Bayangan indahnya hidup setelah sah menjadi seorang istri, tidak dirasakan oleh Mutia Rahma Ayunda, ternyata ia hanya dijadikan alat untuk mencapai ambisi suaminya , Rangga Dipa .
Setelah menikah, Rangga yang berasal dari keluarga kaya,berusaha mewujudkan semua mimpinya untuk memiliki fasilitas mewah dengan mengandalkan istrinya. Rangga hanya menafkahi Mutia dengan seenaknya, sebagian besar uangnya ia pegang sendiri dan hanya ia gunakan untuk kepentingannya saja, Rangga tidak peduli dengan kebutuhan istrinya. Sampai mereka dikaruniai anakpun, sikap Rangga tidak berubah, apalagi ia masih belum bisa move on dari mantan pacarnya, Rangga jadi lebih mengutamakan mantan pacarnya dari pada istrinya.
Kehidupan Mutia sering kali diwarnai derai air mata. Mampukah Mutia bertahan, dan akankah Rangga berubah?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cicih Sutiasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisi Lain Rangga
Pagi-pagi sekali Mutia sudah bangun, ia terduduk disamping tempat tidur sambil menatap suaminya yang masih terlelap, hatinya kini merasa bahagia, akhirnya semalam ia bisa merasakan indahnya malam pengantin, bahkan sampai dua kali.
"Apakah ini mimpi?", Mutia menggigit bibirnya sedikit.
"Aaww...", gumamnya lirih, ia yakin ini bukan mimpi, karena bibirnya terasa sakit.
"Mas....", Mutia tadinya ingin membangunkan Rangga, namun ia urungkan, Mutia takut suaminya akan marah, jadi Mutia membiarkan saja suaminya tetap tidur. Sementara ia langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Mutia bergegas berganti pakaian, ia ingin membuatkan sarapan untuk suaminya. Apalagi nanti siang mereka harus cek out.
Saat sedang mengoles roti dengan selai, Mutia mendengar Rangga bicara, dikiranya Rangga sudah bangun, tapi ternyata ia hanya mengigau saja.
Rangga terlihat memeluk guling, "Maafkan aku sayang, maafkan aku Sinta...", ucap Rangga saat matanya masih terpejam.
"Hati Mutia seketika menceos, rasa bahagia yang baru saja memenuhi relung hatinya seketika menghilang, ternyata Rangga masih memikirkan Sinta, padahal semalam ia mencumbuinya mesra , hingga membuat Mutia terbuai, terbang tinggi ke atas awan.
Tidak mau mengikuti perasaan hatinya, Mutia tetap mengoleskan selai sampai potongan roti terakhir.
"Mutia duduk sambil menatap kembali ke arah suaminya.
"Kasihan kamu Mas..., kamu ternyata benar-benar mencintai Sinta..., sampai dalam tidurpun kamu masih saja menyebut namanya.
Tak lama Ranggapun bangun, ia membuka matanya dan langsung duduk di atas tempat tidur, ia menyingkap selimut, dan terlihat kaget saat ia mendapati dirinya polos, tanpa sehelai kain pun menempel.
Namun tanpa ragu, Rangga langsung bangkit dan berjalan menuju kamar mandi dengan tubuh polosnya.
Lagi-lagi itu membuat Mutia menunduk, walau semalam ia sudah merasainya, namun tetap saja merasa malu jika melihatnya secara langsung. Walau saat ini sudah halal untuknya.
"Mujarab juga sate tornado itu, aku dibuat panas dingin semalaman, mungkin itu harus dicoba saat aku bersama Sinta", gumam Rangga saat ia sedang membersihkan tubuhnya.
"Mutia..., kamu itu terlihat polos, tapi semalam tampak hebat juga, mampu juga memuaskan aku sampai dua kali", senyum Rangga.
"Boleh juga kamu ternyata Mutia", senyum Rangga lagi.
"Aku akan mencobanya dengan Sinta...", Rangga tersenyum evil.
Ia terlihat mempercepat gerakannya, ia ingin segera bertemu kembali dengan Sinta.
"Sarapan dulu Mas, aku sudah siapkan", tawari Mutia begitu melihat Rangga sudah berpakaian rapi.
"Nanti saja, aku buru-buru", ucap Rangga, ia hanya melirik sekilas ke arah Mutia yang kini hanya memakai daster mini, hingga lekuk tubuhnya terlihat jelas.
Melihat itu saja, teman kecil Rangga sudah kembali berdiri tegak. Rangga tampak bingung, ia buru-buru meninggalkan Mutia, kali ini ia ingin membuktikan kepada Sinta kalau dirinya tidak impoten.
Namun sayang, Rangga tidak mendapati Sinta, dia ternyata langsung cek out dari semalam.
"Sinta..., kenapa kamu pergi tanpa bicara dulu?, apa kamu marah gara-gara semalam?", Rangga tampak kecewa sekali, apalagi kini tubuhnya kian panas, karena teman kecilnya masih berdiri tegak.
Tidak mau terlihat konyol oleh orang-orang, Rangga kini kembali menuju penginapannya.
Mutia terlihat kaget, ia yang sedang membereskan kembali barang-barangnya langsung dipeluk dari belakang oleh Rangga.
"Mas..., kamu sarapan dulu",
"Aku mau sarapan kamu", ucap Rangga, ia langsung menciumi leher Mutia brutal.
"Mas...", teriak Mutia, namun Rangga sudah kembali membopong tubuhnya ke atas tempat tidur, dan kembali mengulang pergumulan panas semalam.
Mutia bisa menduga, semua ini dilakukan Rangga semata untuk melampiaskan hasratnya yang tidak kesampaian terhadap Sinta.
Tidak tahu, bagaimana perasaan Mutia saat ini, tapi yang jelas, selalu saja ada rasa sakit yang terselip diantara semua rasa yang ada.
Mutia hanya mendapatkan tubuh suaminya saja, namun tidak hatinya. Sehingga Mutia selalu merasa ada yang kurang, ia hanya sesaat merasakan nikmatnya penyatuan tubuh mereka, selebihnya selalu saja diakhiri dengan rasa perih dan sakit di bagian intimnya.
Namun lagi-lagi, Mutia hanya bisa diam, dia tidak berani protes ataupun bicara kepada Rangga.
"Kita siap-siap cek out siang ini, kamu bereskan semua barang-barang, aku cape", ucap Rangga, ia kembali menuju kamar mandi masih dengan tubuh polosnya untuk membersihkan diri.
Lagi-lagi Mutia hanya bisa menurut, ia memunguti satu per satu pakaiannya yang tadi dilucuti Rangga.
Setelah Rangga selesai, kini giliran Mutia yang membersihkan diri.
"Mutia..., buatkan aku kopi dulu!", teriak Rangga yang kini sudah berada di balkon sambil ngotak-ngatik ponselnya.
Mutia yang baru saja selesai berganti baju, langsung menyiapkan pesanan suaminya, fan segera mengantarkannya kehadapan Rangga.
"Cepat bereskan !, kita cek out dua jam lagi", ucap Rangga setelah menyeruput kopi yang dibawa Mutia.
"Baik Mas...", Mutia mengangguk, dan cepat-cepat kembali menuju ruangan kamarnya.
Bukannya membantu, Rangga hanya duduk di balkon sambil menikmati kopi dan senyum-senyum sendiri saat menatap layar ponselnya.
Entah apa yang sedang ia tonton, namun yang jelas, kini Mutia harus beres-beres sendiri dengan sisa tenaganya.
Keringat sudah mulai kembali membasahi wajahnya, walau udaranya cukup dingin, namun tetap saja terasa panas dan berkeringat saat tubuh dipakai beraktifitas.
Tepat setengah jam sebelum waktu cek out, Mutia tampak sudah selesai. Semua barang miliknya dan milik Rangga sudah kembali ke dalam tas.
Mutia duduk lemas di ujung kasur, ia mengusap keringat yang hampir jatuh dari dahinya dengan ujung lengannya.
Tenggorokannya terasa kering, untung masih ada satu gelas minuman mineral di atas meja, Mutia menyambarnya dan langsung meminumnya hingga habis.
"Mutia..., apa sudah selesai?", Rangga tampak menghampiri istrinya. Matanya memindai ke seluruh ruangan yang tampak sudah kembali rapi.
"Ayo angkat semua barang ke bagasi!", ucapnya lagi, tangannya menyambar tas miliknya, sedangkan tas milik Mutia, ia biarkan Mutia sendiri yang membawanya.
Sama, dengan tanpa banyak bicara , Mutia mengikuti langkah cepat Rangga sambil menarik tas miliknya menuju mobil .
"Pakai sabuk pengamannya, aku tidak menjamin tidak ngebut, kita harus sampai di rumah sebelum malam", ucap Bagas lagi dengan tatapan tajam ke depan.
"Baik Mas..., hati-hati !", ucap Mutia lirih.
Setelah memarkir mobilnya, Rangga langsung tancap gas menerobos jalanan yang masih lengang. Bukan kali ini saja Rangga begini, Mutia selalu dibuat sport jantung tiap kali berkendara bersama Rangga.
"Mas...", teriak Mutia, saat didepannya tiba-tiba muncul sebuah sepeda motor dari arah kanan .
"Tiiiddd....", Rangga memijit klakson dan menginjak rem mendadak.
"Dasar..., tengok kiri kanan dulu kenapa?, main belok saja", gerutu Rangga setelah mobil berhenti di bahu jalan, sementara Mutia, ia mengusap kepalanya yang kepentok pintu.
"Pelan-pelan saja Mas..., kita tidak terburu waktu kan?, baru besok Mas masuk kerja kan?, jadi..., tidak usaj terburu-buru, yang penting selamat", ucap Mutia hati-hati.
Rangga hanya melirik sekilas ke arah Mutia, setelah itu ia tancap gas lagi, Rangga terlihat mengejar si pengendara motor tadi, tentu saja hal itu makin membuat Mutia berdebar ketakutan, ia takut Rangga terbawa emosi.
Klakson pun tak henti-hentinya Rangga bunyikan untuk bisa menghentikan sepeda motor didepannya.
Dan si pengendara motor itu berhenti, di susul dengan mobil Rangga yang berhenti tepat disamping sepeda motor itu. Hati Mutia sudah dag dig dug, ia takut terjadi keributan.