Season 2 Pengganti Mommy
Pernikahan Vijendra dan Sirta sudah berusia lima tahun lamanya, namun mereka belum dikaruniai momongan. Bukan karena salah satunya ada yang mandul, itu semua karena Sirta belum siap untuk hamil. Sirta ingin bebas dari anak, karena tidak mau tubuhnya rusak ketika ia hamil dan melahirkan.
Vi bertemu Ardini saat kekalutan melanda rumah tangganya. Ardini OB di kantor Vi. Kejadian panas itu bermula saat Vi meminum kopi yang Ardini buatkan hingga akhirnya Vi merenggut kesucian Ardini, dan Ardini hamil anak Vi.
Vi bertanggung jawab dengan menikahi Ardini, namun saat kandungan Ardini besar, Ardini pergi karena sebab tertentu. Lima tahun lamanya, mereka berpisah, dan akhirnya mereka dipertemukan kembali.
“Di mana anakku!”
“Tuan, maaf jangan mengganggu pekerjaanku!”
Akankah Vi bisa bertemu dengan anaknya? Dan, apakah Sirta yang menyebabkan Ardini menghilang tanpa pamit selama itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
Vi menatap Ardini yang masih terengah-engah seusai pelepasannya. Vi membelai kepala Ardini lalu mengecup kening Ardini dengan dalam. Vi juga mengusap perut Ardini, yang di mana di dalam perut Ardini ada calon buah hatinya.
“Apa perutmu sakit, Sayang?” tanya Vi.
Entah kenapa Vi semudah itu memanggil Ardini sayang, padahal panggilan itu hanya ia berikan pada Sirta serta pada adik perempuannya, mamanya, dan keponakannya.
“Tidak, Mas,” jawabnya.
“Apa boleh aku lanjutkan, Sayang?” Ardini hanya mengangguk, ia merasakan miliknya masih berdenyut keras, tidak menyangka Vi saat ini memberikan rasa yang tidak pernah Ardini rasakan, meski dia pernah bersama Vi, tapi kali ini membuat Ardini seakan ke awang-awang.
“Aku akan melakukannya perlahan, karena aku tidak mau menyakiti anakku,” bisik Vi.
Vi membuka perlahan kedua kaki Ardini, akan tetapi Ardini menahannya, ia masih malu untuk membuka lebar kakinya, padahal baru saja Vi bermain pada miliknya meski meggunakan jarinya.
“Rileks, Adin. Jangan kaku gini, oke?” bisik Vi.
“Aku malu, Mas.”
“Aku sudah melihatnya, ayolah rileks, Sayang.”
Ardini mengangguk, ia memejamkan matanya, dengan wajah yang merona merah, karena dia malu pada Vi.
Vi melesakkan miliknya pada milik Ardini perlahan. Ternyata masih terasa sempit sekali, karena hanya satu kali terjamah Vi malam itu.
“Sakit, Mas ...,” ringis Ardini, sampai kedua sudut mata Ardini mengeluarkan cairan bening.
“Tahan, Adin. Aku sudah pelan melakukanya,” ucap Vi yang masih berusaha melesakkan inti tubuhnya yang sudah nampak gagah, degan tangannya memainkan manik kecil pada milik Ardini hingga membuat Ardini melenguh kuat dan menggeliatkan tubuhnya.
“Sakit, Mas!” pekik Ardini.
“Apa perutmu sakit? Kalau iya, aku tidak akan melanjutkannya.”
“Bu—bukan, itunya yang sakit.”
“Sabar, ya? Perlahan pasti kamu akan menikmatinya.”
Vi mengusap kedua mata Ardini yang sudah basah dengan air mata, lalu Vi meningalkan kecupan di setiap sudut mata Ardini. Vi memutar piggulnya pelan agar Ardini merasa terbiasa.
“Good, Adin!” racau Vi saat Ardini sudah bisa mengimbangi gerakan Vi, apalagi sampai Ardini menggerakkan pinggangnya mengikuti gerakan Vi.
“Ya begitu, Adin. Rileks, rasakan setiap gerakanku, apa kamu nyaman?”
“I—iya, nyaman sekali, Mas. Ahhh ....!”
“Tetap begitu, Adin. Aku suka.”
Ardini menurut, mencoba mengikuti intruksi yang diberikan Vi. Meskipun pergerakan Ardini masih amatiran dan sangat pelan, namun hal itu mampi membuat keduanya semakin meremang. Bahkan suara Ardini semaki tidak terkendali karena merasakan sesuatu yang melesak begitu dalam. Rasanya seperti menyentuh dinding-dinding rahimnya.
“Mas ... ra—rasanya se—seperti ....”
Vi tahu Ardini akan mendapatkan puncaknya kembali. Vi sedikit mempercepat gerakannya, hingga tanpa sebuah intruksi Ardini melingkarkan kedua kakinnya pada tubuh Vi. Vi sampai melenguh kuat merasakan inti tubuhnya yang semakin terjepit oleh Ardini.
“Good Adini!”
Vi langsung bergerak tak terkendali, hingga membuat Ardini mendesah tanpa jeda. Hingga keduanya melenguh bersama saat puncak yang indah itu mereka dapatkan.
Vi langsung menjatuhkan tubuhnya ke samping Ardini, lalu memeluknya, mengecup kening dan bibir Ardini. Mereka sama-sama merasakan bagaimana jantung mereka bedetak sangat cepat. Deru napas mereka bahkan terdengar jelas karena mereka masih terengah-engag, menikmati bagaimana sisa-sisa penyatuan mereka yang masih terasa di bawah sana.
“Terima kasih, Adin,” ucap Vi dengan mencium bibir Ardini.
“Iya, sama-sama, Mas,” ucap Ardini dengan membalas kecupan Vi.
“Ayo tidur, sudah malam. Kalau kamu tidak hamil, akan habis malam ini sampai pagi menjelang,” ucap Vi.
Ardini melotot ke arah Vi. Bagaimana bisa Vi berkata seperti itu? Sebetulnya Ardini pun ingin lagi, tapi ia sadar kalau di dalam perutnya ada makhluk kecil yang sangat dinantikan suaminya. Apalagi Dokter menyarankan boleh melakukan hubungan paling tidak dua minggu sekali, itu pun kalau kondisi Ardini baik-baik saja.
Pagi ini, Vi terbangun lebih dulu, ia masih melihat Ardini tidur dengan pulas. Vi tidak berani membangunkan Ardini yang masih nyaman dengan tidurnya. Ardini masih terlelap di alam mimpi walau matahari sudah mulai meninggi.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Sudah sejak satu jam yang lalu Vi berkutat di dapur. Vi membuatkan menu sarapan untuk dirinya dan Ardini. Mengikuti tutorial yang ada di aplikasi yang berwarna merah itu. Masakan yang menurutnya paling sangat mudah bagi pemula seperti Vi.
Vi langsung menghidangan satu menu hasil karyanya sendiri di atas meja makan. Vi kembali menilisik masakannya sendiri.
“Apa ini bisa dimakan manusia? Awut-awutan sekali, ah yang penting sudah berusaha, dan soal rasa ini pas sih, meski tampilannya sungguh tidak indah,” gumamnya.
Setelah menata sarapan di atas meja makan, Vi masku ke kamar, karena ingin membangunkan Ardini, namun saat melihat Ardini yang masih tertidur dengan pulas, rasanya Vi tak tega membangunkan Ardini. Vi duduk di tepi ranjang sambil menatap lekat wajah Ardini yang terlelap. Kedua mata Vi menelisik tubuh Ardini. Vi langsung menurunkan selimut yang menutupi tubuh Ardini. Selimut yang memang sudah mulai turun, dan siap memamerkan dua benda kenyal di dada Ardini. Dari bagia leher, hingga ke dada Ardini begitu banyak jejak yang berhasil Vi ukir di sana. Hal itu membuat Vi tersenyum bangga saat melihat hasil karyanya itu, yang entah berpa jumlahnya, karena terlalu banyak.
Ardini menggeliatkan tubuhnya sambil melenguh pelan. Merasakan ada seusatu yang tengah meyentuh bagian dadanya dengan lembut. Ardini yang masih mengantu, enggan membuka kedua matanya yang masih terasa lengket. Dengan terpaksa, Ardini membuka perlahan kedua matanya. Saat merasakan ada sesapan di dadanya.
“Mas ....” pekik Ardini.
Mata Ardini terbuka lebar saat melihat dengan jelas, bahwa Vi sedang bermain di dadanya itu.
“Selamat pagi, Sayang ....”
“Pagi, Mas ... Ahhh ... sudah dong jangan begini,” jawab Ardini sambil melenguh.
“Ya sudah, ayo bangun, mandilah aku sudah siapkan air hangat untukmu. Lalu kita sarapan, dan setelah itu kamu boleh istirahat lagi,” ucap Vi.
Spontan Ardini langsung bangun sambil mendorong tubuh Vi. “Jam berapa sekarang, Mas?” tanya Ardini panik, karena ia melihat ke arah jendela kamarnya yang sudah terlihat begitu terang benderang.
“Jam sembilan lebih lima belas menit,” jawab Vi santai.
“Aku kesiangan, Mas! Maafkan aku, aku belum masak, belum siapkan kamu apa-apa. Mana Bi Siti belum balik!” ucap Ardini panik.
“Ssstttt .... sudah gak usah panik begitu, aku tidak masalah, Sayang. Lagian aku yang sudah membuat kamu sampai kecapekan dan tidur begitu pulas. Jadi mau jam berapa pun kamu bangun, aku tidak mempermasalahkannya.”
Seketika wajah Ardini memerah mengingat kejadian tadi malam. Ardini menunduk untuk menyembunyikan wajahnya, dan di detik berikutnya Ardini baru tersadar kalau dirinya tengah polos, tubuhnya tak tertutup apa pun. Bergegas Ardini menarik selimut dan langsung melilitkan pada tubuhnya. Namun, Vi malah menariknya, dan membuat selimutnya.
“Aku sudah melihatnya semua, ngapain ditutup, Adin? Gak usah malu sama suamimu sendiri. Toh aku sudah melihat dan menikmatinya?” ucap Vi.
“Ih Mas ...,” desah Ardini malu, lalu ia merapatkan pahanya untuk menutupi aset yang masih terasa perih dan linu. Serta tangannya yang spontan langsung menutupi dadanya.
“Kamu begitu menggemaskan, Adin! Mandilah, setelah itu sarapan, aku sudah buatkan kamu sarapan.”