NovelToon NovelToon
Naik Status: From Single To Double: Menikah

Naik Status: From Single To Double: Menikah

Status: tamat
Genre:Tamat / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / suami ideal
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Ai

Embun, seorang wanita berumur di akhir 30 tahun yang merasa bosan dengan rutinitasnya setiap hari, mendapat sebuah tawaran 'menikah kontrak' dari seorang pria di aplikasi jodoh online. Akankah Embun menerima tawaran itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29

Warna putih yang sama menyambutku, sangat luas dan menenangkan dan hangat. Tubuhku terasa ringan. Aku terus memandangi warna putih di depanku sambil tersenyum.

Lalu, aku mendengar suara. Suara seseorang. Apakah itu suara Tuhan?

“Nyonya, Anda sudah bangun?” aku mendengar suara seorang wanita yang sangat lembut. Aku membalasnya dengan mengangguk.

“Nyonya, bisakah Anda melihat saya?” tanya suara itu lagi.

Aku tidak melihat apapun selain warna putih yang luas. Apakah dia peri berukuran sangat kecil yang harus dilihat lewat mikroskop? Tapi, di surga tidak ada peri. Ataukah makhluk surga? Apakah makhluk surga menggunakan sapaan hormat daripada menyapa dengan nama? Ataukah di surga semua orang tidak memiliki nama? Lalu bagaimana kami bisa saling mengenali satu sama lain? Pikiranku terus berputar.

“Nyonya, bisakah Anda melihat saya?” suara itu lagi. Dan tiba-tiba cahaya kuning menyinari kedua mataku. Spontan tanganku menutupi mataku.

Setelah cahaya itu menghilang, aku melihat warna-warna selain warna putih di sela-sela jariku. Warna cokelat, itu... rambut? Lalu, warna merah, itu apa?

Aku menurunkan tanganku dan melihat sosok-sosok berdiri di depanku memandang lurus ke arahku. Mataku bertemu dengan mata mereka saat aku memandangi mereka satu per satu.

“Anda bisa melihat saya sekarang, Nyonya?” suara yang tadi, ternyata berasal dari seorang wanita berpakaian putih. Bukan malaikat. Dia tidak memiliki sayap. Bukankah malaikat memiliki sayap berwarna putih?

Di samping wanita itu ada seorang pria yang mengenakan kemeja merah di balik jubah putihnya menatapku tersenyum. Dan di ujung bawah, di kakiku, seorang wanita berpakaian putih menatapku juga.

Mereka bukan malaikat. Dan aku tidak berada di surga.

“Anda bisa mendengar suara saya, Nyonya?” tanya wanita di sampingku.

Anggukan lemah balasanku.

“Syukurlah.”

Wanita itu terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang aku jawab dengan anggukan. Setelah itu si dokter mendekatiku dan memeriksaku seperti seorang yang baru bangun dari kematian.

“Normal.” katanya kepada kedua perawat.

Dokter itu berbicara panjang lebar kepadaku, tapi aku tidak bisa mencerna apapun yang dikatakannya, aku cape, jadi aku menutup mataku.

Lapar. Itulah yang membuatku terbangun. Tidak ada siapapun. Aku berusaha duduk, tapi badanku terasa lemah dan alat-alat yang menempel di tubuhku membuat pergerakanku semakin sulit. Bagaimana aku bisa memanggil seseorang kemari?  Oh, ya, tombol di jariku. Aku memencetnya dan tidak sampai semenit perawat yang sebelumnya aku kira malaikat itu masuk.

“Selamat pagi, Nyonya. Anda sudah bangun. Bagaimana keadaan Anda hari ini?” tanyanya ramah sambil memeriksa peralatan di sekitarku.

“Baik.”

“Anda ingin minum?”

“Lapar.”

Perawat itu tersenyum dan mengambilkanku segelas air dari meja di seberang kiriku.

“Minumlah air ini dulu.” katanya sambil mengangkat ranjangku. Aku setengah duduk sekarang. “Aku akan mengambilkan Anda makanan setelah ini.”

Aku menyesap air di gelas kaca itu, terasa segar sekali. Ingin sekali aku meminum sebanyak mungkin. Rasa laparku sedikit terobati. Tapi perutku kemudian berbunyi nyaring.

Perawat itu tidak tertawa mendengar suara perutku.

“Saya akan segera kembali.”

Sepuluh menit kemudian dia kembali dengan sepinggan makanan di tangannya, berisi bubur. Kenapa harus bubur. Aku ingin makan sesuatu yang lezat.

Sepertinya dia mengerti tatapanku, dengan lembut dia berkata, “Ini hidangan pembuka yang lezat. Untuk sekarang hidangan pembuka ini yang akan jadi santapan Anda. Nanti Anda bisa menyantap hidangan utama yang lebih menggugah selera.”

Aku tersenyum kecil mendengar ucapannya. Dia pasti seorang Ibu yang penyayang.

Tidak disangka aku makan dengan lahap disuapi si perawat. Rasanya seperti seorang anak 2 tahun disuapi ibunya.

Setelah kenyang, rasa kantuk kembali menghampiriku. Aku pun tertidur.

Aku bermimpi sedang bertamasya ke sebuah lembah berumput hijau yang luas dengan pemandangan pohon pohon di kejauhan. Aku duduk menyantap entah apa makanan yang aku bawa sambil memandang pemandangan di depanku dan menghirup aroma alam yang segar.

Lalu, tanganku terasa basah. Hujan? Aku menatap tanganku yang basah dan terkejut bukan main. Merah. Itu darah.

Jantungku berdegup kencang. Aku memalingkan mata dari tanganku yang berdarah, memandang ke atas.

Di mana aku? Gelap. Tidak terlihat apapun.

Rasa takut memenuhiku. Perlahan terdengar bunyi pintu terbuka. Aku mencari asal suara itu.

Di sana. Di seberang meja dan kursi kayu.

Seseorang berjalan menghampiriku. Kakinya diseret. Sreet... sreet....

Seseorang dengan topeng hitam. Siapa itu? Apa yang di tangannya? Apa yang dipegangnya? Tangannya terangkat.

“Tidaaaakkk...” aku menjerit sekeras-kerasnya.

Sesuatu mengenai pipiku. Tidak! Orang itu memukulkan sesuatu yang dipegangnya ke pipiku. Sakit... itulah yang kuharap akan aku rasakan, tapi bukan, rasanya... hangat.

Perlahan aku membuka mata. Tampak di depanku perawat yang sebelumnya, dengan wajah kuatir menempelkan tangan kanannya di pipiku. “Anda bermimpi buruk, Nyonya?”

Mimpi? Itu hanya mimpi?Tapi, terasa sangat nyata.

Nyata. Itu semua nyata. Rasa takut menjalariku. Mataku mencari-cari ke seluruh ruangan, mencari sosok yang tadi. Di mana dia?

“Anda aman di sini, Nyonya.” suara perawat itu menyadarkanku. Aku berhenti mencari dan menatapnya. Aku merasakan keringat mengucur dari dahiku, napasku memburu.

Perawat itu pergi meninggalkanku menuju meja, mengambil segelas air dan kembali ke sampingku, mengangkat ranjangku hingga aku setengah duduk dan memberikan aku minum. Aku minum seteguk.

Rangkaian peristiwa buruk berkelebatan di kepalaku, hanya saja tidak berurutan. Suara langkah kaki menaiki tangga, tatapan mata yang menusuk, sosok yang berdiri di atas ranjangku, ruang kecil gelap tak berjendela, sosok bertopeng, tangan terikat yang berlumuran darah, air membasahi seluruh tubuhku, haus.

Bajuku terasa basah dan semakin basah. Semua hal buruk itu bergantian datang di pikiranku seolah aku sedang menontonnya di depanku sekarang, bahkan darah yang mengalir di pergelangan tanganku terasa nyata.

Aku mengangkat tangan kiriku dan melihat memar di pergelangan tangan. Giliran tangan kanan kuangkat. Tampak ada bekas luka di sana, merah. Aku terus memandangi luka itu.

“Lukanya sudah membaik.” Perawat itu tersenyum kepadaku. “Anda harus makan sesuatu sekarang, mempercepat pemulihan.”

Aku menatapnya berjalan menuju meja yang tadi, mengambil pinggan makanan dan kembali.

Bubur. Masih bubur. Aku makan perlahan bubur lezat itu. Rasa lapar menyergapku, aku ingin lebih banyak lagi.

“Pelan-pelan. Anda bisa makan lagi nanti.”

Perawat itu pergi setelah aku selesai makan. Pikiran-pikiran buruk itu kembali menyergapku. Kali ini lebih intens. Semua yang telah terjadi terus berputar di kepalaku. Aku tidak tahu lagi yang mana terlebih dahulu, semua hanya terus berputar.

Tiba-tiba pintu terbuka. Aku menahan napas. Tiga orang masuk berurutan. Aku memandang mereka bergantian. Siapa mereka?

Mereka berdiri di sekeliling ranjang dan menatapku

“Selamat siang, Nyonya. Saya dokter Herz.” Pria yang memakai jas putih dengan kemeja kotak-kotak yang berada paling dekat ke kepalaku memperkenalkan dirinya sambil menatap mataku lurus.

Aku memandangnya, dahiku berkerut.

“Siapa nama Anda, Nyonya?”

Nama? Namaku? Siapa namaku? Aku memalingkan wajahku dari dokter itu, memandang langit-langit. Putih. Seperti di sorga.

“Nyonya, bisakah Anda menyebutkan nama Anda?” suara itu membuyarkan lamunanku.

“Na..ma..” siapa namaku?

Dokter itu memandangiku terus. Aku merasa risih dan memalingkan pandanganku ke kakiku. Tertutup selimut putih. Di ujung kakiku ada yang berdiri memakai celana hitam. Aku mengangkat wajahku memandang pemilik celana hitam itu yang juga memakai jas hitam.

Tampan. Aku menarik bibirku, tersenyum kepada pria itu.

Tatapannya tetap sama. Apakah itu patung? Kenapa dia tidak bergerak sama sekali? Kedua tangannya masih di dalam kantong celana hitamnya.

Kembali aku memandang wajahnya dan mendapati ekspresi yang sama seperti tadi. Benarkah itu patung? Kenapa mereka membawa patung? Aku memalingkan wajahku ke pria di sampingnya. Aku ingin bertanya, mulutku membuka, tapi tidak mengeluarkan suara.

Kembali kutatap dokter di sampingku.

“Nyonya, siapa nama Anda?”

“A..ku?” Suaraku, kenapa nadanya jelek sekali. Tapi, siapa namaku? “Aku...”

Aku ingat kalau tidak ada yang pernah memberitahu kepadaku arti namaku, tapi semua orang bisa menduga artinya, karena namaku begitu apa adanya. Sering terlihat di pagi hari, apalagi setelah hujan.

“Embun.” jawabku cerah. Dokter itu tetap dengan ekspresi yang sama. Aku tidak suka memandangnya. Aku beralih ke si tampan di depanku.

Masih sama. Tangannya masih di dalam kantong celana dan wajahnya datar. Haruskah aku tersenyum sekali lagi?

“Embun siapa?” suara itu menyelaku.

Embun siapa? Siapa Embun? Kenapa dia bertanya aku siapa?

Aku menatap dokter itu bingung.

“Nama panjang Anda?”

Nama panjang? Namaku dibuat panjang?

“Eeeeembun.” jawabku.

Ada suara tergelak. Aku mencari asal suara itu. Pria di samping dokter. Apakah aku lucu?

“Cukup.”

Suara siapa itu? Keren sekali. Dalam dan berwibawa.

Si tampan. Itu suaranya. Tapi, kenapa dia beranjak pergi?

“Anda bisa istirahat, Nyonya.”

Kini semua orang meninggalkanku sendirian. Kenapa mereka pergi? Aku masih ingin menatap si tampan.

Perawat masuk sambil membawa baki. Dia mendekatiku setelah meletakkan baki di atas meja. Tangannya memegang sebuah gelas dan di tangan kirinya obat.

“Minum obat dulu.”

Dia memasukkan obat ke dalam mulutku dan memberiku minum.

Aku ingin bertanya kepadanya tentang pria yang tadi, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku.

1
Pena dua jempol
satu mawar + subscribe + follow... follback aku ya kak... main2 ke karya aku 🌹 🫰🏿😊
Pena dua jempol
mimpiku juga /Sob/
Arvilia_Agustin
sampe disini dulu thor
Arvilia_Agustin
Aku tertarik dengan kursus bahasa Jerman, ingin ikut kursus juga Thor, aku dah mampir lagi ni thor
Bilqies
emnagta terus Thor menulisnya 💪
Bilqies
aku mampir lagi Thor
Bilqies
aku mampir lagi nih Thor
Arvilia_Agustin
Sampe disini Thor, nanti di lanjut lagi
Bilqies
aku mampir nih thor
Bilqies
semangat terus Thor menulisnya...
Ai: Siaaaaap /Good/
total 1 replies
Bilqies
aku mampir Thor
Ai: Makasih 😊
total 1 replies
Arvilia_Agustin
Sampai disini dulu ya ka, 😊
Ai: Makasih sudah mampir /Heart/
total 1 replies
Arvilia_Agustin
Mahal-mahal sekali harga jacket nya
Ai: Bikin keringat dingin baca label harganya
total 1 replies
Alletaa
mampir lagi Thor
Ai: Makasih
total 1 replies
xoxo_lloovvee
satu mawar untukmu thor, jangan lupa mampir ya 😉
Ai: Makasih, ya
total 1 replies
xoxo_lloovvee
Apa ini akuu? 😭😭
Ai: Semangat /Smile/
total 1 replies
Bilqies
aku mampir lagi Thor /Smile/
mampir juga ya di karyaku
Ai: Makasih /Smile/
total 1 replies
marrydianaa26
semangat thor,nanti mampir lagi
Ai: Makasih /Smile/
Semangat juga
total 1 replies
Zeils
Bagus, pemilihan kata dan alurnya cukup baik dan mudah dipahami.
Hanya saja, perbedaan jumlah kata di bab satu dan dua membuatku sedikit tidak nyaman saat membacanya. Perbedaannya terlalu signifikan.
Ai: Makasih udah berkunjung.
Novel pertamaku mmg banyak kekurangannya, makasih udah diingatkan lagi.
Bisa mampir di novel keduaku, bisa dibilang lbh stabil dr yg ini. Mohon sarannya jg 🙏🏻
total 1 replies
Arvilia_Agustin
Aku kasih bunga ni thor
Arvilia_Agustin: sama-sama
Ai: Makasih /Heart/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!