Keturunan Terakhir, mengisahkan perjalanan ke lima remaja dalam mengabdi di suatu yayasan yang menyimpan misteri. Tazkia, si gadis dengan kemampuan istimewanya, kali ini ia berjuang melawan takdirnya sendiri, menjadi keturunan terakhir yang akan jadi penentu untuk anak turunnya. Dia harus mendapatkan cinta sejati. Namun, disisi lain ia tak ingin mengorbankan persahabatannya. Lantas bagaimana Kia menyikapi antara cinta dan sahabat?
Kisah ini adalah kisah lanjutan dari novel sebelumnya, berjudul TEROR BAYI BAJANG. Jika kalian bingung bacanya, disarankan baca novel pertamanya dulu ya. Happy reading yeorobun. 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Sembilan
Riuh rendah suara anak-anak yang tengah bersiap untuk sekolah membangunkan Husin dari tidur nyenyaknya. Semalam ia tak tidur sama sekali, baru terlelap setelah subuh tiba. Ia terkejut menyadari Ijan sedang menikmati sarapan tepat di sampingnya.
“Tenang saja, dia belum juga datang sampai sekarang,” ucap Ijan acuh tak acuh. Evan yang baru saja selesai mandi tak sengaja mendengar ucapan Ijan.
“Kamu tungguin Kia semalaman? sampe tidur disini Husin?” Menggelengkan kepala heran, Husin hanya menatapnya sekilas lantas kembali memandang ke arah depan masjid, menanti mobil Rendra yang kemungkinan mengantar Kia dan Shella pulang ke yayasan.
“Dia bahkan mengabaikan kita semalam, apa kamu tak kecewa?”
“Silahkan kecewa sendiri, jangan mengajakku. Kamu tak tahu apa-apa tentang Kia.” Husin melempar selimut dan pergi begitu saja menuju swalayan.
“Husin!” panggil Ijan, “mau kemana anak itu, dia bahkan belum cuci muka.”
Evan terlihat semakin kesal, hatinya berusaha selalu mengerti Kia tapi nyatanya ia memang tak banyak mengerti tentang gadis itu. Sejak mendapat penolakan saat itu, Evan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya saja, perasaan suka kepada Kia tak mudah ia hapus begitu saja.
Kalian pikir kenapa seorang lelaki ingin selalu diingat oleh wanita, tak lain karena lelaki itu menyukai wanita itu. Namun, ketika sang wanita berkata, aku akan mengingatmu sebagai teman terbaikku. Maka artinya lelaki itu telah mendapat penolakan, ia tak akan bisa melangkah lebih jauh dari sekedar teman dalam hidup sang wanita.
“Hah, sarapan Van.” Ijan menawarkan sebungkus nasi pada temannya yang yang tengah marah itu. Tentu saja Evan menolak, dan memilih pergi menuju lapangan bola. Tinggallah Ijan sendiri menatap kedua temannya yang berjalan semakin menjauh.
Husin membutuhkan sesuatu untuk mendinginkan hatinya, perasaan khawatir bercampur cemburu kepada Kia yang terang-terangan pergi menginap dengan lelaki lain membuat hatinya terbakar. “Hah, sabar sabar, dia bukan gadis yang seperti itu, dia pasti menjaga dirinya dengan baik,” gumamnya lirih sebelum membuka pintu swalayan dan mendapati Devina menatapnya heran.
Seperti biasa, wanita itu tersenyum ramah dan menyapanya. “Baru bangun Husin?”
Husin mengusap wajah dengan telapak tangan, ia tak menyangka Devina akan menyadari hal itu. “A-apa begitu terlihat Kak?”
“Tuh kan, kamu itu memang minta ditegur ya, aku biarin juga nggak nyadar-nyadar. Jangan panggil kakak, panggil aja aku Devi. Biar bisa lebih akrab.”
Hanya bisa tersenyum, jujur saja Husin selalu merasa tak nyaman setiap kali Devina memintanya memanggil dengan nama saja.
“Nih, gratis buat cuci muka.” Devi memberinya sebotol air mineral.
“Ah, nggak usah Kak. Aku bisa cuci muka di kamar mandi nanti.”
“Yah, setidaknya terima ajalah buat minum. Pegel tau tanganku,” ucap Devi lagi, melirik tangannya sendiri. Husin terpaksa menerima dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Tak ingin berlama-lama, Husin segera berjalan menuju box ice cream yang terletak di ujung ruang, ia memang datang untuk benda dingin ini. Susana hatinya yang buruk biasanya akan segera reda jika telah mengkonsumsi makanan manis itu. Cara ini didapatkannya dari Kia.
Setelah selesai membayar, ia berjalan keluar ruangan. Duduk pada kursi dimana ia pernah melihat Kia makan ice cream malam itu.
Jalanan lumayan ramai, mobil dan juga motor berusaha saling mendahului satu sama lain. Pikiran tentang Kia lumayan teralihkan sebab pemandangan ini, hingga tiba-tiba saja Devina duduk tepat di sebelahnya dengan ice cream di tangan.
“Wah, ternyata nggak terlalu buruk makan ice cream pagi-pagi begini, iya kan?” ucapnya memalingkan wajah tepat di depan Husin. Hal itu tentu sangat mengejutkan hingga Husin hanya bisa diam terpaku untuk beberapa saat, wajah mereka saling berhadapan, jaraknya pun lumayan dekat.
“Husin!!” Suara Shella mengejutkan keduanya. Devi dan Husin serentak menoleh, keduanya melihat Kia dan Shella menatap ke arah mereka. Dua gadis itu berjalan kaki kembali ke yayasan.
Husin terkejut, dan tak sengaja menjatuhkan ice cream tepat di atas rok panjang Devi. “Aduh, maaf Kak, maaf aku nggak sengaja.”
“Nggak apa-apa Husin. Ya udah aku ke kamar mandi dulu ya, kamu samperin aja dulu Shella, katakan padanya aku akan datang ke yayasan setelah ini.”
Setelah kepergian Devi, Husin tak lagi menemukan Kia dan Shella, keduanya telah kembali ke asrama. Sungguh penyesalan selalu datang terlambat, Husin berteriak frustasi, kesal akan takdir yang seolah mempermainkan dirinya. Bahkan Ijan di seberang jalan melayangkan tatapan simpati padanya.
***
“Kamu lihat sendiri kan Shel? bagaimana bisa kamu bilang Husin menyukaiku? lihat tatapan matanya sangat dalam pada Kak Devi. Dan, kak Devi pun juga sama. Haruskah aku merusak hubungan mereka berdua?” omel Kia berapi-api.
“Kamu cemburu?”
“Hah, buat apa aku cemburu. Memang apa hubungan kami? aku tak punya hak untuk seperti itu.”
Shella memilih diam, ia akan membiarkan temannya berdamai dengan hatinya sendiri. Percuma saja berbicara dengan seseorang yang tengah dikuasai emosi seperti itu, tak ubahnya bagai melempar bola bekel di atas lantai.
“Ya sudah, kamu istirahat saja. Aku mau mandi dulu ya.” Shella meraih pakaian ganti dari dalam lemari pakaian, lantas beranjak meninggalkan Kia sendiri di dalam kamar.
.
Meski mandi adalah sesuatu yang membuat Shella malas setengah mati, tapi tidak untuk saat ini. Sejak penemuan mayat semalam ia belum mandi sama sekali, dan itu membuatnya merasa tak nyaman dan bahkan takut.
Kini ia tersenyum riang menatap wajahnya di atas air kolam yang tenang. Shella sengaja berjalan-jalan sebentar ke kolam untuk melihat ikan-ikan yang berenang di sana. Namun, ia baru sadar kolam itu sepi, tak terlihat satupun ikan di dalamnya.
“Sendirian saja?”
Shella sungguh terkejut, ia tak menyangka Evan datang mendekatinya lebih dulu. Ia tak bisa segera menjawab pertanyaan lelaki itu, terlebih ia merasa malu memperlihatkan wajahnya tanpa make up di depan lelaki yang disukainya itu. Alhasil, Shella berusaha bersembunyi di balik hijabnya.
“I-iya, kamu sendiri Van?”
“Seperti yang kamu lihat,” jawabnya, tersenyum ramah.
“Kamu cari ikan ya? sepertinya kolam ini memang sengaja di bangun begitu saja tanpa tahu apa gunanya. Entahlah, mungkin ustadz Subkhi gabut,” ucapnya terkekeh pelan. “Oh iya, kamu sudah dengar kabar tentang pelaku pembunuhan semalam?”
“Oh, itu… ternyata Almarhum bu Maryati nggak sengaja memergoki perselingkuhan antara Bang Heru dan mbak Inem. Jadi, untuk mencegah beliau melaporkan hal itu pada almarhum pak Warmin, mereka membunuhnya. Jahat banget kan Van?” untuk sejenak Shella melupakan niat awal menutupi wajah polosnya di depan Evan, ia membiarkan hijab terlepas dari tangannya begitu saja sebab terlalu bersemangat saat bercerita.
“Ya, tapi menurutmu kematian Pak Warmin bukan ulah mereka juga kan, Shel?”
“Entahlah, bukankah kalau itu sudah banyak saksi mata yang mengatakan jika Pak Warmin tertabrak kereta api? apa mungkin stress sebab tahu calon istrinya selingkuh ya?” Shella mengakhiri pertanyaannya dengan gerakan secepat kilat menutup wajah.
“Kamu kenapa?”
“Ah, bukan apa-apa Van,” jawabnya malu.
“Kamu cantik kok Shel meski tanpa makeup, ya udah aku kembali ke kamar. Kamu juga, jangan sendirian disini.” Evan melempar sebuah senyuman manis yang membuat hati Shella luluh lantak bagai besi terkena sengatan panas bara api.
🏃🏃🏃🏃🏃