Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Supir Pribadi
Setelah Bayu Pergi
Pintu tertutup. Hening.
Shailendra tetap berdiri di tempatnya. Rahangnya mengeras, tapi matanya kosong. Seperti seorang jenderal yang tiba-tiba kehilangan medan perang, kehilangan arah.
Perlahan ia menjatuhkan diri ke kursinya. Bahunya turun. Napasnya berat. Dadanya sesak.
Bayu tidak tahu…
Tidak tahu bahwa kematian ibunya—wanita satu-satunya yang benar-benar Shailendra cintai—adalah luka yang belum pernah sembuh. Bahwa Shailendra tidak pernah membenci Bayu... hanya tak kuasa menghadapi kenyataan bahwa anak kecil itu dulu diselamatkan dengan nyawa wanita yang ia cintai.
Penculik menyandera Bayu, menuntut uang, dan saat Shailendra datang, wanita itu malah nekat mencoba menyelamatkan anak mereka. Ia ditikam, meninggal di pelukan Shailendra. Dan sejak itu... setiap kali melihat Bayu kecil, Shailendra hanya melihat kematian.
Bukan karena Bayu salah, tapi karena Shailendra tak pernah bisa mengampuni dirinya sendiri.
Ia mengusap wajahnya kasar.
Wanita itu... cinta pertamanya, satu-satunya. Bahkan saat ia menikah lagi, ia tak pernah benar-benar membuka hati. Istri keduanya pun tahu itu. Dan saat pengkhianatan datang—ia justru lega. Karena akhirnya ia punya alasan untuk berhenti mencoba mencintai orang lain.
Kini Bayu—anak dari cinta sejatinya—berdiri menantangnya. Bukan lagi anak kecil. Tapi pria dewasa yang menatapnya tanpa takut.
Dan ironisnya? Perkataan Bayu tadi menusuknya tepat di dada. Anak itu benar. Shailendra membentuknya menjadi monster. Tapi monster itu... justru membawa wajah wanita yang dulu ia cintai: berani, keras kepala, dan tulus mencintai.
Shailendra menyandarkan tubuhnya ke kursi. Matanya perlahan memanas.
“Fira... apa yang harus aku lakukan pada anak kita...?”
---
Halaman Depan Rumah Keluarga Shailendra – Malam Hari
Suara tumit Ellen bergema di lantai marmer depan rumah. Malam itu ia tampak menawan seperti biasa, mengenakan gaun satin abu-abu kebiruan dan mantel tipis di bahunya. Tapi langkahnya terhenti saat suara rendah menyapanya dari balik pilar besar.
“Ellen?”
Ia menoleh. Shailendra berdiri di sana dengan sweater abu dan celana kain santai, baru keluar dari ruang kerjanya. Matanya yang sudah keriput memandangi menantunya dengan sorot tenang, tapi tak bisa menyembunyikan keheranan.
“Kau mau ke mana malam begini?”
Ellen tersenyum kecil, seperti wanita yang lelah berpura-pura kuat.
“Mencari udara, Pa…” Ia menatap lantai sesaat, lalu menoleh dengan senyum yang tampak rapuh. “Atau hiburan, entahlah. Dua puluh tahun menikah dengan Bayu... tapi sampai hari ini, bahkan untuk mencoba menerima aku saja dia tak pernah mau.”
Wajah Shailendra sedikit mengendur, tetapi ia tetap diam.
“Masih perempuan itu yang ada di hatinya. Laras.” Suaranya meluruh. “Aku tahu. Aku selalu tahu.”
“Ellen…”
“Aku bukan minta dikasihani, Pa.” Ellen tertawa pendek, lalu menatap Shailendra dengan mata berkaca. “Tapi kadang aku bertanya, untuk apa aku bertahan sejauh ini? Aku ini istri sahnya. Aku sudah jadi bagian dari keluarga ini. Tapi dia tak pernah benar-benar menoleh padaku.”
Shailendra menghela napas. “Kau sudah banyak berkorban untuk keluarga ini. Aku tak pernah lupakan itu.”
Ellen menunduk. “Tapi Bayu melupakan semuanya. Ia ingin mencerahkan aku.”
Kejutan itu tak disembunyikan Shailendra. “Dia bicara soal itu?”
“Bukan hari ini. Tapi aku tahu arahnya ke sana.”
Shailendra menatapnya lama. Ellen tampak rapuh, tapi bukan jenis rapuh yang membuatnya ingin memeluk atau menghibur. Justru, Shailendra merasa seperti sedang menghadapi seseorang yang pandai memainkan catur dalam diam.
“Lalu apa kau ingin menyerah?”
Ellen tersenyum tipis. “Aku tidak kalah semudah itu, Pa.”
Mobil hitam berhenti tak jauh dari mereka. Seorang sopir wanita muda keluar dan membuka pintu untuk Ellen. Shailendra menoleh padanya—wajah cantik, gerakan halus, terlalu anggun untuk sekadar sopir.
“Dia masih bekerja untukmu?”
Ellen melirik sekilas. “Lia? Sudah sepuluh tahun. Orang kepercayaanku.”
Shailendra mengangguk pelan, tapi tak berkata apa-apa.
Ia hanya memerhatikan ketika Ellen masuk ke dalam mobil dengan kepala terangkat dan senyum kecil di wajahnya. Namun ada sesuatu yang mengganjal.
Seseorang yang begitu cerdas dan manipulatif seperti Ellen… tidak pernah keluar hanya untuk 'mencari udara.' Dan wanita itu... Lia...
Shailendra berdiri di depan rumahnya, memandangi mobil yang menghilang di tikungan. Angin malam berembus dingin, tapi bukan itu yang membuatnya merinding.
"Mungkin aku memang berhutang nyawa padanya… tapi entah sejak kapan aku merasa, Ellen bukan lagi orang yang sama seperti dulu."
Di Dalam Mobil Ellen
Aroma parfum mahal Ellen menyebar dalam kabin. Sunyi. Tak ada obrolan sejenak. Hanya suara jalan dan desiran AC.
Ellen melepas mantelnya dan menyandarkan kepala ke jok, matanya tertutup separuh. Tapi ia bukan lelah. Ia sedang menghitung langkah.
“Dia mulai curiga,” gumam Ellen tiba-tiba, suaranya rendah.
Lia menoleh singkat, lalu kembali fokus ke jalan. “Siapa?”
“Papa Bayu. Shailendra.” Ellen membuka mata. “Tadi dia memandangi kamu seperti sedang mencoba mengingat wajahmu.”
Lia tersenyum samar. “Wajar. Tidak banyak supir yang ber-manicure dan luluran setiap minggu.”
Ellen terkekeh kecil. “Mungkin aku terlalu memanjakanmu.”
“Tapi Nyonya senang memanjakan, bukan?”
Kalimat itu menggantung, menggoda, tapi bukan canda biasa. Ellen menoleh, memandangi wanita di balik setir itu. Wajah muda. Rapi. Tenang. Dan sangat tahu di mana ia berdiri dalam hidup Ellen.
Ellen mendekat, mengelus lengan Lia.
“Kalau aku jatuh, kamu akan tetap tinggal, 'kan?” bisiknya, nyaris seperti anak kecil yang takut ditinggal.
Lia tak menjawab. Tapi sorot matanya di cermin cukup. Ia terikat—oleh sesuatu yang lebih pelik dari cinta.
“Kemana kita malam ini?” tanya Lia akhirnya.
“Ke tempat biasa. Tapi sebelum itu…” Ellen membuka tas bahunya, mengeluarkan map kecil dan menyerahkannya ke Lia. “Lanjutkan pencarian. Aku ingin tahu di mana perempuan itu. Cari sampai ketemu.”
Lia menatap map itu sebentar. “Masih Laras?”
Ellen mengangguk. “Dan pastikan... dia tidak muncul lagi dalam hidup Bayu. Tidak untuk kedua kalinya.”
Mobil melaju ke dalam malam, tapi di dalamnya, dua wanita itu tahu—bukan cinta yang mereka bawa, melainkan senjata.
Suasana dalam mobil hening.
Deru lembut AC dan alunan musik klasik dari speaker depan mengisi ruang. Ellen duduk di kursi belakang, menyilangkan kaki dengan anggun. Gaun satin abu-abu kebiruan dan mantel tipis di bahunya membingkai lekuk tubuhnya yang masih menawan di usia kepala empat. Sorot matanya menatap lurus ke depan, tapi melalui pantulan kaca spion, ia memerhatikan Lia—supir pribadinya.
“Berapa lama lagi sampai ke tempat itu?” tanya Ellen dengan suara rendah, nyaris malas.
Lia—dengan rambut pendek dan seragam formal berwarna abu—sekilas melirik ke kaca spion. “Sekitar dua puluh menit, Nyonya.”
“Jangan ‘Nyonya’ kalau kita cuma berdua,” bisik Ellen sambil menyentuh bibirnya dengan ujung jari. “Aku sedang ingin merasa muda malam ini.”
Lia tidak menjawab. Tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. Ellen memerhatikannya, lama. Tatapan wanita itu turun, menelusuri lekuk leher Lia yang jenjang, lalu bergerak turun... menyelidik.
"Aku tidak suka wanita terlalu pendiam. Apalagi yang terlalu patuh. Membosankan." Ellen bersandar, menyilangkan tangan. "Tapi kamu beda. Kamu... membuatku ingin menampar dan menciummu di saat yang sama."
Tangan Ellen bergerak pelan, menelusuri pahanya sendiri di balik gaun. Ia tahu Lia sedang mengintip lewat spion. Ia ingin itu.
“Kamu tahu 'kan, kalau aku bisa saja membakar rumah itu... rumah tempat suamiku tidur dengan bayangan masa lalunya. Bayu... dengan luka di punggung dan gigitan samar di pundaknya. Di Berlin.”
Lia mencengkeram setir sedikit lebih kuat.
“Kamu pernah menggigit orang lain, Lia?” Ellen menyeringai. “Yang sampai meninggalkan jejak di kulit, tapi bukan untuk menyakitinya... hanya untuk memastikan mereka mengingatmu?”
Sunyi.
Ellen tertawa kecil. Tertawa yang lebih dingin daripada udara dalam mobil.
“Aku ingin bersenang-senang malam ini. Aku ingin... melupakan bahwa ada wanita dari masa lalu yang masih tinggal di mata suamiku. Dan kamu, Lia...” Ia mencondongkan tubuh ke depan, berbisik. “Kamu selalu tahu cara mengalihkan pikiranku.”
Wajah Lia menegang. Tapi bukan ketakutan. Sesuatu yang lain. Sesuatu yang nyaris... menahan diri.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa