Angel hidup dengan dendam yang membara. Kakaknya ditemukan tewas mengenaskan, dan semua bukti mengarah pada satu nama
Daren Arsenio, pria berbahaya yang juga merupakan saudara tiri dari Ken, kekasih Angel yang begitu mencintainya.
bagaimana jadinya jika ternyata Pembunuh kakaknya bukan Daren, melainkan Pria yang selama ini diam-diam terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji?
Ken perlahan melepaskan pelukannya, namun tangannya masih bertahan di pinggang Angel seolah takut jika ia melepasnya, amarah itu akan kembali.
Matanya menatap Angel dalam, suaranya melembut, jauh berbeda dari tadi.
“Pekerjaanmu… bagaimana? ” Ken mengusap pipi Angel dengan ibu jarinya.
“Kamu meninggalkannya untuk ku?”
Angel menatapnya tanpa ragu lalu sedetik kemudian mengangguk “hmm."
Ken mengernyit. “Angel… ini adalah hari pertamamu.”
Angel tersenyum lembut, lalu menyentuh dada Ken tepat di atas jantungnya.
“Kamu lebih penting dari apa pun. Aku tidak peduli tentang pekerjaan itu. Tapi kamu—”
ia menarik napas pelan, “—kalau aku tidak datang… aku takut kamu kehilangan kendali sampai membahayakan dirimu sendiri.”
Ken menutup mata sesaat. Tangannya mengencang, menarik Angel ke dalam pelukan lagi.
“Jangan pernah lakukan itu lagi,” bisiknya lirih.
“Jangan pernah menomorduakan dirimu demi aku.”
Angel menggeleng kecil. “Aku memilihmu. Itu keputusanku.”
Di sekeliling mereka, para karyawan hanya bisa terpaku. Tatapan kagum, iri, cemburu semua bercampur menjadi satu.
Dai lantai, Aluna menatap mereka dengan mata merah dan penuh kebencian. Tangannya bergetar saat ia perlahan mencoba untuk berdiri, dadanya naik turun oleh emosi yang belum padam.
“Cukup…” gumamnya serak.
Angel tidak menyadari apa pun ia masih berada dalam pelukan Ken.
Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, Aluna menerjang, berusaha menarik Angel menjauh. Tangannya mencengkeram rambut Angel kasar, wajahnya dipenuhi amarah dan kecemburuan yang membabi buta.
“LEPASKAN DIA JSLANG! DIA SUAMIKU! "teriak Aluna.
“ALUNA!” Ken membentak Aluna dengan suara yang keras.
Dalam sekejap, Ken bereaksi.
Ia menarik Angel ke belakangnya dengan satu gerakan protektif, lalu mendorong Aluna menjauh dengan keras membuat Aluna kembali kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Tubuhnya terkulai lemas, dan tak sadarkan diri akibat benturan itu.
Ruangan itu kembali sunyi.
Para karyawan membeku, tak ada yang berani bergerak dari tempatnya masing-maisng.
Ken berdiri tegak, napasnya berat, tatapannya kembali dingin namun kali ini penuh perlindunganm, Ia melirik Angel, memastikan wanita itu baik-baik saja.
“Sayang, kamu tidak apa-apa?” tanyanya cepat.
Angel mengangguk, ia masih sedikit terkejut, namun langsung memeluk Ken dengan erat.
Ken memeluknya kembali, lebih kuat dari sebelumnya, lalu mengangkat wajahnya menatap semua orang.
"Apa sakit? " Tanyanya dengan lembut
Para karyawan berdiri kaku, wajah mereka pucat. Tidak ada yang berani menatap langsung ke arah Ken. Beberapa bahkan gemetar, menyadari mereka baru saja menyaksikan sisi tergelap sang pemimpin dan siapa yang benar-benar ia lindungi.
Ken menoleh tajam ke arah mereka.
“Tidak ada satu pun yang boleh membicarakan apa yang terjadi hari ini.” Nada suaranya terdengar dingin,
Semua orang segera berhamburan pergi, menunduk, takut, dan trauma.
Ken lalu menatap Arion yang berdiri kaku di dekat pintu lift.
“Arion,” suaranya rendah namun tegas.
“Urus semua kekacauan ini. Media, staf, dan… bawa Aluna pergi dari sini. Pastikan tidak ada satu pun berita yang bocor. Apalagi mencemarkan nama baik Angel. ”
Arion mengangguk cepat. “Baik, Tuan Ken.”
Namun sebelum pergi, Arion melirik Angel tatapannya penuh rasa terima kasih dan kecemasan.
Angel hanya mengangguk kecil, seolah berkata aku baik-baik saja.
Ken lalu berbalik pada Angel.
Tanpa berkata apa pun, ia melepas jasnya dan menyelimutkannya ke bahu Angel, menutupi tubuhnya dengan gerakan protektif. Tangannya sedikit bergetar saat menggenggam lengan Angel.
“Ayo,” ucapnya pelan.
“Kita ke ruanganku.”
Ken menggandeng tangan Angel erat dan membawanya menuju lift pribadi.
Pintu lift tertutup perlahan, memisahkan mereka dari kekacauan di lantai lima.
Di dalam lift menuju lantai 15, Ken berdiri sangat dekat dengan Angel. Tatapannya tak lepas dari wajahnya penuh kekhawatiran yang tak ia ucapkan.
“Kamu yakin tidak terluka?” tanyanya lagi, kali ini lebih lembut.
Angel menggeleng. “Aku tidak apa-apa.”
Ken menghela napas panjang, lalu menarik Angel ke pelukannya, menempelkan dagunya di puncak kepala Angel.
“Kamu selalu berhasil membuat aku ketakutan," bisiknya lirih.
“jika kamu tidak datang…”
Angel memejamkan mata, membalas pelukan itu. “Aku akan selalu datang. Selama kamu membutuhkanku.”
DING.
Lift terbuka di lantai 15.
Ruang kerja Ken di lantai tertinggi itu sunyi dan luas jauh dari hiruk-pikuk di bawah. Begitu pintu tertutup, Ken langsung memegang wajah Angel dengan kedua tangannya, meneliti setiap inci seolah takut menemukan luka.
“Katakan yang sebenarnya,” katanya serius.
“Kalau dia menyakitimu—”
“Tidak,” Angel memotong lembut. “Aku baik-baik saja.”
Ken akhirnya menghela napas lega, lalu memeluk Angel erat, kali ini lebih lama, lebih dalam seolah ia baru saja lolos dari mimpi buruk.
“Duduk,” ucap Ken pelan, menarik kursi sofa untuk Angel.
Angel menurut. Namun sebelum ia benar-benar duduk, Ken berlutut di hadapannya. Posisi itu membuat Angel terkejut.
“Ken…” suaranya melemah.
Ken memegang kedua tangan Angel, menempelkannya ke dadanya. Detak jantungnya masih cepat.
“Kamu tahu nggak,” katanya lirih, “aku nggak takut pada siapa pun di dunia ini.”
Angel menatapnya, mata mereka sejajar.
“Tapi …” Ken menelan ludah, “aku selalu takut kehilanganmu.”
Angel terdiam.
“Kamu datang di saat aku sudah hampir kehilangan diriku sendiri,” lanjut Ken. “Dan kamu meninggalkan pekerjaanmu… demi aku.”
Angel tersenyum lembut, lalu mengangkat tangan Ken, menggenggamnya erat.
“Aku tidak merasa kehilangan apa pun.”
Ken mengerutkan kening.
“Aku hanya berpindah ke tempat yang lebih penting,” lanjut Angel pelan.
“Kamu.”
Ken menutup mata sesaat. Saat membukanya, matanya berkilatnbukan amarah, tapi kerapuhan.
“Kamu terlalu berharga untuk hidupku yang kacau,” ucapnya jujur.
“Aku takut suatu hari… aku justru menghancurkanmu.”
Angel menggeleng, lalu meraih wajah Ken dengan kedua tangannya.
“Ken, lihat aku.”
“Aku di sini bukan karena terpaksa. Aku memilihmu bahkan dengan segala kekacauanmu. begitu juga dirimu yang selalu menerima segala kekurangan aku. ”
Ken bangkit perlahan, duduk di samping Angel. Ia menarik Angel ke pelukannya, kali ini lebih tenang. Jarinya mengusap rambut Angel dengan lembut.
“jika suatu hari aku kehilangan kendali lagi…” bisiknya,
“janji kamu akan tetap datang.”
Angel menyandarkan kepalanya di dada Ken.
“Aku akan selalu datang.”
Lalu ia menambahkan dengan senyum kecil,
“Tapi kamu juga harus berjanji… untuk bertahan.”
Ken mencium puncak kepala Angel lama sebuah ciuman penuh makna, bukan nafsu.
“Aku berjanji.”