Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Opat Belas
“Apa yang kau—”
“Kenapa tiba-tiba marah? Ada masalah?” Gilbert memotong, mengunci pandangannya pada Jenara.
Jenara tidak menjawab. Ia menatap ke pintu lift, mengabaikan keberadaan pria itu. Kemarahan yang tersumbat di tenggorokannya hanya bisa keluar sebagai bisikan tajam.
“Dasar pria brengsek! Murahan!”
Meskipun hanya berbisik, tetapi Gilbert dapat menangkapnya dengan jelas. Ia menyandarkan bahunya ke dinding lift, tersenyum kecil yang terlihat sangat menyebalkan di mata Jenara.
“Brengsek? Karena aku menolak uangmu?” tanya Gilbert. “Atau karena aku baru saja terlihat bahagia bersama wanita lain?”
Gilbert semakin yakin. “Kamu pasti melihat aku saat sedang berinteraksi dengan Soraya, ya?”
Jenara mendengus keras. Oh, wanita genit itu bernama Soraya. Cocok! batin Jenara, membenarkan dugaan Gilbert tanpa kata-kata.
“Kamu mengajak aku menikah, tapi kamu masih sempat berduaan dengan wanita lain di coffee shop? Apakah itu definisi tanggung jawabmu, Tuan Rahadiansyah?” tuding Jenara, menaikkan nada suaranya.
Tepat dugaan Gilbert. Ini adalah masalah kepemilikan. Jenara bukan cemburu, ia posesif dan tidak suka melihat pria yang kini ia ‘klaim’ sebagai ayah dari anaknya membagi perhatian.
“Tapi Anda belum menjawab ajakan menikah dari saya, Nona Sanjaya,” balas Gilbert, nadanya tenang dan memancing.
“Apa masih perlu jawaban saat kondisi saya sudah hamil seperti ini? Dasar breng—”
Belum sempat Jenara menyelesaikan umpatannya, Gilbert bergerak cepat. Ia mendorong tubuh Jenara ke pojok lift, memojokkannya ke dinding baja yang dingin. Gilbert mengunci tubuh Jenara dengan kedua lengannya, menempatkan wajahnya begitu dekat hingga Jenara bisa merasakan aroma kopi dan parfum yang maskulin.
“Jangan macam-macam, Gilbert! Gila!” desis Jenara, mencoba mendorong dada Gilbert. Jenara menjadi murka karena merasa terperangkap.
Gilbert tidak menjawab. Ia membekap bibir Jenara dengan ciumannya. Ciuman itu datang tanpa peringatan, memaksa dan menuntut. Itu adalah cara Gilbert membungkam mulut arogan Jenara yang terlalu banyak bicara.
Jenara ingin memberontak, tangannya mengepal, siap memukul. Namun, tubuhnya berkhianat. Sentuhan itu, meskipun kasar dan mendadak, membangkitkan memori malam itu, malam yang telah mengubah segalanya. Jenara melunak. Bahkan, lenguhan manja yang tertahan sempat keluar dari bibir seksinya, teredam oleh ciuman Gilbert.
Untung saja di dalam lift hanya ada mereka berdua. Waktu terasa berjalan sangat lambat.
Gilbert melepaskan ciumannya, hanya menyisakan jarak beberapa sentimeter di antara wajah mereka.
“Jangan marah-marah, Jenara,” ucap Gilbert dengan raut wajah yang datar, suaranya serak. “Itu hanya semakin membuat wajahmu semakin cantik saja.”
Wajah Jenara yang kaku kini memerah padam, bukan hanya karena amarah, tetapi juga karena rasa malu dan sensasi aneh yang ia rasakan. Ia masih meluapkan amarahnya, tetapi kini diselimuti rasa gugup yang baru.
“Dasar pria mes—”
Tingkat kemarahan Jenara tidak berkurang, tetapi Gilbert tidak membiarkannya bicara lagi. Gilbert langsung mencium bibir Jenara, kali ini lebih lembut, seolah memberi janji yang tidak terucapkan. Ciuman itu hanya berlangsung sedetik.
Ting.
Bunyi pintu lift terbuka. Mereka sudah tiba di lantai suite.
Jenara, yang tersadar penuh, murka karena dipermainkan dan dipermalukan. Ia mengangkat kakinya dan menginjak kaki Gilbert sekuat tenaga.
Dengan wajah yang memerah tomat, Jenara melangkah keluar lift, berjalan cepat menuju kamarnya sambil mengumpat dengan suara keras yang memantul di lorong selorong sunyi.
“Dasar Sinting!”
Gilbert Rahadiansyah, yang menahan sakit karena diinjak Jenara, hanya bersandar di dinding lift. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis, senyuman puas yang penuh kemenangan. Ibu jarinya mengusap sisa saliva Jenara di ujung bibirnya.
“Sangat manis.”
Lift itu kembali turun, membawa Gilbert yang sudah memutuskan bahwa tidak ada lagi keraguan. Jenara Sanjaya akan menjadi istrinya, dan ia akan melakukan apa pun untuk mengklaim wanita itu bahkan jika harus menggunakan ciuman paksa sebagai senjata negosiasi.
Jenara mengunci pintu, bersandar pada kayu solid itu, mengatur napasnya yang memburu. Tangannya gemetar. Bukan karena amarah yang biasa, tetapi karena gairah yang ia coba tolak.
Ia menyentuh bibirnya, mengingat ciuman Gilbert yang mendominasi itu.
“Aku benci dia! Aku benci dia!” bisiknya, berulang kali, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa rasa hangat yang menjalar di hatinya hanyalah sisa-sisa amarah.
Ia mengambil ponselnya, niatnya menelepon Alexa untuk mengkonfirmasi jadwal penerbangan ke Jakarta.
“Lexa, pastikan jet sudah siap—”
“Baik, Bu,” sela suara Alexa, terdengar gugup dari seberang telepon. Jenara langsung menutup teleponnya.
Jenara mengepalkan tangannya. “Gilbert Rahadiansyah… Kau pikir kau siapa!”
...*********...
Bali.
Mansion keluarga Sanjaya di Buleleng, sebuah tempat peristirahatan mewah yang dikelilingi taman tropis dan pemandangan laut yang tenang. Di teras belakang, Arya Sanjaya sedang menikmati masa pensiunnya.
Widya, ibu tiri Jenara, meletakkan secangkir teh hangat di meja kaca di samping Arya. Aroma melati dari teh itu berpadu dengan udara segar Bali.
“Sudahlah, Mas. Jangan terus-terusan mengkhawatirkan Jenara, dia sudah dewasa. Dia bisa memutuskan apa yang terbaik untuk hidupnya,” ucap Widya, lembut. Ia duduk di kursi rotan di samping suaminya.
Arya melepas kacamata bacanya, menutup buku biografi seorang negarawan yang sedang dia baca. Ia menghela napas panjang.
“Mau sampai kapan dia hidup bebas, Widya? Usianya bahkan sudah kepala tiga, tapi sampai detik ini dia belum mau menikah. Bahkan tunangannya saja tak pernah dia anggap. Mau disimpan di mana harga diri keluarga Sanjaya, memiliki anak gadis yang menyandang status perawan tua?” keluh Arya, tangannya memijat ruang di antara keningnya, tanda frustrasi yang mendalam.
Widya tersenyum sabar. “Jenara wanita sukses, berkelas. Pasti banyak pria yang mengincar dan menyukainya. Biarkan Jenara memilih siapa yang pantas menjadi pasangannya, Mas. Jangan memaksanya ke Albani, dia jelas tidak bahagia.”
Arya menatap wajah istrinya yang teduh. “Andai Jenara tahu, kamu sepeduli itu dengannya. Mengapa dia masih belum bisa menerima kamu sebagai ibunya?”
“Semuanya butuh proses, Mas. Aku bukan orang yang terburu-buru. Aku sudah berjanji padamu, dan pada mendiang ibunya, untuk menjaga dia. Tapi dia harus menemukan jalannya sendiri,” jawab Widya, suaranya penuh ketulusan.
Sementara ketenangan menyelimuti kamar orang tuanya, di lantai atas, Kinara Sanjaya melompat dari ranjang. Kinara baru saja menerima pesan WhatsApp dari kakak kesayangannya, Jenara. Ia mendapat kabar jika Jenara akan berkunjung ke rumah dan kini tengah dalam perjalanan dari bandara.
Meskipun hubungan mereka berbeda ibu, Kinara dan Jenara saling menyayangi dengan tulus. Jenara adalah pahlawan Kinara, dan Kinara adalah satu-satunya manusia yang bisa meluluhkan hati Jenara.
Menjelang sore, Jenara sampai di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Kekesalannya yang membuncah pada Gilbert membuatnya memutuskan kembali ke tanah kelahirannya, melarikan diri dari pria itu. Sudah hampir tiga tahun lamanya Jenara tak menginjakkan kakinya di pulau Dewata itu. Mobil pribadi sudah siap mengantarkannya ke kediaman Sanjaya.
Di dalam mobil, Jenara menatap sebuah map merah yang tebal. Bukan tanpa alasan Jenara mendatangi rumah ayah kandungnya, setelah sekian lama memilih menetap di ibu kota.
Untuk pernikahannya, tentu Jenara harus meminta persetujuan orang tuanya. Lebih tepatnya, ia akan memberikan surat kuasa perwalian, yang artinya, Jenara tidak ingin Arya menjadi walinya saat pernikahannya dengan Gilbert. Jenara ingin memastikan bahwa Arya tidak memiliki celah sedikit pun untuk mengendalikan pernikahannya.
Kinara sudah tak sabar menunggu kedatangan kakaknya. Sejak menerima kabar Jenara sudah lepas landas, dia langsung menunggu di depan pintu mansion.
Sebuah mobil hitam mewah, dengan logo perusahaan terkemuka, memasuki pelataran Mansion Sanjaya yang sangat besar. Kinara berlari ke arah mobil itu bahkan sebelum bodyguard membukakan pintu.
“Kakak!” panggil Kinara, riang, menghampiri mobil tersebut.
Pintu mobil terbuka. Jenara keluar, aura angkuhnya masih melekat, tetapi sebuah senyum lembut merekah menyambut pelukan adiknya. Hanya Kinara yang bisa bertahta dalam hati Jenara.
“Sudah besar, ya, Adik kecilku,” ujar Jenara, memeluk Kinara erat.
“Ayo, Nak, masuk dulu. Ayahmu sudah menunggu di dalam,” ajak Widya, mendekat dengan senyum hangat, mencoba menyambut Jenara.
Jenara melepaskan pelukan Kinara. Ia menatap Widya sekilas, ekspresinya langsung kembali kaku dan dingin. Ia tak menggubris Widya sedikit pun dan hanya fokus pada Kinara.
“Oleh-oleh, Kak! Mana oleh-oleh dari London?” tagih Kinara, berbinar.
kesian anaknya kalo kenapa2 😭
btw jen, dia suamimu loo, bapak dari si bayi 😌