John Roki, Seorang siswa SMA yang dingin, Cerdas, dan suka memecahkan misteri menjadi logis (Bisa diterima otak)
Kehidupan SMA nya diawali dengan kode rahasia yang tanpa disadari, membawanya ke misteri yang lebih mengancam. Misteri apa itu? kok bisa makin besar? Selengkapnya dalam cerita berikut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoro Z, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Game 19. Strategi pemulihan.
Pagi itu, di ruangan OSIS yang sunyi, Roki duduk di hadapan Tommy dan Vendor. Mereka bertiga terlibat dalam rapat singkat untuk memecahkan masalah misteri perusakan komputer yang masih menggantung.
Festival hari kedua sudah berjalan sedang berlangsung dengan lancar, tapi Roki masih belum bisa menikmati suasana. Pikirannya sepenuhnya fokus pada menemukan pelaku yang perusak komputer di aula.
Vendor, dengan sikap yang biasa ceria, tiba-tiba menatap Roki dengan serius. “Oke, Roki. Aku punya satu pertanyaan penting untukmu.”
Roki mengerutkan kening. “Apa?”
“Apa hal yang paling menarik dari dirimu?” tanya Vendor dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Roki terdiam sejenak dan sedang memikirkan jawabannya, setelah beberapa menit. “Kayaknya tidak ada ... mau jawab pintar, tapi masih banyak orang yang jauh diatas ku kepintarannya.” Roki benar-benar tidak tau harus menjawab apa.
Tommy yang duduk di sebelahnya, menyeringai. “Menurutku, hal yang paling menarik darimu adalah ... empat gadis yang selalu berada di sekitarmu.”
Roki menatap Tommy dengan pandangan kosong. “Apa maksud mu? Vendor bertanya mengenai keunikan ku bukan ke empat gadis di sekeliling ku.” Jawab Tony dengan nada tegas.
Sementara Vendor tersenyum lebar. “Ah, itu menarik. Kalo boleh tau, siapa keempat gadis yang selalu bersama Roki?” Vendor bertanya sembari melirik Roki sesekali.
“Rose, Hana, Mia, dan Marlina. Mereka tampaknya cukup dekat dengan Roki” Jawab Tommy sembari menegakkan badannya dan kedua tangan diatas meja.
Roki tidak tau apa yang sedang mereka rencanakan, tapi Roki sadar mereka berdua sedang menggoda Roki.
“Oke, aku sudah tau gimana rencananya, kita manfaatkan kesempatan gadis itu.” Kata Vendor yang masih tersenyum kepada Roki.
Roki mengangkat alis. “Memanfaatkan mereka? Apa maksudmu?”
Vendor bersandar ke kursi, wajahnya penuh antusiasme. “Begini, kita akan membuat pelaku merasa cemburu atau terganggu dengan perhatianmu pada keempat gadis itu. Kita akan mengatur agar kau berkencan dengan mereka, satu per satu, di festival. Sementara kau melakukan itu, aku dan Tommy akan mengawasi dari kejauhan untuk melihat apakah ada seseorang yang bereaksi aneh.”
Seperti yang dia katakan sebenarnya, jika sulit menemukan pelaku, tangkap pelaku dengan kebenciannya. Sekarang paham kan apa maksudnya ini.
Roki merenungkan rencana itu sejenak. Strateginya terdengar agak konyol baginya, tapi juga cerdas. Jika pelakunya memang seseorang yang merasa terganggu dengan kehadiran Roki dan gadis-gadis di sekitarnya, maka ini mungkin cara terbaik untuk memancingnya keluar.
“Baik,” jawab Roki singkat. “Jangan berharap banyak kepada ku.”
Rencana pun dimulai. Target pertama dalam jebakan ini adalah Rose. Festival hari kedua berlangsung penuh semangat, dan Roki sudah berdiri di depan Rose, mengajaknya berjalan-jalan di sekitar lapangan festival.
Sedikit informasi, Saat Masih dituang OSIS, Roki menelpon ke-empat gadis dan masing-masing sudah disuruh Roki untuk menunggu ditempat yang berbeda dan jam ketemuannya. Akan tetapi, ke-empat gadis tidak dikasih tau mengenai rencananya, karena takutnya, mereka merasa cuma dimanfaatkan dan ada kemungkinan penolakan.
“Rose,” panggil Roki dengan nada datar. “Mau jalan-jalan sebentar?”
Rose yang sejak tadi gugup menunggu, mendengar hal itu, membuatnya tersenyum lebar. “Tentu saja!”
Mereka mulai berjalan berdua, menikmati festival. Rose yang biasanya penuh tenang, kali ini tampak sangat gugup. Mereka berbicara tentang hal-hal sederhana, seperti makanan festival, stan yang menarik, dan permainan yang ingin mereka coba.
“Jadi, kau benar-benar tidak lelah setelah semua ini?” tanya Rose dengan nada perhatian. “Kau kelihatan sedikit letih.”
Roki menatapnya sebentar sebelum menjawab. “Tentu saja aku lelah, mata ku terasa berat, tapi aku tidak bisa tidur.”
Rose tersenyum lembut. “Kau selalu bekerja terlalu keras. Kau bisa bersandar padaku kalau mau, kau tahu?”
Roki menoleh ke arahnya, sedikit terkejut dengan kalimat itu. Namun, ia hanya menjawab dengan singkat, “Aku tahu.”
Sementara mereka berdua berjalan, Tommy dan Vendor mengawasi dari jauh, pura-pura menikmati festival seperti pengunjung lainnya. Mereka mengamati setiap sudut, mencari tanda-tanda kecurigaan dari orang-orang di sekitar.
Namun, setelah satu setengah jam berlalu, tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada orang yang tampak memperhatikan Roki dan Rose dengan intensitas yang aneh. Seolah-olah semuanya berjalan normal.
“Gak ada yang aneh ” gumam Vendor. “Lanjut gadis ke-dua”
Selanjutnya, giliran Hana. Roki menghampiri Hana yang sedang menunggu di salah satu stan makanan.
“Hana, kau mau jalan-jalan?” tanyanya dengan nada yang sama seperti sebelumnya.
Hana, yang biasanya sedikit berenergi dan percaya diri, tampak agak terkejut dengan ajakan itu. Namun, ia segera mengangguk dengan senyum lembut. “Tentu, Roki.”
Mereka berdua pun berjalan di sepanjang festival, berbicara pelan tentang berbagai hal. Hana sering kali menatap Roki dengan rasa penasaran, seolah ingin mengetahui lebih dalam tentang sosok dingin yang sulit ditebak ini.
“Aku tidak tau kau sengaja atau memang sifat asli mu.” kata Hana tiba-tiba. “Kau selalu menjaga jarak dari orang lain.”
“Aku Sengaja, aku tidak ingin orang lain terganggu dengan kehadiran ku,” jawab Roki sederhana.
Hana menggeleng pelan. “Tapi kau tahu? Terkadang, tidak apa-apa untuk mengizinkan orang lain mendekatimu. Tidak semuanya akan terganggu dengan kehadiran mu.”
Roki tidak menjawab, tapi ada sesuatu dalam ekspresi wajahnya yang menunjukkan bahwa dia mendengar kata-kata Hana, dia juga mulai merenung sejenak.
Seperti sebelumnya, Tommy dan Vendor yang mengawasi dari jauh tidak melihat ada hal yang mencurigakan.
Kemudian giliran Mia. Roki menemui Mia yang sedang melihat-lihat stan kerajinan tangan.
“Mia, apa kau mau jalan-jalan ?” tanya Roki.
Mia tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum bahagia. “Tentu saja, Roki!”
Mereka berjalan dan menonton beberapa drama ringan disekolah . Mia yang biasanya ceria, tampak lebih canggung kali ini, mungkin karena suasana yang berbeda.
Setelah drama selesai, Mereka berdua berjalan bersama tanpa tujuan. Mia, memberanikan tekanan untuk bertanya. “Pertanyaan ini mungkin menganggu mu, tapi aku sangat ingin tau, apa yang paling kamu sukai” Tanya Mia, dia juga langsung mengigit bibir untuk menghilangkan ketegangan.
Roki menghela napas. “Aku lebih suka sendirian.” Meskipun dia menjawab seperti itu, terkadang sendirian juga menyiksanya, jawaban Roki tidak sepenuh benar.
Mia tersenyum kecil. “Yakin menyukai sendirian? Kenapa kau tidak lebih jujur dengan perasaan mu?”
Roki membuka matanya lebar-lebar, dia juga mulai mempertanyakan kepada dirinya. Apakah sendirian adalah hal yang paling dia sukai? Atau ini hanyalah lingkaran nyaman yang ia bentuk?.
Disisi lain, lagi-lagi, tidak ada yang mencurigakan selama mereka berjalan bersama. Tommy dan Vendor yang terus mengawasi dari jauh juga tidak menemukan apa pun yang aneh.
Terakhir, giliran Marlina. Roki menemui Marlina di depan perpustakaan. Mereka berjalan bersama-sama, dan kali ini suasananya agak berbeda. Marlina, yang biasanya lebih tegas dan percaya diri, tampak gugup dan salah tingkah berada di dekat Roki.
Karena dua orang ini tipe orang yang jarang ngobrol, tapi Marlina dengan usaha. “Roki,” panggil Marlina pelan. “Apa yang sedang kau pikirkan setiap harinya?”
Roki menatapnya. “Aku hanya memikirkan hal-hal yang tidak berguna, kalo ku ceritakan mungkin hal-hal yang konyol bagi orang normal” jawab Roki dengan nada naik turun, entah mengapa yang biasanya datar mulai kesini mulai ada Nada.
Marlina tersenyum tipis. “Kau tahu? Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu, meskipun aku tahu kau punya banyak hal di pikiranmu.”
Saat mereka berjalan, Vendor yang mengawasi dari jauh tiba-tiba melihat seseorang yang mencurigakan. Seorang pria berperawakan besar yang tampaknya mengikuti gerak-gerik Roki dan Marlina dengan intens.
“Tommy, lihat,” bisik Vendor sambil memberikan isyarat. “Itu dia.”
Tommy mengangguk, lalu memberi isyarat pada Roki mengunakan leser yang diarahkan kedepan Roki, untuk membawa Marlina ke tempat yang lebih sepi. Roki mengerti isyarat itu karena sudah direncanakan, dengan cepat dan mengajak Marlina menuju sudut aula yang sepi, jauh dari keramaian festival.
Ketika mereka tiba di sana, Roki tersenyum tipis, tapi kali ini senyumnya berbeda. Ada sesuatu yang lebih gelap dan licik di balik senyum itu. Dia tahu, pelakunya sudah mendekat.