Seoramg gadis yang berprofesi Dokter harus menikah dengan seorang pria yang ia tolong.
Dokter Manya Aidila adalah nama gadis itu. Usianya dua puluh enam tahun. Bertugas di sebuah daerah terpencil minim sarana dan prasarana. ia bertugas di sana selama tiga tahun dan sudah menjalankan tugas selama dua tahun setengah.
Suatu hari gadis itu mendengar suara benda terjatuh dari tebing. Ia langsung ke lokasi dan menemukan mobil yang nyaris terbakar.
Ada orang minta tolong dari dalam mobil. Dengan segala kekuatanmya ia pun menolong orang yang ternyata seorang pria bule.
Si pria amnesia. Gadis itu yang merawatnya dan ketua adat desa memintanya untuk menikah dengan pria bernama Jovan itu.
Awalnya biasa saja Hingga kejadian menimpa Manya. Jovan dijebak dan pria itu merenggut kesucian gadis itu.
Hingga tinggal dua bulan lagi Manya selesai masa dinas. Jovan yang sudah ingat akan dirinya pergi begitu saja meninggalkan istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RENCANA
Abhizar, Abimanyu, Abigail, Alamsyah, Alaina, Ailika, Abraham tampak seru bermain bola. Dua pasang mata sama memandang keseruan mereka.
Aldebaran Dinata dan Jovan Dinata. Bibir dua pria itu tercetak senyum lebar melihat kelakuan yang begitu fantastis dari para bocah. Bahkan Manya dan empat suster tak luput pujian dari Aldebaran tentang kesabaran mereka.
"Pustel ... pihat imi!" teriak Abigail atau biasa dipanggil Agil melompat dan masuk ke dalam bola.
Burr! Semua saudaranya tertawa namun terhenti karena tiba-tiba Agil menangis.
"Mama ... huuuwwaaa!"
"Baby kenapa?"
Manya langsung masuk ke kolam bola yang hanya dalamnya setengah meter saja itu. Wanita itu segera ke tengah kolam karet yang memang dibawa oleh Manya sendiri dari rumah mereka. Jovan dan lainnya ikut berhamburan ke dekat kolam.
"Baby," Manya mengangkat Agil.
Kaki bayi itu sepertinya lecet akibat gesekan bola. Memang bayi cantik itu melompat sedikit tinggi dan kencang. Keempat suster dan Manya sendiri terlambat mencegah Agil melompat.
"Sakit baby?" tanya Jovan lalu mengambil alih salah satu bayi cantiknya itu.
"Coba bawa sini, biar uyut lihat!" titah Aldebaran cemas.
Jovan membawa putrinya ke arah sang uyut, sedang Manya menenangkan semua anak-anak yang ingin keluar dari kolam.
"Mana sini uyut tiup ya," ujar Aldebaran penuh kasih sayang.
Pria tua yang masih tampan itu meniup luka kecil di kaki Agil. Sebenarnya itu bukan luka yang terlalu serius tapi namanya bayi yang begitu haus perhatian tentu hal sekecil apapun akan dibuat besar oleh para bayi.
"Sudah ... tidak apa-apa, kan Agil jagoan," ujar Aldebaran menenangkan salah satu cicitnya itu.
"Adil butan jadoan ... hiks ... hiks ... Adil bilintes ... hiks!"
"Hah, apa katanya?" Aldebaran tak mengerti.
"Dia itu princess kek," sahut Jovan.
"Astaga, jauh sekali antara princess dan bilintes itu," sahut pria gaek itu gemas.
"Adil ... Adil ... tamu eundat pa'a-pa'a?" tanya semua saudaranya.
Perut bundar dan pipi kemerahan serta tubuh montok membuat gemas Abraham. Pria itu mengigit pura-pura paha Abimanyu hingga membuat bayi itu marah luar biasa.
"Popa ... jwjheushniwimwjwhqhjwk isihnsjmqkaihshw behunuwjnhbubeeeewwrrrr!"
Abraham bukannya takut, ia makin gemas.
"Popa lapar, mau makan daging,"
"Jenheujwjwhusu!" larang Abi sambil menggoyangkan telunjuknya.
Maira juga sangat gemas melihat ekspresi cucunya itu.
"Mama ... moma, popa lan puyut matal!" adu Ailika.
Tiga bayi perempuan memakai baju renang lucu lengkap dengan penutup dadanya sedang yang laki-laki hanya memakai celana bagian bawah saja. Padahal tak ada air di kolam bola itu.
"Nih, suster ada jus alpukat loh," sahut salah satu suster membawa tujuh gelas dengan isi alpukat dan susu coklat.
"Mawu!" teriak semuanya.
Bahkan Agil lupa dengan kaki lecetnya. Bayi itu melompat dari pangkuan Aldebaran.
"Biarkan para maid membersihkan itu Manya," ujar Maira ketika melihat menantunya hendak membersihkan tempat main anak-anak.
Semua bayi bisa makan jus alpukatnya sendiri. Walau muka mereka celemotan kemana-mana. Hal itu membuat Jovan dan Abraham—ayahnya tak berhenti menciumi pipi para bayi.
Manya meminta para maid untuk menyimpan kembali ke tempat di mana ia simpan.
"Baik nyonya," sahut salah satu maid.
Manya jadi ingat dengan dua maidnya di rumah. Wanita itu akan mengatakan untuk kembali ke huniannya hari ini.
Anak-anak sudah mandi dan bersih. Luka lecet Agil telah diplester dengan motif beruang kecil.
"Mi, Pi. Maaf ya, hari ini aku mau pulang ke rumah, kasihan sama maid di rumah," ujar Manya.
"Oh, kamu sendiri?" tanya Maira menuang teh pada ayah mertuanya.
Mereka kini tengah menonton kartun anak-anak dan para bayi tengah tiduran di karpet dengan botol susu di mulut mereka masing-masing.
"Ya, bawa anak-anak juga lah," sahut Manya santai.
"Apa?!" seru Abraham, Aldebaran dan Maira bersamaan.
"Kamu mau pisahin mami sama cucu-cucu mami?!" tanya wanita itu dengan mimik sedih.
"Ma, weekend besok kita nginep lagi," sahut Manya meyakinkan.
"Kamu tinggal sini aja ya," pinta Abraham.
"Trus rumahku dan dua maidku bagaimana?" tanyaku.
"Sudah empat hari kutinggal, aku takut rumahku tiba-tiba hanya tinggal atapnya saja," keluhku.
"Mana masih nyicil tiga tahun lagi," cicitnya lirih.
"Apa, kau mencicil rumah itu?" Manya mengangguk.
"Kok?" tanya Aldebaran.
"Kakek, anakku tujuh, suster empat, maid dua. Gaji dokter umum memang berapa?" sahut wanita itu sedikit mencebik.
"Masih syukur aku bisa memenuhi kebutuhan anak-anak ... selama dua tahun ini," ujarnya lagi.
"Maafkan aku sayang," ujar Jovan memeluk istrinya dari belakang.
"Maaf membuatmu melewati penderitaan selama dua tahun kemarin," ujarnya penuh penyesalan.
Manya, Abraham dan Aldebaran diam. Mereka justru salut dengan wanita yang begitu tangguh ini. Mengandung selama sembilan bulan sepuluh hari dengan tujuh bayi dalam perutnya. Belum ketika melewati trimester pertama, awal pergerakan bayi-bayi. Maira membayangkan betapa ia begitu menderita ketika hamil Jovan ketika di usia nyaris tiga puluh tahun itu. Terlebih janin Jovan sangat aktif ketika di dalam kandungan.
"Aku mengerti sayang, baiklah. Tapi aku melarangmu membawa semua cucuku bekerja ke rumah sakit!" larang Maira.
"Aku ingin lihat rumah cucu menantuku ini!" seru Aldebaran tiba-tiba.
"Rumahnya kecil tuan, hanya ada lima kamar, tiga kamar utama dan dua kamar maid," jawab Manya.
"Ya, aku ingin lihat!" sahut pria itu yakin.
Akhirnya Manya pulang bersama para bayi plus kakek, nenek dan uyut dari tujuh anak kembarnya termasuk ayah dan empat suster.
Mobil Manya tidak lagi digunakan. Mereka memakai mobil khusus dan pas bersama empat suster. Kemarin Jovan salah menempatkan bayi-bayinya.
Mereka pun sampai pada rumah sederhana milik Manya. Kini mereka duduk di ruang tengah dengan secangkir coklat dan churros buatan Manya.
"Mama ... enat mama ... pasih banat eundat sulosna?" pinta Abraham dengan mulut penuh dengan makanan dan mukanya celemotan coklat. Jovan membersihkan wajah putra dan putrinya itu dengan tisu basah.
"Tentu ada baby," ujar wanita itu meletakkan kembali churros di dalam piring dengan jumlah banyak.
"Abraham kecil benar. Masakanmu enak sayang," puji Maira senang.
Manya tersenyum. Aldebaran bangkit dan melihat seisi ruangan yang ia rasa sempit tapi hangat itu. Di belakang ternyata Manya membuka lahan agar ada tempat bermain bola seperti di mansion.
"Kapan kalian mendeklarasikan tujuh cicitku ke publik?" tanya pria itu lalu duduk kembali setelah melihat-lihat.
"Kemungkinan besok atau lusa, dad," jawab Abraham.
"Maaf, kalau bisa apa tidak bisa dibatalkan pengumumannya?" ujar Manya sedikit takut.
"Maaf, Manya. Mereka adalah penerus Dinata. Memang setelah ini tujuh anakmu dalam bahaya, tapi aku memastikan mereka aman di bawah pengawasanku, aku tak mau terjadi sesuatu seperti Jovan dua tahun lalu," sahut Aldebaran tegas.
Manya meminta pada suaminya. Sayang, tak ada satu pun yang mendukung wanita itu. Ketujuh anak kembarnya harus muncul ke publik demi kestabilan bisnis dan pengukuhan keturunan Dinata.
Sementara di tempat lain, seorang gadis begitu marah luar biasa. Semua barang branded berhamburan di lantai. Gadis itu mengamuk sejadi-jadinya akibat kabar yang baru saja ia dengar.
"Jovan ... kenapa kau malah menikah dengan janda beranak tujuh!"
bersambung.
eh ... Leti ... kamu nggak salah info kan?
next?
kurang ngudeng aku