Warning!!!!!!!!
ini adalah novel yang sangat menguras emosi bagi yang tahan silahkan di lanjut kalau yang tidak yah, di skip aja
kalo mental baja sih aku yakin dia baca!!
Tak bisa memberikan anak adalah sesuatu yang sangat menyakitkan bagi seorang wanita. Hal itu bisa meruntuhkan hubungan baik yang sudah tertata rapi dalam sebuah ikatan pernikahan. Dia adalah Rika, wanita yang berhayal setinggi langit namun yang di dapatkannya tak sesuai ekspektasi.
Dirinya mandul? entahlah, selama ini Rika merasa baik-baik saja. lalu kenapa sampai sekarang ini iya masih belum punya anak?
Mungkin ada yang salah.
Yukk!! ikuti kisahnya dalam menemukan kebenaran.
Kebenaran harus diketahui bukan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrena Rhafani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 29
Dengan takut-takut, Bi Maya menggoyangkan tubuh sesosok pria yang sudah tak menjawab itu.
Ditepuknya beberapa kali namun Dion masih diam saja. Dengan penuh keberanian, iya memegang pergelangan tangan majikannya. Iya harus memastikan apakah Dion masih hidup atau tidak.
"Oh, syukurlah. Tampaknya nadinya masih berdetak." Ucapnya lega.
Tanpa menunggu lagi, segera Bi Maya melakukan panggilan ke pada Rika yang masih berada di rumah ibu dan ayahnya.
"Halo bu, anda dimana?" Sapanya dengan nada yang masih paniknya.
Rika mengangkat ponselnya dan menjawab suara yang dikenalinya dari telepon. Tadinya iya sedang duduk di kursi sofa sembari menonton acara televisi.
"Bi Maya, ada apa?"
"Sekarang! Anda harus pulang. Tuan, iya terluka parah."
"Apaaa!!!"Kaget Rika.
Kabar duka baru saja iya terima dari pelayan yang sudah bekerja tahunan di rumahnya.
Tanpa menunggu lagi, Rika langsung bangkit dan mengambil tas yang terletak di sampingnya. Iya harus pulang dan melihat keadaan suami yang sangat dicintainya. Meskipun malam sudah larut, itu bukan jadi halangan baginya untuk melihat kondisi suaminya.
"Rikkk! Mau kemana?" Tanya Bu Rossa menghampiri anaknya yang tampak sedang panik.
"Mah, mas Dion. Dia habis dipukuli orang. Dia terluka parah sekarang."
Bu Rossa tak kaget mendengar musibah yang menimpa menantunya. Ekspresinya nampak biasa saja. Rasa peduli sama sekali tak iya tunjukkan di wajahnya.
"Terus, kamu mau apa? mau pulang?"tanyanya sembari meletakkan secangkir teh di meja lalu duduk di kursi sofa.
"Iya Mah. Rika harus pulang. Dia pasti butuh aku sekarang ini."Cakapnya dengan nafas yang terasa menggebu. Rika sangat panik mengetahui kondisi suaminya.
Bu Rossa menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar. Tanpa melihat ataupun melirik anaknya yang cemas itu, iya kembali berucap.
"Waktu kamu sakit, apa dia sekhawatir ini sama kamu? Apa dia ada di samping kamu? Apa dia peduli denganmu?" Pertanyaan itu untuk mengingatkan perlakuan buruk dion terhadap Rika anaknya.
Wanita panik itu sontak diam mendengar lontaran perkataan ibu tercintanya. Jelas saja Rika mengingat semuanya.
Bahkan air matanya seakan tumpah kala mengenang perlakuan tak adil dan mengenakkan suaminya. Sampai kapanpun, Rika tidak akan pernah melupakannya. Semua itu sudah tertanam di dalam benaknya.
Setetes air putih bening lolos dari salah satu matanya. Dengan penuh rasa ketidak berdayaan, Rika menjatuhkan tubuhnya di atas sofa samping ibunya duduk. Selama ini, Dion memang sudah banyak melukai hatinya. Tangis derai air mata hampir tiap saat membasahi kedua pipinya. Belum lagi penghinaan kejam dari sang ibu mertua.
Semua itu seakan mengiris habis jiwa dan perasaan seorang Rika. Tapi iya bisa apa? Dion telah resmi menjadi pendampingnya. Mau bagaimana pun, Dion tetaplah suaminya.
"Mah, mas Dion adalah suamiku aku punya kewajiban untuk mengurus dirinya. Iya, memang dia telah melukaiku.
Tapi kewajiban itu tak boleh ditinggalkan apapun yang terjadi."
Bu Rossa menatap tak habis fikir kepada putrinya. Bagaimana mungkin anaknya itu masih bisa berfikir untuk pulang dan mengurusi suami yang jelas-sudah melukainya itu. Rika sakit pun dion bahkan tak peduli.
Entahlah. Jika ini memang kemauan Rika, Bu Rossa bisa apa. Dion memanglah suaminya. Iya tak punya hak untuk melarang.
Cukup lama Bu Rossa menahan perkataannya. Iya kembali menyempatkan untuk menarik nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya perlahan. Melepaskan putrinya harus iya lakukan.
"Baiklah, terserahmu saja."
Sebelum pergi, Rika mencium pundak jari wanita yang sangat disayanginya itu. Kembali iya menguatkan hati dan jiwanya untuk bertemu sang suami.
****
Satu jam kemudian, Rika sampai di rumahnya. Kondisi bangunan megah itu nampak sepi. Hanya pelayan rumahnya, Bi Maya yang iya dapati berdiri di teras menunggu dirinya.
Dengan langkah terburu-buru, Rika memasuki rumah miliknya.
"Bi! Bantu saya untuk membawa mas Dion ke rumah sakit." Titahnya kepada pelayan yang sedang mengekor di belakangnya.
"Baik."
Kini Rika telah membopong tubuh suaminya yang memar dimana-mana itu. Dibantu oleh Pelayan setianya, Rika pun memasukkan suaminya ke dalam mobil yang tadi ditumpanginya.
Segera setelahnya, kendaraan roda empat itu pun melesat dan mulai menyusuri sepinya jalan raya yang kini tak lagi padat akan pengemudi lain. Panik, tentu saja iya rasakan sampai sekarang ini.
Keesokan harinya, Dion mulai terbangun dari tidur panjangnya. Meski terasa berat, perlahan iya buka matanya. Dari kedua Indra penglihatannya, iya melihat sosok bayang seorang wanita cantik sedang duduk di samping tempatnya berbaring.
"Mas!! Kamu sudah sadar?"ujar Rika setelah melihat suaminya siuman.
Kini penglihatan Dion perlahan kembali normal. Perban melekat di tubuhnya serta jarum infus melengket di tangan kirinya. Dengan sekuat tenaga, iya berusaha bangkit dari tempat tidurnya.
Rika yang melihat itu tentu saja tak membiarkannya. Segera iya menghentikan pergerakan sang suami.
"Mas, jangan bangun dulu, tubuhmu masih lemah."
"Rik, reta mana?"
Srekkkkk.
Lagi dan lagi pertanyaan menyakitkan yang keluar dari kedua celah bibi itu.
"Sebentar lagi dia ke sini." Jawab Rika dengan penuh kekuatan dan ketabahan. Iya sudah berjuang untuk menyelamatkan suaminya.
Namun apa yang didapatkannya? Nama perempuan lain yang pertama kali diucapkan oleh pria pujaanya itu.
Rika mengambil semangkuk bubur yang terletak di atas nakas. Iya hendak menyuapi suaminya yang belum makan dari semalam.
"Mas ayo makan dulu."
Dion menolak dengan cara memalingkan wajahnya.
"Tidak, aku tunggu Reta saja. Baru aku makan."
Dengan nafas kasar, rika kembali meletakkan nasi hambar semangkuk itu. Iya harus sabar menghadapi sikap dan perlakuan suaminya. Dion sakit makanya iya harus menahan secara dalam kesabarannya.
"Yasudah, Mas minum saja dulu."kata Rika dengan segelas air putih di tangannya.
Dion kembali menggeleng kepalanya. Dari mulutnya, lagi-lagi kalimat penolakan yang keluar.
"Mas tunggu reta dulu Rik, baru minum." Mendengar itu Rika sudah tak habis pikir lagi. Dari awal hingga sekarang, hanya nama perempuan lain yang disebut-sebut suaminya. Hati istri mana yang tak sakit. Entah apa yang bisa reta lakukan untuk Mas Dion?
Nampaknya kesabaran Rika benar-benar teruji sekarang. Semua itu terlihat jelas di wajah wanita cantik itu.
Perkataan suaminya memang terdengar kecil dan nampak biasa saja. Tapi bagi seorang Rika, ucapan itu amat sakit dan menyayat hati. Sedikit rasa penyesalan menyinggahi hatinya. Percuma iya ada di sini kalau suaminya bahkan tak menghargainya.
Jika saja iya menuruti perkataan ibunya, pasti dirinya tak perlu ada dalam situasi sulit sekarang ini.
Untuk menahan amarahnya, wanita yang masih terlihat muda itu beranjak lalu duduk di kursi sofa yang ada di belakangnya. Dengan letih, iya menyandarkan tubuh angsiknya.
Suasana kini terasa sepi.
Tak ada di antara mereka yang menyahut ataupun berucap. Sesekali Dion hanya melirik ke arah istrinya yang nampak sedang memejamkan mata itu. Rika pasti capek karena mengurusinya semalaman.
Mau diapa? itu memanglah tanggung jawab baginya.
"Rik!" Panggil Dion ditengah kesunyian nya.
........ happy reading.......
like and vote
hy teman yang baik hati, gimana karya aku seru gak? kalau seru, tolong bantu aku buat ngelanjutin ceritanya yah. caranya gampang kok, kalian tinggal tekan tombol yang bertuliskan LIKE and VOTE itu aja kok.
GAMPANG KAN!!!!!
skip lah.. bosan