Ketika yang semua orang anggap hanya omong kosong menyerbu dari utara, saat itulah riwayat Suku Gagak menemui akhirnya.
Tanduk Darah, iblis-iblis misterius yang datang entah dari mana, menebar kekacauan kepada umat manusia. Menurut legenda, hanya sang Raja Malam yang mampu menghentikan mereka. Itu terjadi lima ribu tahun silam pada Zaman Permulaan, di mana ketujuh suku Wilayah Pedalaman masih dipimpin oleh satu raja.
Namun sebelum wafat, Raja Malam pernah berkata bahwa dia akan memiliki seorang penerus.
Chen Huang, pemuda bernasib malang yang menjadi orang terakhir dari Suku Gagak setelah penyerangan Tanduk Darah, dia tahu hanya Raja Malam yang jadi harapan terakhirnya.
Apakah dia berhasil menemukan penerus Raja Malam?
Atau hidupnya akan berakhir pada keputusasaan karena ucapan terakhir Raja Malam hanya bualan belaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arisena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode : 4 — Jimat Hitam
Chen Huang tak ingat kapan dia menjatuhkan diri, tapi yang terjadi saat ini menjawab semua itu. Ia terbangun dalam ruangan yang bisa dikatakan gelap pekat, dia tak bisa melihat apa pun, kecuali diri sendiri.
Pemuda itu menghela tubuhnya berdiri, mengedarkan pandang. Barangkali ada sesuatu, ya, sesuatu. Namun, yang dilihat hanya kekosongan tak berujung.
"Hanya untuk yang pantas mendapatkannya," gumam Chen Huang. Mengingat hal itu, senyumnya tercipta. Sebuah senyum pahit. "Apakah aku tidak pantas?"
Chen Huang ingat di ruang bawah tanah Rumah Hantu, dia membuka peti kecil yang menyimpan benda paling berharga milik Suku Gagak. Benda itu disebut Jimat Hitam.
Bentuknya bulat yang dibuat dari batu mengkilap. Diasah sedemikian rupa sehingga jika orang memandang, seakan-akan dia dapat melihat urat-urat batu yang kuning kehijauan. Batu yang indah.
Namun begitu memegangnya, Chen Huang tersesat di tempat gelap seperti ini.
Dia tertawa keras, entah karena apa. Tak berselang lama, dia mulai menangis, entah karena apa.
Makin lama, keadaan sekeliling tak sepekat tadi. Dari yang awalnya benar-benar hitam perlahan berubah warna menjadi hitam muda atau abu-abu.
Orang-orang yang dikenalnya entah sejak kapan sudah berdiri berkerumun memandangnya. Tatapan mereka itu menyebalkan menurut Chen Huang. Kosong, tanpa ekspresi, ia dapat merasakan kekecewaan besar di mata setiap orang.
Hanya ayah, ibu, dan bocah gundul yang berdiri paling depan, kecuali tiga orang itu, mereka semua memandang kosong.
Wu Rui tersenyum tipis. Ibunya tersenyum iba. Ayahnya tersenyum lebar sampai giginya terlihat.
"Bangkitlah," berkata Wu Rui dengan suara menggema. Chen Huang yakin itu bukan suara Wu Rui. Suaranya tak pernah seberat itu. "Ini bukan pantas atau tidak, simpanlah jimat itu untuk seseorang yang pantas."
"Wu Rui?" Air mata Chen Huang masih terus menetes.
Satu per satu, orang-orang berbalik dan pergi meninggalkannya. Sampai menyisakan tiga orang itu.
"Jangan pergi!" Chen Huang menjerit. "Kumohon, jangan tinggalkan aku ...." Chen Huang mengejar, tapi seberapa keras pun ia berusaha, jarak di antara mereka sama sekali tak berkurang. "Aku bukan raja, aku bukan raja ... katakan padaku, siapa yang pantas untuk Jimat ini?"
"Seseorang," satu suara menjawab dan saat itu Chen Huang baru sadar bahwa ia tak lagi melihat Wu Rui, ayah dan ibunya. "Seseorang yang tak lama lagi akan muncul."
"Katakan lebih jelas!" Chen Huang mulai marah. "Aku bersumpah akan melindungi Jimat Hitam dan kuberikan padanya."
"Raja Malam akan segera hadir, kau akan tahu nanti ...."
Suara itu menghilang.
Bersamaan dengan itu, Chen Huang tersadar. Dia melihat langit-langit ruangan yang kotor. Kemudian Chen Huang tahu bahwa saat ini ia sudah kembali ke alam nyata.
"Apa-apaan itu?" Chen Huang menelan ludah susah payah. "Siapa Raja Malamnya?" ia mengamati Jimat Hitam selama beberapa saat sebelum mengalungkannya di leher dan menyembunyikannya di balik jubah.
...----------------...
Raja Malam adalah seseorang dari Suku Gagak yang berhasil mengusir pasukan Tanduk Darah lima ribu tahun yang lalu. Sejak saat itu, Raja Malam wafat dan dia hanya mengatakan bahwa pemilik Jimat Hitam adalah penerusnya.
Akan tetapi, hal itu cukup rumit. Hanya karena mengenakan Jimat Hitam, bukan berarti dia adalah penerus Raja Malam. Sehingga tak heran selama ini kisah Raja Malam dijadikan legenda dan hampir terlupakan, keberadaan Jimat Hitam pun hanya dijadikan pusaka Suku Gagak yang dipercaya dapat menangkal kesialan. Hanya sebatas itu.
Hari itu, Chen Huang sudah nekat mengambil keputusan. Dia berpikir dirinyalah yang berhak memakai Jimat Hitam karena bukankah dia adalah Suku Gagak terakhir? Namun setelah mimpi itu, Chen Huang mulai ragu. Apakah ada Suku Gagak lain yang masih hidup? Atau perkataan Raja Malam sebelumnya hanya dongeng?
Chen Huang semakin pusing dibuatnya. Yang jelas, dia sudah bertekad untuk melindungi Jimat Hitam, apa pun yang terjadi.
"Waktu yang akan menjawab, bahkan jika aku bukan raja sekalipun, akan kuciptakan Pasukan Gagak yang baru, untuk menyambut kedatangan raja suatu hari nanti. Aku janji," katanya seraya menggenggam erat Jimat Hitam di dadanya. "Kegelapan milik kita".
Dia naik ke permukaan, menutup lubang bawah tanah seperti semula dan menghampiri pintu. Ketika dia dapat kembali melihat matahari, Chen Huang bertanya-tanya apakah dia akan bisa kembali lagi ke sini suatu hari nanti.
"Apa yang kaulakukan?" Qin Mingzhu bertanya.
"Sesuatu," Chen Huang menjawab singkat. "Urusan para Gagak, kupikir kalian tak tertarik untuk mengetahuinya."
"Memang," sahut seorang prajurit disusul tawa riuh di antara mereka.
"Baguslah." Chen Huang berjalan menuju kuda poninya ditambatkan. Ia melepas tali kekang yang dikaitkan ke sebatang pohon sebelum melompat dan duduk di punggungnya. "Urusanku sudah selesai, kalau kalian masih mau main-main, aku pulang dulu."
Pemimpin pasukan menggertakkan gigi. "Sikapmu sudah seperti majikan kami, keparat."
Chen Huang meliriknya, dengan malas menanggapi. "Maaf soal itu, tapi aku tetap akan tidur di pondok belakang sebagai gelandangan, seperti biasa."
"Bagus kalau kau tahu tempatmu!"
"Sudah cukup!" tegas Qin Mingzhu yang sudah naik pula ke atas kuda. "Mari pulang."
...----------------...
"Memang tak ada bekas pedang bergerigi milik Suku Naga," Qin Mingzhu memberi laporan kepada ayahnya. "Ayah, apa kau tahu apa kira-kira yang telah terjadi?"
Qin Sheng menatap penasihatnya. Bagaimanapun, Qin Mingzhu masih empat belas tahun. Walau sudah dianggap sebagai lelaki dewasa menurut tradisi mereka, tapi tetap saja di mata Qin Sheng dia masih anak-anak. Qin Sheng tak begitu tega memberitahukan kengerian itu secara langsung.
"Kau pernah dengar Tanduk Darah?" Akhirnya Ming Zhe yang mengambil alih. "Kupikir sudah karena aku pernah mendongengkannya padamu."
Qin Mingzhu mengangguk. "Ada apa dengan mereka?"
Ming Zhe menatapnya penuh arti. Di balik punggung, dua tangannya saling bertaut dengan resah. "Yah ... begitulah, kau bukan anak bodoh dan itu kebanggaan kami. Hanya saja sedikit pelupa."
"Apa yang—" wajah Qin Mingzhu membayangkan kengerian yang sulit dijelaskan, "tunggu, itu hanya dongeng, kan?"
"Iya, jadi kau tak perlu memikirkannya terlalu dalam. Fokus saja pada latihanmu. Sudah, pergi sana!" ayahnya memotong dengan nada suara yang tak dapat dibantah lagi, "dan jangan menanyakan itu kepada Gagak, dia masih terguncang, bisa-bisa dia jadi gila, bisa repot aku."
Untuk saat ini, Qin Mingzhu tidak membantah. Anak itu mengangguk patuh lalu pergi meninggalkan ruangan ayahnya tanpa banyak cakap.
"Anda selalu bersikap seperti ini," Ming Zhe menghela napas berat. "Bahkan anda tak pernah menyebut namanya."
Qin Sheng mencengkeram pegangan kursi. "Aku bersikap selayaknya serigala, seperti yang dikatakannya. Karena perbuatanku ...."
"Anda masih menyalahkan diri sendiri?"
"Gagak tua itu mungkin akan mati bersama seluruh Desa Gagak kemarin jika aku lebih bijak waktu itu." Cengkeraman pada lengan kursi semakin kuat. "Gagak dan Serigala bertempur, sejatinya adalah kesalahan kita, kau tahu itu. Mereka hanya mencoba membalas kematian keluarganya."
Ming Zhe mengangguk. "Dan kita hanya menjaga diri." Lelaki bongkok ini lalu mengambil perkamen-perkamen di meja Qin Sheng, meletakkannya di lemari sesuai keadaan semula. "Anda tidak membenci Gagak Kecil itu, hanya teringat masa lalu."
"Kau benar," Qin Sheng merenung. "Hanya kepadamu aku mengakui hal ini."
Ming Zhe menatap barisan perkamen dan buku di rak tersebut, seolah deretan buku dan perkamen itu adalah kepingan-kepingan masa lalu yang saling terpisah, tapi juga saling berkaitan. "Sudah dua puluh tahun ya ... tidak terasa. Apa dia baik-baik saja?"
"Dia mungkin sudah mati," potong Qin Sheng dengan hati perih, "dan aku hanya melakukan janjinya. Menjaga Gagak, melindunginya, dan tak akan pernah lagi berperang melawannya. Ini kesempatan terakhir, Gagak terakhir."
"Kira-kira, apa yang dilakukan Chen Huang di desa itu tadi?"
"Apa lagi kalau bukan soal Jimat Hitam?"
"Anda tak pernah menginginkannya, karena itulah istri anda berani mengatakan hal itu."
Mata Qin Sheng sedikit bergetar. "Mungkin bisa disebut mendiang?"
Ming Zhe menghela napasnya sebelum melanjutkan tanpa menghiraukan jawaban Qin Sheng. "Bagaimana kalau ternyata dialah Raja Malam?"
"Serigala akan berdiri di belakangnya," Qin Sheng berkata tegas, tanpa keraguan, tanpa berpikir, "dan kalau seandainya ada yang menentang, bahkan Naga sekalipun, Serigala hanya perlu menginjak-injaknya."
Ming Zhe tersenyum, senyum bijak penuh pengertian. 'Itulah yang membuat saya kagum padamu, Tuan Qin.'
...----------------...
Untuk hal-hal terkait cerita, bisa mampir ke instagram @arisena_p
Hanya saja untuk development karakter nya aku masih merasa kurang cukup motivasi. Mungkin karena masih perkembangan awal. Akan tetapi, perlahan namun pasti keberadaan Chen Huang di Serigala, kayaknya akan semakin bisa di terima. Aku cukup merasakan bahwa dia saat ini sudah mulai banyak berinteraksi dengan tokoh lainnya.
Aku baca ulang dan ternyata memang ini flashback😅✌🏻