Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serpihan ingatan
Setelah malam yang intens, di mana Aluna menyentuh Erick dengan cinta yang jujur dan penuh penyesalan, hubungan mereka mencapai tingkat keintiman yang baru, meskipun masih dibayangi oleh kebohongan dan ancaman Bima.
Namun, Aluna telah berjanji pada dirinya sendiri untuk melindungi momen-momen ini.
Pagi itu, Erick yang manja dan posesif menampilkan sisi baru yang tak terduga, inisiatif yang tenang.
“Lun, hari ini kita libur dari pekerjaan, dari laptop, dan dari semuanya. Sudah lama kita tidak keluar dan menghabiskan waktu! Aku bosan,” ujar Erick saat sarapan, pandangannya tegas. Ia mencondongkan tubuh, matanya menatap Aluna dengan kehangatan yang baru ditemukan.
“Aku ingin kita keluar. Berdua saja. Aku ingin kau menunjukkan padaku tempat favoritmu saat kita masih berpacaran.”
“Kenapa tiba-tiba?” tanya Aluna.
“Aku ingin memegang erat memori yang tersisa ini, Lun,” jawab Erick, menyentuh bekas luka samar di kepalanya dengan gerakan introspektif.
“Aku tidak punya masa lalu, jadi aku ingin membangun masa kini yang kuat. Tunjukkan padaku dimana kita dulu menjadi kita yang sebenarnya.”
Aluna memutuskan untuk mengambil alih kendali, memimpin narasi.
“Baik. Ada sebuah taman yang sangat indah di dekat tempat kuliah dulu. Aku sering kesana untuk membuat sketsa desain. Itu adalah tempat di mana aku merasa paling bebas.”
Aluna mengemudi. Ia memilih sebuah taman kota tua yang tersembunyi, yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan era kolonial, sebuah tempat yang disukai mahasiswa arsitektur.
Tempat itu adalah tempat pelarian Aluna, dan ia yakin Erick yang dulu tidak akan pernah menginjakkan kaki di sana.
Mereka tiba. Taman itu tenang, dipenuhi dengan bangku-bangku kayu usang dan pohon-pohon rindang.
Erick menggenggam tangan Aluna erat. Posesifnya kini terasa seperti jangkar, bukan rantai. Mereka berjalan di sepanjang jalan setapak.
“Indah sekali,” bisik Erick, menghirup aroma tanah basah dan daun kering.
“Kenapa kita tidak pernah ke sini?”
“Aku terlalu sibuk, Rick. Kau tahu itu,” jawab Aluna, kebohongannya kini terasa berat.
“Aku yang bodoh,” kata Erick, menggelengkan kepalanya. “Aku yang bodoh karena tidak pernah membawamu ke tempat yang membuatmu bahagia.”
Mereka duduk di bangku kayu, di bawah naungan pohon beringin tua.
Aluna menarik nafas lega.
Akhirnya, mereka berada di tempat yang hanya milik Aluna, bebas dari bayangan pengamatan Erick yang dulu.
Tiba-tiba, Erick melepaskan tangan Aluna. Ia bangkit dan berjalan menuju sebuah paviliun kecil di tengah taman, tempat patung seorang arsitek berdiri.
“Lun, lihat ini,” panggil Erick, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu yang aneh.
Erick berdiri di depan patung itu, menyentuh pahatan pada pondasi patung.
“Aku suka paviliun ini,” ujar Erick.
“Aku merasa… aku pernah melihatnya. Desain pilar, ukiran di atapnya… sangat Art Deco yang murni. Kau pasti akan senang membuat sketsa ini.”
Aluna berjalan menghampirinya. Ia menyadari sesuatu yang aneh. Patung itu dan paviliun kecil itu adalah fokus sketsa desain utamanya selama semester akhir. Ia ingat berjam-jam duduk di bangku taman itu, bergumul dengan detail ukiran.
“Ya, aku sering membuat sketsa di sini,” kata Aluna.
Erick menoleh, matanya berbinar. Ia berjalan ke bangku kayu lain yang terletak di bawah pohon mahoni, sedikit tersembunyi dari pandangan umum.
“Bangku ini… kau pasti sering duduk di sini,” katanya, menunjuk pada ukiran nama inisial yang samar di kayu bangku itu, inisial A.W. singkatan Aluna Wijaya.
Aluna membeku. Ia tidak pernah memberitahu Erick inisial itu. Ia tidak pernah memberitahu Erick di mana ia duduk.
‘Inisial itu… itu terakhir kali aku kesini!’ batin Aluna sedikit terkejut.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Aluna, suaranya hampir tidak terdengar.
Erick mengerutkan dahi, ekspresinya polos, seperti anak kecil yang tiba-tiba mengingat potongan teka-teki.
“Aku tidak tahu. Rasanya… benar. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang terikat pada bangku ini.”
Erick duduk di bangku itu, menarik Aluna untuk duduk di sampingnya. Ia memejamkan mata, memiringkan kepala ke bahu Aluna, dan menarik nafas dalam-dalam.
“Aku ingat bau ini,” bisik Erick, suaranya pelan dan mengantuk.
“Bau kertas arsitektur, pensil 2B, dan sedikit bau wangi bunga melati yang kau pakai…”
Aluna merasakan shock yang begitu dalam. Itu adalah pengulangan sempurna dari pengamatan Erick di kafe yang ia lakukan secara diam-diam.
Erick yang amnesia, yang seharusnya tidak tahu apa-apa, secara tidak sadar mengulang momen pengamatan tersembunyi dari masa lalu.
‘Dia tidak ingat kafe itu. Dia tidak ingat bu Liliana, tapi alam bawah sadarnya, jiwanya yang terpendam, menuntunnya kembali ke tempat dimana ia mengamati ku yang idealis dan bebas.’
Erick yang sekarang, yang bebas dari ego, kini secara insting kembali ke titik awal cintanya.
Aluna menangkup wajah Erick, memaksanya menatapnya. Matanya penuh air mata, tetapi senyumnya tulus.
“Rick, kau tidak tahu betapa berartinya ini,” bisik Aluna.
“Apa yang berarti, Lun?” tanya Erick, bingung.
“Ini. Tempat ini. Kau membawaku ke sini karena kau mencintaiku,” kata Aluna.
“Kau melihatku di sini, kan? Kau melihatku bekerja.”
Erick memejamkan mata sejenak, lalu membukanya. Tatapannya kembali polos.
“Aku tidak ingat melihatmu di sini, Sayang. Tapi aku tahu, aku sangat mencintaimu. Aku merasa aman di sini, di sampingmu. Rasanya seperti… aku selalu berada di sini.”
Aluna menyadari bahwa Erick yang lama tidak perlu kembali secara utuh.
Erick yang sekarang adalah Erick yang disembuhkan. Tubuhnya, jiwanya, memori emosinya, telah menghapus lapisan ego CEO yang dingin, meninggalkan Erick yang mencintai Aluna sejak lima belas tahun lalu.
Cinta posesif Erick yang sekarang bukanlah ancaman, itu adalah trauma kehilangan yang ia rasakan. Ia memeluk Aluna erat karena takut kehilangan Aluna yang ia amati dan puja.
‘Aku tidak perlu mencari Erick yang lama. Aku harus melindungi Erick yang baru.’
Tiba-tiba, Aluna merasakan ponselnya bergetar di saku. Ia melihat nama di layar ponselnya, dan wajahnya menegang.
Bima.
Aluna tahu, takdir sedang menantinya. Ia telah menghabiskan waktu yang cukup untuk memahami cinta Erick. Sekarang, ia harus melindungi cinta itu.
“Rick, aku harus menjawab telepon ini sebentar. Ini dari kantor. Aku akan segera kembali,” kata Aluna, bangkit dari bangku.
“Telepon saja di sini,” gerutu Erick, tangannya mencoba menarik Aluna.
“Tidak, ini bersifat pribadi. Tunggu aku sebentar, di bangku ini. Jangan bergerak!” perintah Aluna, nadanya keras tetapi penuh kasih sayang. Ia harus pergi ke tempat yang jauh dari pendengaran Erick.
Aluna berjalan menjauh. Ia mengangkat telepon, suaranya tenang.
“Ya, Bima. Ada apa?”
Suara Bima terdengar dingin dan profesional di seberang sana.
‘Saya mendapat konfirmasi, nyonya Aluna. Anda telah menolak tawaran dari kota X. Itu adalah kesalahan. Saya sudah menyiapkan dokumen di meja tuan Erick. Saya tidak akan menunggu lagi. Mari kita selesaikan perceraian ini sekarang, seperti yang diperintahkan tuan Erick.’
Aluna merasakan adrenalin mengalir deras. Bima telah mengambil langkah pertamanya. Sekarang, giliran Aluna.
“Baik, Bima,” balas Aluna, suaranya mantap. “Aku akan datang ke kantor sekarang juga. Kita akan selesaikan semuanya.”
Aluna mematikan telepon. Ia melirik kembali ke bangku. Erick duduk di sana, bersandar di pohon, menunggu dengan sabar, seperti seorang pemuja yang sedang menunggu cintanya.
“Tunggu aku, Sayang. Aku akan kembali sebagai istrimu yang sah, selamanya,” bisik Aluna.
Ia kini menuju Galaxy Group, siap untuk konfrontasi terakhir untuk menghancurkan semua jembatan ke masa lalu mereka.