NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 16 kehidupan yang sulit

Enam bulan di Terra Nova terasa seperti enam tahun di neraka.

Lucian—bukan lagi Alex, ia sudah membakar nama itu bersama foto keluarganya—duduk di kursi plastik lusuh kantor penempatan kerja. Nomor antriannya: 47. Sudah tiga jam menunggu. Kaki kanannya goyang-goyang gelisah, tangannya mengepal-ngepal, napas pendek-pendek.

Tenang. Ini pekerjaan terakhir yang kucoba. Kalau ditolak lagi... kalau ditolak lagi...

Ia tidak mau memikirkan "kalau ditolak lagi".

"Nomor 47!" teriak petugas dengan suara bosan—suara orang yang sudah tidak peduli lagi sama hidup orang lain.

Lucian berdiri, kakinya nyaris limbung. Kapan terakhir ia makan? Kemarin? Kemarin lusa? Perut sudah tidak berbunyi lagi—terlalu capek protes.

Ia masuk ke ruangan kecil. Meja kayu tua. Komputer jadul. Petugas wanita bertubuh gemuk dengan kacamata tebal menatapnya sekilas—tatapan menghakimi yang Lucian sudah hapal dalam enam bulan terakhir.

"Nama?"

"Lucian Andhika."

"Ijazah?"

Lucian terdiam. "Saya... tidak punya."

Petugas itu mengetik sesuatu, tidak menatapnya. "KTP?"

"Saya punya tapi... baru buat bulan lalu. Masih—"

"Pengalaman kerja?"

Pembunuh bayaran. Algojo. Debt collector. Enforcer.

"Tidak ada yang... resmi."

Petugas itu berhenti mengetik. Menatapnya—bukan simpati, tapi jijik. Seperti Lucian sampah yang menempel di sepatunya.

"Jadi anda tidak punya ijazah, KTP baru, tidak ada pengalaman kerja legal. Anda mengharapkan siapa yang mau mempekerjakan anda?"

Lucian menggigit bibirnya. Jangan marah. Jangan bentak dia. Kamu bukan Alex lagi. Kamu bukan pembunuh lagi.

"Saya... saya bisa kerja keras. Apapun. Tukang bangunan, kuli angkut, pembersih toilet—"

"Maaf. Tidak ada lowongan untuk orang tanpa dokumen lengkap."

"Kumohon—"

"SELANJUTNYA!"

Lucian keluar dari ruangan itu dengan kaki yang gemetar. Bukan karena lapar—meski itu juga—tapi karena putus asa yang mulai mencengkeram tenggorokannya seperti tangan mati.

Enam bulan.

Enam bulan mencoba jadi orang baik.

Enam bulan ditolak.

Restoran—ditolak karena tidak bisa tunjukkan surat keterangan kelakuan baik. Tukang bangunan—ditolak karena tidak punya sertifikat keahlian. Supir—ditolak karena SIM-nya dari Kaisarion, tidak berlaku di Terra Nova. Bahkan jadi tukang sapu jalanan—ditolak karena harus ada rekomendasi dari warga setempat.

Sialan. Sialan. SIALAN.

Lucian berjalan keluar gedung, matahari sore menyilaukan matanya. Atau mungkin itu air mata. Ia tidak yakin lagi.

Dompetnya—kalau bisa disebut dompet, lebih seperti lipatan kulit lusuh—berisi tiga ribu rupiah. Cukup buat beli roti setengah mati atau air mineral.

Bukan keduanya.

Ia memilih air. Tenggorokan lebih sakit daripada perut.

Lucian duduk di taman kota—bangku kayu yang cat hijaunya mengelupas. Di hadapannya, keluarga bahagia sedang piknik. Ayah, ibu, dua anak perempuan. Yang kecil tertawa—suara tawa yang menusuk dada Lucian seperti pisau.

Elena juga tertawa seperti itu.

Ia menutup mata, menarik napas dalam. Jangan. Jangan ingat dia. Kamu sudah lepaskan mereka. Kamu sudah—

Tapi bayangan Elena tetap muncul. Selalu muncul. Terutama saat Lucian lemah begini.

"Kakak... kenapa kakak jadi pengemis?"

Aku bukan pengemis, Elena. Aku hanya... aku sedang mencoba.

"Mencoba jadi orang baik? Tapi kakak pembunuh. Pembunuh tidak bisa jadi orang baik."

AKU TAHU! Aku tahu, oke?! Tapi aku harus coba! Kalau aku tidak coba, semua yang aku lakukan—semua pembunuhan itu—sia-sia!

"Kakak membunuh 47 orang. Itu tidak akan pernah sia-sia. Itu akan selalu ada. Di tangan kakak. Di mimpi buruk kakak."

Lucian membuka mata, menatap tangannya—tangan yang pernah mematahkan leher, menusuk jantung, menembak kepala. Tangan yang bergetar sekarang bukan karena takut, tapi karena kelaparan.

Ponselnya berdering—ponsel jadul yang ia beli lima ribu rupiah di pasar loak. Layarnya retak tapi masih bisa nyala.

Nama di layar: Michael.

Lucian menatapnya lama. Jempol melayang di atas tombol hijau.

Jangan angkat. Kalau kau angkat, dia akan tawarkan kembali. Dan kau... kau mungkin iya.

Tapi tangannya bergerak sendiri.

"Halo?"

"Alex—maksudku, Lucian. Maaf." Suara Michael terdengar lelah. "Bagaimana keadaanmu?"

"Baik." Bohong. "Aku dapat pekerjaan sebagai—"

"Jangan bohong padaku. Aku tahu kau belum dapat pekerjaan. Aku sudah tracking kamu dari sini."

Lucian terdiam. Tentu saja dia tracking. Dia Michael. Dia tidak akan pernah lepas.

"Kenapa kau menelepon, Michael?"

Helaan napas panjang di seberang sana. "Karena aku khawatir kau akan mati kelaparan. Atau... atau hal lain."

"Aku tidak akan bunuh diri."

"Alex—"

"Lucian."

"—Lucian. Dengarlah. Kembali saja. Tidak ada tempat untuk orang seperti kita di dunia normal. Mereka tidak mau kita. Mereka tidak peduli kita mau berubah. Yang mereka lihat hanya masa lalu kita."

Dia benar. Kau tahu dia benar.

"Aku harus coba, Michael."

"Coba kenapa?! Coba buktikan apa?! Papa, Mama, Elena sudah mati! Mereka tidak peduli kau jadi orang baik atau pembunuh! Mereka mati dan tidak akan kembali!"

Lucian menggigit bibirnya sampai berdarah. Jangan nangis. Jangan—

Tapi air matanya jatuh. "Aku tahu mereka tidak akan kembali. Tapi aku... aku tidak bisa terus jadi monster, Michael. Aku capek. Setiap malam aku lihat wajah 47 orang yang aku bunuh. Setiap malam Elena bertanya kenapa aku jadi seperti mereka."

"Kau jadi seperti mereka untuk balas dendam! Untuk keadilan!"

"KEADILAN?!" Lucian berteriak—beberapa orang di taman menoleh. Ia tidak peduli. "Keadilan apa? Aku bunuh Adipati Guntur dan aku tidak merasa lebih baik! Aku bunuh 46 orang lain dan mereka mungkin punya keluarga yang sekarang benci aku seperti aku benci Adipati Guntur! Itu bukan keadilan! Itu lingkaran kebencian!"

Keheningan di telepon.

Lalu Michael berbisik—suaranya pecah: "Aku tahu. Aku juga merasa sama. Tapi setidaknya di dunia itu, kita punya tujuan. Punya arti. Di dunia normal... kita hanya sampah yang tidak ada yang mau."

"Mungkin. Tapi aku harus coba jadi lebih baik. Untuk Papa. Untuk Elena. Untuk diriku sendiri."

Michael tidak menjawab lama. Lalu: "Baiklah. Tapi kalau kau butuh apa-apa—apapun—hubungi aku. Kau tetap saudara ku, Alex. Eh, Lucian. Maaf. Aku tidak akan pernah terbiasa."

"Aku juga tidak."

"Jaga dirimu."

"Kamu juga."

Sambungan terputus.

Lucian menatap ponsel itu, lalu memasukkannya ke saku. Matahari mulai tenggelam—langit jingga kemerahan yang indah tapi terasa menyakitkan entah kenapa.

Ia berdiri, berjalan tanpa tujuan. Kakinya membawanya ke distrik kumuh Terra Nova—tidak seburu Distrik Sombra di Kaisarion, tapi tetap saja kumuh.

Apartemennya—kalau bisa disebut apartemen, lebih seperti kamar sewa 2x3 meter dengan WC umum di ujung lorong—ada di ujung gang. Tiga ratus ribu per bulan. Ia sudah telat bayar dua minggu. Pemilik kosnya—ibu-ibu galak bernama Bu Ratna—sudah mengancam usir dia kalau minggu depan tidak bayar.

Tiga ratus ribu. Dari mana aku dapat tiga ratus ribu?

Lucian berbaring di kasur tipis yang pegas nya sudah menyembul keluar, menatap langit-langit yang bocor. Ada bekas air hujan membentuk pola seperti wajah—wajah yang selalu terlihat seperti Elena kalau Lucian menatapnya terlalu lama.

Papa... apa yang harus aku lakukan? Aku sudah coba. Aku sudah coba jadi orang baik seperti Papa dulu. Tapi tidak ada yang mau kasih aku kesempatan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!