Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Baru, Hati yang Mulai Terbuka
Setelah semalam menginap di rumah sakit, pagi itu Aira diperbolehkan pulang.
Tubuhnya masih sedikit lemas, namun senyumnya perlahan mulai kembali.
Abraham menjemputnya dengan membawa jaket hangat dan bubur ayam dari kedai favoritnya.
“Kalau kamu belum kuat jalan jauh, aku gendong aja,” ucap Abraham sambil bercanda saat mereka sampai di depan mobil.
Aira tertawa pelan. “Terima kasih, tapi saya masih bisa jalan sendiri, Pak.”
Di dalam mobil, suasana terasa berbeda. Tak ada lagi jarak atau kecanggungan seperti dulu.
Mereka berbicara lebih santai, bahkan sesekali diselingi gurauan kecil.
Sesampainya di apartemen, Abraham membantu membukakan pintu dan membawakan tas kecil Aira.
“Kamu istirahat total hari ini. Kafe kita tunda dulu. Kalau ada apa-apa, kabari aku,” kata Abraham sambil meletakkan bubur di meja makan.
Aira tersenyum, kali ini lebih tulus dan lembut. “Pak Abraham… terima kasih ya. Sudah bantu saya, bahkan sampai nginap di rumah sakit.”
Abraham menatapnya dalam. “Aira, kamu bukan cuma bagian dari proyekku. Kamu… sekarang bagian dari hariku.”
Aira tertegun. Kalimat itu menampar lembut hatinya, menggugah sisi yang sudah lama ia tutupi sejak luka masa lalunya bersama Delon.
Abraham menyadari ekspresi Aira berubah. “Kalau aku terlalu cepat bicara, maaf. Aku nggak maksud bikin kamu gak nyaman.”
Aira menggeleng perlahan. “Nggak, saya cuma... belum terbiasa ada orang yang tulus seperti bapak.”
Mereka terdiam sejenak. Lalu Abraham tersenyum dan melangkah mundur.
“Aku pergi dulu ya. Kamu tidur lagi, jangan banyak mikir. besok pagi aku bawain camilan.”
Begitu pintu tertutup, Aira menatap ke arah tempat Abraham berdiri barusan.
Ada yang bergetar di dadanya. Bukan karena sakit—melainkan karena rasa yang mulai tumbuh perlahan.
Menjelang sore, pintu apartemen Aira diketuk dengan nada cepat dan penuh semangat.
Tak perlu menebak, Aira sudah tahu siapa yang datang.
Begitu pintu dibuka, Dinda langsung menyerbu masuk dengan wajah cemberut dan kedua tangannya menyilang di dada.
“AIRA!”
Aira terkesiap, mundur setapak. “Astaga, Din. Kenapa teriak-teriak?”
“Kenapa kamu nggak bilang apa-apa waktu kamu sakit? Untung Pak Abraham cerita ke aku! Kalau nggak, aku nggak bakal tahu kamu sampai masuk rumah sakit!”
Aira menunduk, mencoba menjelaskan. “Cuma sakit bulanan, Din. Biasanya juga begini kok…”
“Cuma?” Dinda memelototkan mata, lalu mengulang kata itu dengan nada tinggi, “Hanya? Hanya?”
Aira meringis. “Yaaa… emang sakit, tapi—”
“Sini! Aku gelitikin kamu sampai nyerah!” Dinda langsung menjulur tangan dan mencubit perut Aira pelan, pura-pura marah sambil tertawa.
Aira ikut tertawa, berusaha menghindar dari tangan jahil sahabatnya itu. Tawa mereka pecah di ruang tamu kecil itu, mengusir sisa-sisa ketegangan yang sejak tadi masih tersisa di tubuh Aira.
Setelah beberapa menit, Dinda akhirnya duduk dan menarik napas dalam.
“Lain kali jangan pendam sendiri, oke? Aku sahabat kamu, bukan cuma buat ketawa-ketawa. Aku juga mau ada buat kamu pas kamu lemah.”
Aira mengangguk pelan, matanya sedikit berkaca-kaca.
“Terima kasih, Din…”
Mereka saling menatap sejenak, lalu tersenyum.
“Eh, ngomong-ngomong,” Dinda menyenggol lengan Aira, “Pak Abraham itu… perhatian banget, ya?”
Aira hanya menunduk sambil tersenyum kecil, pipinya sedikit memerah.
Aira duduk di sofa, matanya menatap kosong ke luar jendela apartemennya.
Dinda yang duduk di sebelahnya bisa merasakan perubahan kecil pada sahabatnya, meskipun Aira mencoba menyembunyikannya.
“Ngomong-ngomong, Aira…” Dinda memecah keheningan, suaranya lebih lembut dari biasanya.
“Aku lihat, kamu mulai nyaman sama Pak Abraham.”
Aira tersenyum tipis, tetapi ada kecemasan yang jelas terlihat di matanya.
“Pak Abraham memang baik, Din. Dia nggak cuma peduli soal pekerjaan, tapi juga soal aku. Aku nggak pernah merasa dipedulikan seperti ini sebelumnya.”
Dinda mengangguk, tetapi kali ini wajahnya serius. “Kamu tahu, Aira, nggak ada salahnya membuka hati untuk orang baru. Terutama kalau orang itu nggak hanya peduli sama kamu di luar pekerjaan, tapi juga di dalam. Aku lihat dia tulus, dia perhatian.”
Aira menarik napas dalam, matanya menatap lantai. “Aku tahu, Din. Tapi… aku masih takut. Aku masih takut untuk membuka hatiku lagi setelah apa yang terjadi sama Delon.”
Dinda menghela napas panjang, matanya melunak. “Aku ngerti, Aira. Aku tahu kamu masih terluka. Tapi hidup nggak berhenti di Delon. Dia sudah jadi masa lalu. Sekarang kamu punya kesempatan untuk bahagia lagi, dan kamu nggak sendirian. Kalau kamu terus menahan diri, siapa yang bisa mendekat? Kamu punya kesempatan, Aira, buat menerima cinta yang baik.”
Aira menatap sahabatnya, matanya berkaca-kaca. “Aku takut, Din. Takut kalau aku jatuh lagi. Takut kalau semua itu cuma berakhir seperti yang dulu.”
Dinda meraih tangan Aira dan menggenggamnya dengan lembut.
“Nggak ada yang tahu ke depannya seperti apa, Aira. Tapi kalau kamu terus takut, kamu nggak akan pernah tahu kebahagiaan yang sebenarnya. Apa yang kamu rasakan saat sama Pak Abraham—itu bukan kebetulan. Dia tulus, dan dia ingin ada buat kamu.”
Aira menunduk, merasakan hati yang berat. “Aku nggak tahu… apakah aku siap.”
“Ya, kamu memang nggak harus siap hari ini, tapi jangan tutup hati kamu terlalu rapat. Kalau kamu merasa nyaman, biarkan dirimu terbuka sedikit demi sedikit,” Dinda berkata dengan penuh keyakinan, matanya menatap dalam pada Aira.
Aira menghela napas, masih ragu, namun hatinya terasa sedikit lebih ringan.
Ada secercah harapan yang mulai tumbuh dalam dirinya, meskipun ia takut untuk menghadapinya.
“Aku akan coba, Din. Aku nggak janji bisa langsung melupakan semuanya, tapi aku akan coba.”
Dinda tersenyum lebar, merasa lega. “Itu sudah langkah besar, Aira. Langkah pertama untuk kebahagiaan yang baru.”
Malam itu, langit di luar apartemen Aira terlihat cerah, dengan bintang-bintang yang tampak gemerlapan.
Suasana di dalam apartemen terasa hangat, dengan aroma makanan yang baru dimasak menyebar ke seluruh ruangan.
Tepat pada saat Aira sedang duduk di meja makan, pintu apartemen diketuk lembut.
Aira segera bangkit, membuka pintu, dan di sana berdiri Abraham dengan senyum hangat, membawa sebuah wadah besar yang berisi makan malam.
“Ada yang spesial malam ini, Aira,” ucap Abraham dengan nada ceria. “Aku bawa makanan yang aku buat sendiri. Harus dicoba, ya?”
Aira tersenyum, meskipun hatinya terasa sedikit terharu.
Sejak pertemuan pertama mereka, ia merasa semakin dihargai oleh Abraham. Dan malam ini, rasa terima kasih itu tumbuh lebih dalam.
“Terima kasih, Pak Abraham. Tapi… anda nggak perlu repot-repot,” jawab Aira, berusaha untuk tidak terlalu merasa terbebani.
Abraham melangkah masuk dan meletakkan wadah makanan di meja makan.
“Tidak ada yang repot. Ini justru cara aku untuk menunjukkan perhatian, Aira. Kamu sudah banyak bantu aku dengan desain kafe, dan malam ini, aku ingin membantu kamu. Ayo, duduk, kita makan bareng.”
Aira duduk kembali di kursinya, melihat Abraham dengan tatapan lembut.
Abraham memulai untuk menyiapkan segala sesuatu, menata piring, dan mengeluarkan sendok serta garpu. Setelah semuanya siap, ia duduk di sebelah Aira.
“Siap?” tanya Abraham sambil tersenyum, memegang sendok dengan hati-hati.
Aira mengangguk, sedikit canggung. “Aku bisa makan sendiri, Pak. Nggak perlu disuapin.”
Abraham tertawa kecil, namun kali ini dengan nada manis.
“Malam ini kamu nggak perlu repot. Aku yang akan suapin kamu. Percayalah, ini bukan masalah besar.”
Aira sedikit ragu, tapi akhirnya ia memutuskan untuk membiarkan Abraham melakukan apa yang ingin dia lakukan.
Perasaannya sedikit berbeda dan ada rasa nyaman yang mulai mengalir begitu saja di antara mereka.
Abraham dengan hati-hati menyuapkan suapan pertama ke Aira.
“Makanlah yang banyak, ya. Kamu butuh banyak energi untuk istirahat,” katanya lembut.
Aira tersenyum dan menerima suapan itu, merasa nyaman meskipun sedikit canggung.
“Terima kasih… ini enak, Pak.”
Abraham hanya tersenyum dan melanjutkan suapannya, dengan penuh perhatian.
Mereka makan dalam diam untuk sementara waktu, tetapi keheningan itu bukanlah keheningan yang canggung.
Ada rasa kedekatan yang terasa alami, meski baru saja berkembang.
Ketika makanan hampir habis, Aira menatap Abraham dengan lebih dalam.
“Aku… senang anda ada di sini, Pak.”
Abraham tersenyum hangat, menatap mata Aira dengan serius.
“Aku juga, Aira. Aku ingin kamu tahu, aku di sini bukan hanya karena pekerjaan, tapi juga karena aku peduli denganmu.”
Aira merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Ada sesuatu dalam kata-kata Abraham yang membuatnya merasa lebih dihargai daripada sebelumnya.
Perlahan, ia merasa kehadiran Abraham bukan hanya sekadar kehadiran fisik, tapi juga sesuatu yang memberi rasa aman dalam hatinya.
Aira menatap wajah Abraham yang memandangnya dengan penuh perhatian.
Sesaat, ada keheningan yang menyelimuti mereka. Tiba-tiba, perasaan yang telah lama terpendam mulai muncul kembali, begitu saja, seperti gelombang yang tak bisa dihentikan.
Abraham menyadari perubahan di wajah Aira. Matanya yang biasanya cerah kini tampak redup, seolah ada beban yang tiba-tiba datang kembali.
“Ada apa, Aira?” tanyanya lembut, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Kenapa kamu menangis?”
Aira terkejut, dan seketika dia menundukkan wajah, mencoba menahan air mata yang perlahan mengalir.
Dia merasa malu—malu karena tiba-tiba begitu rapuh di depan Abraham, yang baru saja dia kenal.
Namun, hatinya terasa berat, dan ia tak bisa lagi menyembunyikan perasaan itu.
“Apakah aku salah, Pak Abraham?” Aira berkata dengan suara yang sedikit bergetar. “Apakah aku salah jika aku takut kalau trauma ku kembali lagi?”
Abraham melirik Aira dengan bingung, lalu mengangguk perlahan.
“Trauma? Trauma apa, Aira?” tanyanya dengan suara lembut, berusaha memberi ruang bagi Aira untuk berbicara.
Aira menarik napas panjang, memandang ke arah meja makan yang sudah kosong.
Pikirannya kembali pada masa-masa kelam yang ia coba lupakan. Tanpa sadar, kata-kata itu mulai keluar begitu saja.
“Dulu… aku punya hubungan dengan seseorang,” Aira mulai bercerita, suaranya pelan. “Namanya Delon. Awalnya aku pikir dia baik. Tapi, semakin lama aku menyadari, hubungan itu… sangat toxic. Aku merasa selalu diabaikan, diperlakukan tidak adil, bahkan dihina di depan umum. Kadang, dia datang dengan teman-temannya, dan aku merasa seperti bukan siapa-siapa di matanya. Tidak dihargai sama sekali.”
Abraham terdiam, mendengarkan dengan seksama, tidak ingin memotong cerita Aira.
Aira melanjutkan, air matanya mulai mengalir deras.
“Suatu kali, dia melemparkan piring ke arahku, hanya karena aku tidak bisa datang tepat waktu. Aku menangis, dan dia cuma tertawa, seolah itu bukan masalah. Itu hanya sebagian kecil dari apa yang terjadi, Pak. Aku tidak pernah merasa dihargai. Aku selalu merasa… kosong.”
Abraham menatapnya dengan penuh empati, dan sedikit terkejut mendengar cerita Aira yang begitu menyakitkan.
Tanpa berpikir panjang, ia meraih tangan Aira, menggenggamnya dengan lembut.
“Aira, aku minta maaf kalau kamu harus melewati semua itu. Tidak ada orang yang pantas diperlakukan seperti itu. Kamu tidak salah. Dia yang salah, bukan kamu.”
Aira menghela napas, merasa sedikit lebih lega setelah membuka hatinya, meskipun rasa sakit itu masih terasa begitu tajam.
“Aku takut, Pak. Takut kalau semuanya akan terulang. Takut kalau aku kembali jatuh ke dalam hubungan yang sama. Itu yang membuatku takut untuk terbuka lagi.”
Abraham menatap Aira dengan mata yang dalam, penuh pengertian.
“Aira, aku mengerti kalau kamu merasa takut. Setiap orang punya waktu yang berbeda untuk sembuh, dan aku nggak akan memaksamu untuk melupakan semuanya dalam sekejap. Tapi, aku janji aku nggak akan pernah memperlakukanmu seperti dia. Aku di sini karena aku peduli, dan aku ingin kamu merasa aman.”
Aira menatap Abraham, matanya sedikit berbinar. Ada kehangatan yang ia rasakan dari kata-kata itu, meskipun hatinya masih penuh keraguan.
“Aku… belum bisa langsung percaya, Pak. Tapi, aku akan coba.”
Abraham mengangguk dengan senyuman lembut.
“Aku akan menunggu, Aira. Aku di sini, kapan pun kamu siap untuk berbicara atau hanya ingin ditemani. Tidak ada yang terburu-buru.”
Aira mengangguk pelan, mengusap air matanya dengan punggung tangan.
“Terima kasih, Pak Abraham. Terima kasih sudah mendengarkan.”
Abraham tersenyum, menggenggam tangan Aira dengan lebih erat.
“Tidak ada yang perlu terima kasih. Itu sudah kewajiban aku. Aku ingin kamu tahu, kamu tidak sendiri.”
Mereka duduk bersama dalam keheningan, namun kali ini, keheningan itu terasa hangat dan penuh pengertian.
Aira tahu bahwa langkah-langkah kecil untuk sembuh itu masih panjang, namun dengan adanya Abraham, ia merasa sedikit lebih kuat untuk menghadapinya.
Setelah Aira akhirnya terlelap dalam tidur yang tenang, Abraham duduk di sebelahnya dengan hati yang dipenuhi berbagai perasaan.
Melihat Aira yang tertidur pulas di sofa, dengan wajah yang lebih damai dari sebelumnya, membuatnya merasa sedikit lebih lega.
Ia tahu betapa beratnya perjalanan Aira untuk bisa sampai di titik ini.
Namun, di balik kepeduliannya terhadap Aira, Abraham tak bisa menahan rasa penasaran yang mulai tumbuh tentang masa lalu Aira, khususnya soal Delon.
Sambil menatap wajah Aira yang damai, ia meraih ponselnya dan segera membuka aplikasi pesan.
Dengan tenang, ia mengirimkan pesan singkat kepada anak buahnya yang bekerja di bidang investigasi internal perusahaannya.
Abraham mengetik pesan dengan hati-hati, memastikan tidak ada informasi yang terlewat.
“Selidiki semua informasi tentang seseorang bernama Delon. Cari tahu siapa dia, dari mana dia berasal, dan apa yang dia lakukan. Lakukan ini secara diam-diam. Pastikan semua data yang ditemukan,” tulisnya dengan nada yang tegas.
Setelah beberapa menit menunggu, Abraham menerima balasan yang menyatakan bahwa penyelidikan sedang berlangsung.
Dia menatap layar ponselnya dengan serius, sementara perasaannya bercampur aduk.
Ia mengernyitkan kening saat melihat data yang mulai terungkap.
Ternyata, Delon adalah seorang karyawan di perusahaannya.
Nama itu muncul di database sebagai salah satu pekerja di salah satu divisi yang cukup penting.
Tak ada yang terlalu mencurigakan pada awalnya, tetapi Abraham merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Mengingat apa yang telah diceritakan Aira, Abraham merasa tidak nyaman mengetahui bahwa Delon ada di dalam dunia yang ia kelola.
Ia menghela napas, merasa sedikit kesal. "Apa yang sudah dia lakukan pada Aira?" gumamnya pelan, meski hanya dirinya yang mendengarnya.
Rasanya sulit untuk menerima kenyataan bahwa seseorang yang pernah begitu dekat dengan Aira sekarang ternyata terhubung dengan dirinya.
Namun, pandangannya kembali beralih kepada Aira yang sedang tidur.
Matanya yang terpejam dengan damai mengingatkan Abraham akan betapa rapuhnya Aira selama ini.
Betapa banyak luka yang mungkin ia sembunyikan. Ia menggenggam tangan Aira dengan lembut, berusaha memberikan ketenangan, meskipun Aira tidak bisa merasakannya.
"Aku akan pastikan kamu tidak akan kembali merasakan sakit itu, Aira," bisiknya pelan, matanya penuh tekad.
Abraham menatap Aira untuk beberapa saat lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk menyimpan ponselnya.
Ia tahu bahwa penyelidikan ini baru saja dimulai, dan ia tidak akan berhenti sampai menemukan seluruh kebenaran di balik siapa Delon sebenarnya.
Ia menarik selimut untuk menutupi Aira yang sudah terlelap, memastikan bahwa ia tidak akan kedinginan.
Dengan satu gerakan lembut, Abraham duduk di kursi dekat jendela, mengawasi Aira yang tidur dengan tenang.
Ia tak bisa membiarkan rasa takut dan trauma masa lalu Aira kembali menghantuinya.
"Jangan khawatir, Aira," ujar Abraham dengan suara pelan, seolah berbisik hanya untuk dirinya sendiri.
"Aku akan melindungimu."