai mengerutkan kening ketika Laina bertanya, apa sudah ada tanda-tanda Azkan akan kembali. Perasaan Laina jadi tak nyaman. Pikiran buruk yang tak ingin dia tahu, bermunculan begitu saja. 

“Ardoz, hari ini jangan antar aku ke rumah sakit. Tolong antar aku ke Gunung Dewa.” 

“Apa yang mau kau lakukan? Kau tidak bisa sembarangan naik ke sana. Jalan naik ke puncak cukup terjal dan merupakan hutan lebat. Itu berbahaya untukmu. Azkan bisa memarahiku habis-habisan kalau aku membiarkanmu naik ke gunung.”

“Aku akan menunggu Azkan disana.”

“Tidak bisa, Laina. Tidak ada tempat yang nyaman untukmu menunggu Azkan. Tidak ada tempat tinggal di sekitar gunung. Hanya ada padang rumput dan sungai di sekitar gunung.” 

“Ardoz, aku khawatir. Tidak bisakah kau mengantarku ke sana untuk melihat dan memastikan kalau Azkan akan baik-baik saja?”

“Maaf Laina, lebih baik kau menunggu di sini, biarkan aku dan beberapa prajurit yang memeriksa ke gunung.”

“Baiklah.” 

“Apa kau masih mau ke rumah sakit?” 

“Tidak.” Laina kembali masuk ke dalam kastil, meninggalkan Ardoz yang sedikit merasa bersalah. 

Kemarin, bocah kecil itu sudah sadarkan diri dan mulai bisa berinteraksi dengan orang-orang di rumah sakit, termasuk Laina. Tapi kondisinya masih lemah sehingga dia lebih banyak beristirahat. Hari ini, rencananya Nico akan melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk memastikan kondisinya. Jadi, kalaupun Laina ke rumah sakit, dia tidak akan bisa menghabiskan waktu bersamanya. Lagipula, hari ini, pikiran Laina sudah kalut karena Azkan tak kunjung pulang. 

Setelah melihat mobil Ardoz pergi meninggalkan halaman depan kastil, Laina segera mengganti pakaiannya dengan pakaian ternyaman yang bisa dia pakai untuk naik ke atas gunung. Dia berlari ke halaman belakang kastil, tempat kuda-kuda peliharaan Azkan berjalan-jalan dengan bebas. Laina memanggil salah satu kuda yang dia kenal, karena Azkan pernah membawanya menaiki kuda tersebut. Sepertinya kuda berwarna hitam legam itu mengingat Laina. Dia datang menghampiri Laina ketika namanya dipanggil. 

“Night, ayo kita mencari Azkan. Kau mau menemaniku kan?” seakan mengerti, Night, kuda hitam yang kata Azkan adalah pemimpin para kuda lain, mendengus dan menempelkan ujung hidungnya pada wajah Laina. Night dengan tenang membiarkan Laina memasang pelana di punggungnya lalu menaikinya. Setelah Laina duduk dengan benar, Night berjalan menuju pintu keluar kastil dari sisi kandang kuda. Setelah keluar dari kastil, Night mempercepat langkahnya. Larinya dimulai dengan pelan, lalu seiring menyatunya tubuh Laina dengan gerakan tubuhnya, Night mempercepat langkahnya. Mereka berdua berpacu menembus jalanan pulau yang sepi, menuju Gunung Dewa.

Di tengah perjalanan, Laina bisa melihat Gunung Dewa yang kokoh menjulang ke atas langit dengan semakin jelas. “Kita sudah semakin dekat, Night. Ayo!” Night berlari lebih cepat. Surainya terbang ditiup angin, begitupun rambut panjang Laina yang sama hitamnya dengan Night. Hingga saat ini, Armana belum tahu kalau Laina pergi sendiri ke Gunung Dewa. Dikiranya, Laina kembali ke dalam kamar dan beristirahat di sana setelah berhari-hari berjaga di rumah sakit. 

“Night, kau bisa beristirahat di sini. Jangan pergi terlalu jauh ya. Azkan bisa marah padaku kalau kau sampai hilang.” Night sekali lagi mendengus dan menempelkan hidungnya pada Laina. 

“Kau sangat cerdas, Night. Tunggu aku di sini. Aku akan berusaha naik dan melihat bagaimana keadaan Azkan. Bersembunyilah kalau kau bertemu Ardoz atau prajurit lainnya ya?” Night meringkik sambil menaikkan kaki depannya. Laina tertawa kecil. Dia tak menyangka kalau ternyata dia bisa menunggang kuda sampai ke sini. Apalagi Night selalu merespon ucapannya dengan benar. 

“Minumlah di sana, Night.” Laina menunjuk sungai jernih yang mengalir di sekitar gunung. “Aku akan naik ke gunung. Berhati-hatilah di sini, Night.” Laina tak hanya mengucapkan pesan itu untuk kuda hitam yang sudah mengantarnya, tapi juga untuk dirinya sendiri. 

Langkah Laina baru beberapa meter mendekati gunung, tiba-tiba Laina melihat api berkobar begitu besar di puncak gunung. Kalau dari kaki gunung api itu terlihat jelas, sebesar apa api di atas sana? Ketakutan dan kecemasan menyerang kesadaran Laina. Tanpa pikir panjang, dia langsung berlari ke dalam hutan yang menjadi pintu masuk untuk naik ke atas bukit. Laina tidak melewati jalan masuk yang dilalui Azkan sebelumnya karena dia tiba di sisi lain gunung. Dia tidak mau bertemu Ardoz yang katanya akan datang ke gunung untuk memeriksa keadaan. Jadi, sejak keluar dari kastil, Laina memilih jalan yang tidak sering dilewati orang lain, sampai tiba di sisi lain kaki gunung. 

“Azkan, aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai terjadi sesuatu padamu di atas sana.” Laina menerjang pepohonan dan tanaman liar setinggi tubuhnya yang menghalangi langkah kakinya. Dia tak peduli pada goresan dahan kering yang mencuat tak beraturan di sepanjang perjalanannya. Laina tak punya waktu untuk merasakan perihnya ranting-ranting kering yang menggores tubuhnya. Pikirannya hanya tertuju pada Azkan. Dia mempercepat langkah kakinya supaya bisa cepat menemukan Azkan. 

Api di puncak gunung semakin membesar. Udara hangat dari panasnya kobaran api itu bahkan terbawa angin hingga ke bawah gunung, tempat Laina sedang berusaha untuk berjalan naik. 

“Azkan, kau harus baik-baik saja.” Laina tak peduli kalau dia harus menghadapi kobaran api sebentar lagi.

1
anggita
like👍☝iklan. moga novelnya lancar jaya
anggita
Azkan..😘 Laina.
SammFlynn
Gak kecewa!
Eirlys
Aku bisa baca terus sampe malem nih, gak bosan sama sekali!
SIA: Terima kasih sudah mau membaca :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!