Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ajakan Makan Malam
Seperti biasa, gosip itu bergulir seperti bola api yang mudah membakar segala arah. Namun, para mahasiswa hanya bisa membicarakannya dengan sembunyi, meski salah satu yang terlibat adalah dari teman mereka, tapi orang lainnya adalah Abimanyu, dosen mereka yang terkenal killer dan tidak pernah segan untuk memangkas nilai untuk siapa saja yang berani menyinggungnya.
Sedangkan Infiera, si tokoh utama sama sekali tidak tahu menahu mengenai gosip yang beredar tentangnya. Dia tetap sibuk dengan kuliahnya dan juga sesekali ikut terlibat dalam persiapan untuk bakti sosial ke panti asuhan dalam rangka mengenalkan gemar membaca pada anak-anak.
Hari ini, Fiera baru menyelesaikan rapat bersama dengan anak-anak kemahasiswaan yang akan pergi ke panti asuhan setelah selesai ujian nanti. Dia melangkah menuju ke ruang kelasnya. Akan tetapi, saat di tengah jalan dia melihat salah satu mahasiswa wanita yang tiba-tiba berjongkok dengan memegangi perutnya, seperti sedang kesakitan.
Fiera mempercepat langkahnya dan menghampiri. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Fiera dengan khawatir. Wajah mahasiswa wanita itu terlihat pucat dan wajahnya dipenuhi keringat dingin.
Perlahan, mahasiswa itu mengangkat wajahnya untuk menatap Fiera. “Perutku sakit. Lagi masa periode.”
Fiera langsung mengerti dengan kondisi gadis di hadapannya, karena dia juga sering merasakan setiap bulannya. “Aduh, kalau begitu lebih baik kita ke ruang UKK saja, bagaimana? Siapa tahu di sana ada obat untuk meredakan nyerinya. Aku akan membantumu.”
“Bukannya kamu mau ke kelas? Bagaimana kalau terlambat?”
Fiera terdiam, benar juga. Saat ini kelasnya Abimanyu, suaminya itu paling tidak suka jika ada mahasiswa yang terlambat. “Tunggu sebentar.”
Fiera mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan pesan. [Mas, aku akan sedikit terlambat ke kelas, karena mau bantu dulu mahasiswa yang sakit. Mau bawa dulu ke UKK, kasihan.]
Fiera mengirimkan pesannya dan menunggu pria di seberang sana membalas. [Iya.]
Hanya satu kata singkat, tapi itu sudah cukup bagi Fiera untuk membantu membawa mahasiswa wanita yang tidak diketahui namanya itu. “Ayo, aku akan membantumu.”
“Tapi, bagaimana dengan kelasmu?”
“Jangan khawatir, aku sudah meminta untuk izin.”
Mahasiswa yang sedang kesakitan itu sama sekali tidak memperhatikan ucapan Infiera karena dia merasakan perutnya yang semakin keram. Fiera memapahnya menuju ruangan UKK, beruntung di sana ada petugas UKK yang berjaga dari mahasiswa kedokteran.
“Kak, minta tolong, ya. Aku masih ada kelas soalnya.” Fiera menitipkan gadis yang dibantunya itu.
“Iya, kamu pergi saja. Biar saya yang rawat.”
Fiera mengangguk dan bergegas meninggalkan ruangan UKK, menuju ke kelasnya. Di tengah perjalanan menuju kelas, tiba-tiba ...
Brug!
Fiera terjatuh karena menabrak seseorang. Dia mengangkat wajahnya dan melihat siapa orang yang ditabrak.
“Aduh, Bu, maaf saya tidak sengaja.”
Orang yang ditabrak Fiera adalah Almira yang sedang berjalan menuju kelas yang diajarnya. Buku yang dibawa oleh wanita itu terjatuh di lantai.
“Kamu bagaimana, sih? Lari-lari di lorong seperti anak kecil,” tegur Almira dengan ekspresi datar. Dia berjongkok dan memunguti buku-buku yang tergeletak di lantai.
“Maaf, Bu, saya tidak sengaja.”
Fiera ikut berjongkok dan membantu mengumpulkan buku yang terjatuh gara-gara keteledorannya.
Almira tidak menanggapi permintaan maaf Infiera. Wanita itu hanya mengambil buku-bukunya.
Fiera sama sekali tidak memedulikannya. Dia menyerahkan buku yang diambilnya. “Sekali lagi, maaf, Bu.”
Almira menerima buku dari mahasiswanya dengan ekspresi yang sama. “Lain kali hati-hati.”
“Saya akan mengingatnya. Saya permisi karena sudah terlambat.”
“Jangan mudah senang hanya diperlakukan baik.” Tiba-tiba Almira berucap yang didengar jelas oleh Infiera.
“Ya, Bu?”
Sayangnya Almira sama sekali tidak berniat melanjutkan dan melangkah, meneruskan perjalanannya yang sempat tertunda.
Fiera menghela napas berat. Dia tidak tahu maksud dari perkataan Almira, lalu kembali berjalan cepat menuju kelasnya.
Infiera mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk.
“Duduklah!” perintah Abimanyu yang sedang berdiri di depan kelas.
“Terima kasih, Pak.”
Semua orang tercengang karena Abimanyu sama sekali tidak mempermasalahkan keterlambatan Fiera. Hal itu jelas sekali membuat beberapa orang yang sudah mendengar kedekatan mereka menjadi berspekulasi. Namun, tak ada satu pun yang berani hanya untuk sekedar berbisik.
“Lo dari mana, Fier?” tanya Anisa, hanya dengan gerak bibirnya tanpa mengeluarkan suara.
“Dari hati lo.”
“Sialan!”
“Infiera, kamu belum absen!” Abimanyu berkata, mengingatkan.
“Baik, Pak.”
Gadis itu kembali berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju ke meja dosennya, lalu men-scan bercode dari map yang ada di sana.
“Ini pertemuan terakhir kita sebelum ujian... .” Abimanyu meneruskan penjelasannya setelah Fiera kembali ke tempat duduknya.
***
“Huaa! Baru kali ini gue ngerasa kelas Pak Abi kaya taman bermain!” Anisa berseru saat keluar dari kelas. Dia merasa Abimanyu hari mengajar dengan santai. Dosen yang selalu dipanggil dosen killer itu bahkan tertawa dan melontarkan beberapa candaan kepada mereka.
“Haha... itu mah lo aja kali yang merasakannya.” Fiera menimpali. Dia tidak merasa seperti itu. Dirinya malah merasa, Abimanyu seperti baru saja mengaktifkan bom waktu yang akan meledak saat ujian minggu depan.
“Yee... bener, kan, Bim yang gue katakan? Lo juga merasakannya, kan?”
“Iya, si Linda aja yang suka ganjen aman, tuh, engga dikeluarin lagi dari kelas.”
“Nah, bener, kan? Pak Abimanyu hari ini beda banget. Dia lebih ramah. Kenapa, ya? Jangan-jangan, gosip dia punya pacar itu bener?”
Fiera tersentak mendengar hal itu. Tubuhnya terasa kaku. “Pa-pacar?”
Anisa mengangguk membenarkan. “Lo ga tahu? Katanya dia punya pacar, tapi engga tau siapa. Bu Almira mungkin. Lo, kan, lihat mereka cukup dekat.”
Ah!
Fiera hanya membuka mulutnya, tapi sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata apa pun lagi. Ponselnya bergetar, saat ada pesan masuk.
[Mau makan malam apa hari ini? Biar mas yang beli sebelum pulang.]
Tanpa sadar, Fiera tersenyum membaca pesan itu. Belakangan, Abimanyu memang bersikap sangat baik. Bahkan, lebih perhatian. Contohnya saat ini.
[Terserah mas saja.]
[Kamu mau makan terserah?]
[Mana ada?]
[Makanya, mau makan apa? Atau... .]
[Atau apa?]
[Mau dimakan?] Abimanyu menyertakan emot berderet orang yang sedang terpingkal.
Fiera melotot membaca pesan mesum dari suaminya. Sejak kapan Abimanyu menjadi seperti itu?
[Hei!]
[Bercanda. Jadi, mau makan apa?]
Baru saja mengetik balasan pesan dari Abimanyu, pesan lainnya dari Abimanyu kembali masuk.
[Makan di luar saja, ayo. Mas tunggu di depan gerbang keluar, ya?]
“Lo lagi chating sama siapa? Serius amat?” tanya Bimo.
Fiera segera menurunkan ponselnya dari depan wajahnya dan memasukkannya ke dalam tas. “Ah, tidak. Ortu gue, tanya kabar.”
Bimo hanya menjawab ‘oh’, lalu mengajak kedua temannya. “Ke kantin dulu, yuk? Masih sore ini.”
“Emm ... gue engga bisa. Gue harus pergi.”
Anisa memperhatikan temannya yang salah tingkah. “Lo mau ke mana, Fier.”
“Itu... em, teman gue yang editor... ngajak ketemu.”
Anisa yang tahu kalau Infiera adalah seorang penulis cepat mengerti. “Ya sudah, kita berdua saja, Bim. Gue juga lapar, ini.”
“Baiklah, gue pergi dulu, ya?”
Setelah mendapatkan persetujuan, Fiera bergegas menuju keluar dari area kampus karena Abimanyu mengajaknya pergi, untuk makan di luar. Tumben sekali pria itu mengajak makan di luar hanya berdua.
Saat sudah dekat dengan gerbang keluar, Fiera bertemu dengan seseorang yang sangat dikenalnya. “Fiera!”
“Kak Gio? Kok kakak ada di sini, sih?”
“Ada urusan sama seseorang. Mau pulang, ya? Aku antar saja, yuk. Mumpung bawa mobil kantor.” Gio menunjuk mobil yang terparkir di bahu jalan dekat pintu keluar.
“Ah, engga bisa, Kak. Aku ada janji sama seseorang.”
Fiera melirik ke arah seberang jalan. Dia melihat mobil Abimanyu terparkir di sana. Ternyata, suaminya tidak sedang bercanda untuk menunggunya di pintu keluar kampus.
“Fier, ada satu penerbit yang siap meminang naskah kamu, loh.”
“Iya, kah?”
Gio mengangguk membenarkan. “Mereka juga setuju dengan layout yang kubuat. Jadi, nanti kamu hanya tinggal membahas kelanjutannya saja, bagaimana?”
Fiera tersenyum senang. Dia tanpa sadar meraih tangan editornya itu. “Wah, makasih banyak Kak Gio. Aku engga tahu lagi harus mengatakan apa, tapi berkat kakak ada juga yang mau minang naskahku.”
Selama lebih dari satu bulan, Fiera hanya disibukkan dengan kuliah dan juga Abimanyu yang selalu saja mengganggunya saat dia sedang menulis.
“Sama-sama, Fier, tapi lepaskan dulu sebelum Kak Gio baper.”
“Eh?”
Fiera terkejut, dia langsung melepaskan genggaman tangannya dari tangan Gio. “Maaf, Kak.”
“Tidak apa-apa. Kamu satu menit lebih cepat melepaskannya. Jadi, belum terlanjur baper.” Gio tertawa, membuat Infiera juga ikut tertawa.
Selama mengenal editornya ini, Fiera memang terbiasa bercanda dengan pria itu. Dia hanya tidak tahu kalau apa yang dikatakan Gio tidak pernah bercanda.
Tanpa Fiera sadari jika seseorang yang duduk di mobil Hatchback mencengkeram setir mobilnya dengan kuat saat melihat keakraban wanita itu dengan seorang pria yang tidak dikenalnya. Sepertinya, dia juga bukan mahasiswa di kampusnya itu.
Abimanyu, merasakan percikan api di seluruh tubuhnya saat melihat keakraban mereka. Apa lagi, saat Fiera tertawa dan menggenggam tangan pria di hadapannya. Dia baru saja akan melepaskan sabuk pengamannya, saat Fiera melambaikan tangan pada pria yang berbicara dengannya.
Pria itu masuk ke dalam mobilnya dan melaju meninggalkannya sendiri.
Setelah pria asing itu pergi, Fiera terlihat berjalan ke arah mobilnya dengan terburu-buru dan masuk begitu saja. “Maaf, mas sudah tunggu lama, ya?” sesal Fiera. “Kenapa mas tiba-tiba ngajak makan di luar. Nunggu depan kampus lagi.”
Abimanyu menghela napas berat untuk meredakan kekesalannya. “Kenapa? Kamu engga mau?”
“Bu-bukan begitu. Hanya saja, bagaimana kalau ada orang lain yang lihat?”
“Memang kenapa kalau ada yang lihat? Bukannya kamu juga biasa bicara sama pria lain di kampus ini?” ketus Abimanyu menyindir.
Fiera mengerutkan keningnya dengan nada bicara Abimanyu yang kembali ke setelan sebelumnya.
“Mas kenapa, sih? Maksudnya Bimo? Ya, kan, dia teman sekelasku. Sedangkan mas? Mas dosenku.” Sekaligus suamiku.
Fiera hanya berani mengatakan kalimat terakhirnya di dalam hati.
Abimanyu hanya diam, menahan geram. Fiera sama sekali tidak peka. Apakah dia tidak sadar, jika sejak tadi Abimanyu melihat dirinya yang berbicara dengan pria lain? Terlihat senang lagi!
“Mas kenapa diam?”
“Engga apa-apa.”
Fiera merasa aneh dengan sikap Abimanyu.
“Mas kalau mau kaya gini, lebih baik aku pulang naik angkot saja kaya biasa, ya? Aku mau makan di rumah saja.”
Abimanyu sedikit panik karena Fiera serius dengan perkataannya. “Kamu kenapa, sih? Mas ga apa-apa, kok. Ayo, kita pergi. Mau makan di mana?”
“Terserah!”
Abimanyu buru-buru menyalakan mesin mobilnya, sebelum terjadi perang di dalam mobil itu.