dr. Pramudya Aryatama, Sp. An. harus terpaksa menikahi saudari sepupu dari mendiang istrinya karena desakan keluarga, juga permintaan terakhir Naina. Belum lagi putranya yang berusia 2 tahun membutuhkan kehadiran seorang ibu.
Bisakah dr. Pram menerima Larasati sebagai istrinya, sedangkan ia sendiri masih begitu terpaku pada kenangan dan cintanya pada mendiang istrinya? Lalu bagaimana Larasati harus menghadapi sosok pria seperti dr. Pram yang kaku juga dingin dengan status dirinya yang anak yatim piatu dan status sosial jauh di bawah keluarga pria itu.
Banyak hal yang membentengi mereka, tetapi pernikahan membuat mereka menjadi dua orang yang harus saling terikat. Bisakah benih-benih perasaan itu hadir di hati mereka?
Jangan lupa subscribe biar dapat notifikasi updatenya, ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Paham
Laras duduk di sofa ruang tamu, menggenggam ponselnya dengan erat. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara kegembiraan dan kecemasan. Beberapa hari yang lalu, ia mendapatkan hasil tes kehamilan yang menunjukkan dirinya positif hamil. Ini adalah kabar yang seharusnya membahagiakan, tetapi ia tidak bisa menahan rasa khawatir tentang bagaimana Dokter Pram akan bereaksi.
Dr. Pram saat ini sedang dinas luar kota, menghadiri sebuah konferensi medis. Laras tahu ini bukan waktu yang tepat untuk mengganggunya, tapi ia merasa kabar ini terlalu penting untuk ditunda. Dengan tangan gemetar, Laras menekan nomor pria itu dan menunggu panggilannya tersambung. Setelah beberapa detik, suara pria itu terdengar dari seberang.
"Halo, Laras. Ada apa?" Suaranya terdengar datar dan tidak bersemangat.
"Halo, Mas. Aku ... aku punya sesuatu yang penting untuk dikatakan," Laras mulai dengan ragu.
"Kalau tidak terlalu penting, bisakah kita bicarakan nanti saja? Aku sedang sibuk," jawab pria itu di seberang telepon dingin.
Laras merasa hatinya mencelos mendengar jawaban itu. Meskipun ia sudah terbiasa dengan sikap suaminya yang seperti itu, kali ini rasanya berbeda. Ini tentang kehidupan baru yang sedang tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang seharusnya membuat mereka berdua bahagia.
"Tapi, Mas, ini sangat penting," Laras mencoba lagi, suaranya sedikit gemetar.
"Aku bilang, nanti saja. Aku sedang banyak pekerjaan di sini," potong Dokter Pram tanpa sedikit pun rasa empati.
Rasa kecewa dan kesedihan memenuhi hati Laras. Ia menghela napas panjang dan memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraan itu.
"Baiklah, Mas. Aku tidak akan mengganggu lagi," ucapnya pelan sebelum menutup telepon.
Setelah menutup telepon, Laras merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa kesepian dan tidak dipahami. Ia tahu bahwa bagi pria itu pekerjaannya adalah yang utama, dan Laras bukanlah wanita yang pria itu cintai sehingga pria itu harus memprioritaskannya. Rasanya perih sekali.
Beberapa hari kemudian, Aulia mengatur pertemuan dengan seorang teman lama. Ia berencana untuk memanipulasi situasi sehingga Laras terlihat bersalah di mata Pram. Ia mengatur pertemuan dengan Rendy dan menawarkan sejumlah uang untuk membuat skenario yang akan memojokkan Laras.
“Aku butuh bantuanmu, Rendy. Aku akan membayar kamu jika kamu bisa berpura-pura bahwa kamu dan Laras memiliki hubungan lebih dari sekadar teman,” kata Aulia dengan nada serius.
Rendy, yang awalnya ragu, akhirnya setuju setelah Aulia menjelaskan rencananya secara detail. Ia tahu bahwa ini tidak etis, tetapi godaan uang membuatnya menyerah. Dia tidak terlalu dekat dengan Laras, teman semasa kuliahnya di Jogja itu. Namun, dia butuh uang ini untuk melunasi hutang-hutang ibunya.
Hari berikutnya, Aulia memastikan bahwa Rendy benar-benar bertemu dan mengobrol akrab dengan Laras. Ia mengambil beberapa potret kedua orang itu, dan membuat seolah dua orang itu seperti sepasang kekasih yang sedang makan bersama. Senyum licik tersungging di bibir Aulia.
"Kita lihat bagaimana Mas Pram akan membuangmu karena mengkhianatinya, Laras!" gumamnya Licik.
Laras mengobrol banyak hal dengan Rendy. Ia tidak tahu bahwa Rendy masih menyimpan kontaknya. Mereka banyak menceritakan pengalaman kerja dan kesibukan sekarang. Sebenarnya mereka tidak berdua saja, tadi ada Lira yang sekarang sedang ke toilet sebentar. Tentu saja Laras yang mengajak Lira ikut berkumpul, karena dirinya tidak ingin hanya berdua saja menemui Rendy.
"Bagaimana dengan ibumu sekarang, Ren?" tanya Laras prihatin.
"Ibu masih di rumah sakit dan belum sadarkan diri," jawab Rendy berucap sedih.
Laras menepuk telapak tangan Rendy yang ada di atas meja. Menguatkan lelaki itu.
"Kamu sendiri bagaimana dengan keluarga barumu?"
"Mertua dan iparku baik. Sejauh ini aku baik-baik saja dan betah di sini."
Setelah hampir satu jam mereka bertiga mengobrol, Laras pamit pulang lebih dulu karena dirinya tidak bisa lama-lama meninggalkan Bagas sendirian. Laras tidak tahu bahwa Rendy menatapnya merasa bersalah dan bahwa dirinya dijebak oleh Aulia.
.................
Lima hari berlalu. Dokter Pram baru saja kembali dari dinas luar kota. Matahari sudah tenggelam saat dia melangkah masuk ke rumah. Perjalanan yang melelahkan itu tidak mengurangi ketegangan yang menggelayut di pundaknya. Dia merindukan rumah, tapi rasa kecewa yang mendalam menghantui pikirannya sejak melihat sebuah foto di ponselnya.
Foto itu dikirim oleh nomor yang tidak dikenal. Di dalam foto tersebut, terlihat Laras sedang duduk di sebuah kafe dengan seorang lelaki. Mereka duduk berdampingan, dan yang membuat dirinya terusik karena mereka saling menggenggam tangan. Laras tersenyum, senyum yang seolah menyiratkan kebahagiaan yang tidak pernah dilihat Pram dalam beberapa bulan terakhir ini.
Dia tidak senang, dan rasa kecewa melingkupi dirinya. Bagaimana bisa Laras melakukan ini? Mengapa dia bertemu seseorang tanpa izin dari dirinya?
Dokter Pram melangkah masuk ke rumah, melewati ruang tamu yang sunyi, dan langsung menuju kamar tidur. Laras yang sedang duduk di tepi tempat tidur terkejut melihat suaminya sudah pulang.
“Mas, kamu sudah pulang?”
Laras berusaha tersenyum meski hatinya berat. Selama ini dia berusaha mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu dr. Pram tentang kehamilannya, tetapi setiap kali ada kesempatan, sikap dingin Pram selalu menghentikannya.
Pria itu hanya mengangguk singkat tanpa memandang Laras. Dia meletakkan tasnya dengan kasar di sudut kamar dan mulai melepaskan jasnya. Laras merasakan perubahan sikap suaminya dan mencoba mendekat.
"Mau kubuatkan susu hangatnya, Mas?" Laras meletakkan tas kerja pria itu dengam benar.
"Tidak perlu!" sahut dr. Pram dingin.
Dokter Pram berlalu ke kamar mandi meninggalkan Laras dalam kebingungan dan rasa kecewa. Hampir lima belas menit Laras menunggu dengan duduk di sisi ranjang. Menunggu hingga pria itu bergabung bersamanya di kasur.
“Mas, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Laras pelan, suaranya penuh harap.
“Apa?” Pram menjawab dengan nada datar tanpa menoleh.
“Aku .…” Laras ragu-ragu, hatinya berdebar.
“Aku ingin bilang bahwa aku .…”
“Saya lelah, Laras!” potong dr. Pram tiba-tiba.
“Kita bicara besok saja.”
Laras terdiam. Dokter Pram membaringkan dirinya di tempat tidur, membelakangi Laras. Perempuan itu hanya bisa menghela napas panjang. Dia ikut berbaring memeluk guling, matanya berkaca-kaca. Menatap punggung pria itu nelangsa.
Esok paginya, dr. Pram berangkat kerja lebih awal tanpa sempat berbicara lagi dengan Laras. Hari-hari berlalu dengan keheningan yang semakin menyiksa. Laras merasa terkurung dalam dinding dingin yang dibangun oleh suaminya.
Dia mencoba untuk tidak memperlihatkan kekecewaannya. Setiap kali dia ingin membicarakan tentang kehamilannya, pria itu selalu menghindar dengan berbagai alasan.
Malam itu, Laras duduk sendirian di ruang tamu, menggenggam foto hasil USG bayi yang ada di dalam rahimnya. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Dia merindukan pria itu, meskipun tanpa ekspresi, tetapi dia tetap perhatian dan mau berbicara padanya. Namun, kini yang ada hanya sosok dingin yang selalu menghindarinya.
Dokter Pram pulang larut malam, seperti biasa. Dia berjalan masuk tanpa banyak bicara, langsung menuju kamar tidur. Laras mengikutinya dengan langkah pelan, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
“Mas, kita perlu bicara,” kata Laras dengan suara bergetar.
Dokter Pram berhenti, tapi tidak menoleh.
“Apa lagi, Laras?” jawab pria itu dengan nada tak sabar.
“Kenapa kamu selalu menghindar? Apa yang terjadi dengan kita?” Laras tidak bisa lagi menahan air matanya.
Dokter Pram menghela napas panjang. Dia berbalik, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, dia menatap mata Laras.
“Apa yang terjadi? Kamu bertanya apa yang terjadi?” Suara dr. Pram dingin dan tajam.
“Kamu tahu apa yang aku lihat saat aku sedang dinas luar kota? Foto kamu dengan pria lain, Laras! Duduk berdampingan, bergenggaman tangan. Itu yang terjadi!”
Laras terkejut, air matanya semakin deras.
“Mas, itu tidak seperti yang kamu kira. Aku .…”
“Apa? Apa yang bisa kamu jelaskan? Kamu bertemu dengan pria lain tanpa sepengetahuanku. Apa lagi yang harus dijelaskan?” Nada suara pria itu dingin menusuk.
Laras merasa hancur. Dia tidak pernah melihat dr. Pram semarah ini.
“Mas, tolong dengarkan aku. Pria itu adalah teman lama. Kami hanya bertemu untuk membicarakan beberapa hal. Tidak ada yang terjadi, sungguh.”
“Teman lama? Teman lama yang kamu genggam tangannya?” dr. Pram menggelengkan kepala, matanya penuh kemarahan dan kecewa.
“Saya tidak bisa percaya ini, Laras. Saya tidak tahu lagi siapa kamu. Apa saja kebohongan yang kamu buat di belakang saya?"
Laras mencoba mendekat, tetapi dr. Pram mundur.
“Mas, aku hamil. Aku ingin memberitahumu, tapi kamu selalu menghindar. Tolong, percaya padaku.”
Dokter Pram terdiam, kata-kata Laras menggantung di udara. Dia menatap Laras dengan pandangan menusuk tajam.
“Hamil?” Suaranya pelan, hampir tidak terdengar.
...To Be Continue .......
bikin cerita tentang anak"laras dan pram author .....