Elia putri Duke Haliden menikah dengan putra selir kaisar yang berstatus Duke, Julius Harbert.
Pernikahan yang tidak didasari cinta tidak akan bertahan selamanya, itulah yang Elia percaya. Julius selalu melihatnya sebagai gangguan di matanya.
Selama tiga tahun pernikahan Elia siang malam memikirkan bagaimana caranya lepas dari rumah Harbert yang tidak pernah menghargainya.
Kematian.
Hanya ada satu ide yang terlintas di benaknya.
"Seperti apa yang kamu inginkan, Duke! Kematianku."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva IM, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Elia Harbert
Mungkin karena efek Violacea, Ines memiliki keberanian sebesar gunung. Setegak batu karang dan sebanyak air di lautan.
"Aku membencimu." Bibir Ines bergetar. Air mata kembali mengalir di matanya yang berwarna ungu.
Tubuhnya terasa semakin panas. Ines yang merasa kehilangan dirinya, mengabaikan kenyataan yang harus dia tutupi. Di dorong oleh sesuatu yang tidak dia ketahui, Ines memuntahkan isi hatinya.
"Aku tahu." Akhirnya Julius sadar dari kebingungannya. Masih menggenggam tangan Ines, Julius mengangguk.
"Kalau sudah tahu kenapa memedulikan aku? Lakukan saja seperti dulu. Anggap aku tidak ada." Ines tak mau kalah.
Julius menggeleng. Kalau sekarang dia tidak bisa.
"Elia. Elia Haliden." Ratap Julius.
"Ines Margareth. Aku Ines." Bantah Ines. Sangkalnya tegas.
Dengan ketidaksetujuannya, Julius kembali menggeleng. Mengingat kembali surat yang dia terima dari Kreos. Pada saat terjadi kecelakaan kereta, ada seorang pembantu yang diminta secara khusus untuk menemani perjalanan tersebut. Kalau tidak salah ingat namanya adalah Aster. Itulah pengakuan dari Nyonya Mary, kepala pelayan Harbert.
Mereka menyembunyikan fakta ini karena takut akan disalahkan. Meninggalnya seorang Duchess Harbert, tentu akan menarik perhatian publik. Meskipun dia tidak pernah dianggap, jika ada sebuah penyelidikan maka para pelayan bisa disalahkan. Mary melakukannya untuk menyelamatkan semua orang.
Saat membacanya hati Julius tertusuk. Ternyata banyak hal yang tidak dia tahu. Sama sekali. Padahal di rumahnya sendiri.
Julius menghela nafas kasar.
"Lalu kenapa Lady Ines membenci saya? Kita bahkan baru saja kenal." Baiklah Julius akan mengikuti arus yang dibuat Ines. Bahkan dia rela tenggelam di dalam arus yang beriak itu.
Julius melempar senyum ke arah Ines. Di bawah sinar bulan yang merembas melalui kaca, tatapannya tak lepas dari Ines. Wanita yang duduk dihadapannya dengan mata keunguan penuh kegilaan. Dia masih memegang erat tangan Ines. Takut jika melepaskannya sesuatu yang buruk akan terjadi.
Tawa menggelitik kembali terdengar. Ines tertawa hingga kepalanya terlempar ke belakang. Merasa ada yang lucu. Dengan kedua tangan yang dipenjara oleh Julius, bahu Ines bergetar. Menertawakan apapun. Dari kehidupannya masa lalu hingga ucapan Julius barusan.
Betul mereka baru saja mengenal. Lucu. Sejujurnya dia ingin mengakui bahwa Julius benar, dia adalah Elia Haliden. Namun ditengah ketidakwarasannya ini, Ines masih menyisakan sedikit kewarasan.
Tapi siapa yang tahu sampai kapan dia bisa bertahan.
"Jika anda membenci saya artinya anda adalah Elia Haliden." Ucap Julius tajam. Melihat Ines yang semakin tak terkendali membuatnya gelisah. Sesekali dia melihat pintu untuk memastikan Owen sudah datang dengan obat penawarnya.
"Aku bukan Elia!" Teriak Ines. Matanya melotot ke arah Julius. Ingin menamparnya atau melakukan yang lain untuk menutup mulutnya.
Dia semakin gila. Tidak terkendali dan dalam bahaya besar.
"Elia Haliden, Duchess Harbert. Istriku. Elia Harbert. Elia." Hati Julius perih saat menyebut namanya. Nama yang tidak pernah dia sangka akan diucapkannya dengan mudah. Dia mengangkat kedua tangan Ines kemudian menciumnya. Mengarahkannya ke dahinya, matanya hingga pipinya. Tangannya terasa hangat di wajahnya yang dingin. Julius akhirnya sadar bahwa hatinya telah condong ke wanita ini. Setelah kepergiannya, hatinya melemah dan tanpa di sadari, wanita ini telah menguasai seluruh jiwanya.
Julius tidak mau lagi kehilangannya. Dia miliknya. Sejak awal. Istrinya. Ikatan yang bahkan tidak akan bisa dewa putuskan jika salah satunya tidak menginginkannya. Meskipun kematian memisahkannya, jika tidak ingin berpisah, mereka tetaplah pasangan suami istri. Julius lega mengetahui fakta ini. Namun jalan yang akan dia tempuh sepertinya akan sulit.
"Elia Harbert?" Ines kembali menertawakan apa yang dikatakan Julius.
Sangat menggelikan. Sejak kapan dia menyandang nama Elia Harbert. Bukankah itu adalah kebohongan. Lucu. Jika orang lain mendengarnya mereka pasti akan tertawa hingga memegangi perutnya. Yang benar saja. Menjadi istri Duke Harbert saja dianggap penghinaan, bagaimana dia bisa berharap menyandang nama belakang suaminya di belakang namanya. Sungguh ilusi yang sia-sia. Keinginan yang tidak masuk akal apa itu.
"Kamu sangat lucu sekali. Harbert? Bahkan tak satupun orang di Harbert yang menganggapku ada. Jangan bersikap yang tidak masuk akal Duke. Kamu sama saja dengan mereka." Ines menumpahkan kemarahannya. Bahkan keberadaannya saja tidak dianggap.
Orang yang dulu tidak pernah bersinggungan alangkah lebih baik tetap seperti itu. Jangan berpura-pura untuk menjadi dekat atau saling mengenal. Menggelikan jika seseorang tiba-tiba berubah.
"Jangan sok!" Ines mencondongkan tubuhnya sambil berteriak. "Lepaskan aku!"
"Tidak akan." Timpal Julius. Tidak mengendur sama sekali. Malah cengkeramannya semakin erat. Matanya bahkan tidak berkedip. Seolah jika dia berkedip satu detik saja Ines akan menghilang.
"Lucu sekali." Ines mengalihkan pandangannya. Tubuhnya semakin lemah karena panas yang terus menggerogoti tubuhnya.
Tubuhnya yang semakin lama itu oleng ke samping. Julius yang sigap segera menangkap tubuh Ines yang terhuyung. Pluk. Jatuh tepat di pelukan Julius. Nafas Ines semakin pendek. Kepalanya berdenyut-denyut menyakitkan. Kehilangan fokus karena kesadaran yang hampir pudar, Ines sekuat tenaga untuk membuka matanya. Berusaha berpegang pada kesadarannya yang tersisa.
"Jaga kesadaran anda Lady Ines, obat penawarnya akan segera datang." Julius menggoyangkan bahu Ines untuk membuatnya tetap terjaga.
Sayangnya tubuh yang semakin lemah tersebut kehilangan kesadaran. Kegelapan merenggut paksa kesadaran Ines. Di tengah teror rasa sakit disekujur tubuhnya, Ines masih berusaha untuk terjaga. Bolak-balik antara sadar dan pingsan, Ines coba menggerakkan tangannya. Meraih apapun yang ada di depannya.
"Sakit." Keluhnya. Sangat sakit. Jantungnya berdetak cepat. Rasanya seperti ditusuk jarum di seluruh tubuh. Ines takut. Dia takut mati.
Kematian. Apakah ini kematian yang sesungguhnya. Dia sering membayangkan kematiannya. Tapi saat itu tiba dia merasa takut. Rasa ingin hidupnya melonjak drastis. Sayangnya tak ada yang bisa dia lakukan, dia putus asa. Tubuhnya sangat lemah untuk bertahan. Menahan lapar saja tidak semenyakitkan ini. Dipukuli atau diabaikan juga tidak semengerikan ini. Ines benar-benar sudah tamat. Saat dia hampir menyerah pada kegelapan, sesuatu menyentuh pipinya. Terasa dingin. Menyenangkan. Rasa lembut yang menyentuh setiap inci wajahnya.
Ada suara samar namun Ines terlena pada rasa sakit. Dia tidak mendengar apapun. Dengan kekuatannya yang tersisa, Ines membuka matanya. Menghembuskan nafas yang panas. Pandangan pertama yang dia lihat adalah Julius. Wajahnya pucat. Keringatnya bercucuran di kening hingga menetes ke pipinya. Ines bingung. Kenapa orang ini begitu mengkhawatirkannya. Bukankah keinginannya adalah kematiannya.
Ines mengangkat tangannya, berusaha menyentuh wajah Julius. Ingin memastikan bahwa orang itu benar Julius Harbert. Namun tangannya yang terangkat segera diraih oleh tangan dingin Julius.
"Diamlah. Tetap jaga kesadaranmu." Titah Julius.
"Kenapa?" Tanya Ines lemah. "Kenapa kamu peduli padaku? Kamu sudah tahu bahwa aku Elia Haliden bukan? Biarkan saja aku mati seperti keinginanmu Duke." Ucap Ines sebelum dia benar-benar kehilangan kesadaran.
"Lady Ines, bukan, Elia, bangun! Elia!" Julius menggoyangkan tubuh lemah itu. Namun tak ada respon. Dia memeluknya dengan air mata yang tidak bisa dia tahan. Dia tidak pernah menangis seumur hidupnya. Tapi kali ini dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis.
Julius takut. Takut kehilangan Elia Haliden untuk kedua kalinya.
Bersambung...