follow Ig : dhee.author
Mungkin ini tidak sepantasnya. Tapi apa daya kalau Mika terlanjur dibuat nyaman oleh kakak iparnya sendiri.
Sedangkan lelaki yang dia sebut suami, dia lebih mementingkan wanita lain ketimbang dirinya.
Nalurinya sebagai perempuan yang haus akan perhatian sudah terpenuhi oleh kakak iparnya, Gavin.
Hingga perlahan cinta itu tumbuh dan tak bisa dicegah lagi. Rasa ingin memiliki itu begitu kuat. Sekuat rintangan yang harus mereka lalui agar bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 29
Rindu yang sangat menyakitkan adalah rindu kepada orang yang jasadnya sudah berkalang tanah. Rindu yang tak akan pernah bisa dituntaskan dengan cara apapun.
Mikha terlalu sibuk memikirkan nasib hidupnya hingga dia lupa untuk mengunjungi rumah kakaknya.
Entah kapan terakhir Mikha datang, dia pun bahkan tak mengingatnya.
Susah payah Mikha membawa mawar-mawar pemberian Gilang. Mikha ingin meletakkan mawar-mawar itu di rumah Maulida.
Jika Gilang tak datang untuk meminta maaf langsung pada Maulida, biar bunga-bunganya saja yang mewakilkannya.
Namun ternyata dugaan Mikha salah. Kedatangan Mikha di rumah Maulida justru disambut dengan senyuman hangat dari Gilang. Dia juga membawa bunga untuk Maulida meskipun tak sebanyak bunga yang diberikan pada Mikha.
"Kita ketemu lagi." Gilang berucap pelan. Mata merah Gilang menjadi tanda bahwa dia baru saja menangis di hadapan Maulida. Mikha sempat tertegun dibuatnya.
Mikha pun tersenyum dan mengangguk. "Iya. Udah lama?"
"Udah. Ini mau pulang. Aku habis minta maaf sama Maulida."
"Terimakasih, ya. Kak Uli pasti maafin Lo, kok."
Gilang menganggukkan kepalanya. "Iya. Semoga, ya. Aku pamit dulu."
Mikha memandang Gilang yang berjalan meninggalkan makam Maulida dengan lesu.
Entah apa yang ada dipikiran Gilang. Bibirnya memang menyunggingkan sebuah senyuman. Tapi matanya tak bisa berbohong jika dia sedang memikirkan sesuatu.
Mikha menghembuskan napas panjang. Sudahlah, pikirnya. Dia dan Gilang sudah selesai. Harapannya hanya semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuk dirinya dan Gilang.
"Hai, Kak," sapa Mikha pada nisan yang bertuliskan nama Maulida. "Maaf, aku baru datang sekarang setelah sekian lama. Aku terlalu sibuk memikirkan hidupku yang berantakan," lanjutnya.
"Gilang datang ke sini, Kak. Dia minta maaf sama kakak, kan? Akhirnya, ya? Semoga kakak maafin dia, ya." Mikha terus bicara meskipun hanya hembusan angin sore yang seolah menjadi jawaban atas apa yang dia ucapkan.
"Aku juga bawa bunga-bunga dari dia buat kakak. Kakak juga suka mawar merah, kan? Aku taruh sini ya, kak, biar rumah kakak semakin bagus."
Mikha menyusun bunga-bunga tersebut ke dalam vas bunga yang ada di atas pusara Maulida. Sedangkan sebuket bunga yang di bawa Gilang dia letakkan di samping nisan.
"Aku pamit, ya, Kak. Kapan-kapan aku ke sini lagi."
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Mikha ceritakan. Tetapi waktu sudah hampir gelap. Karena Mikha sedikit penakut, Mikha harus segera pulang.
"Ssstt!!!"
Bulu kuduk Mikha berdiri seketika mendengar suara tersebut. Baru saja berniat untuk pulang, Mikha sudah diganggu.
Wajah Mikha semakin ketakutan saat menoleh ke segala arah, tapi tak menemukan satu orangpun.
"Lang, Lo masih di sini?"
"Sssttt!"
Jantung Mikha berdegup kencang. Kakinya sudah gemetaran mendengar suara itu lagi. "Gilang jangan bercanda!" ucapnya hampir menangis.
"Sssttt!"
"Huaaaa... Mamaaa!!!"
Mikha berlari sekencang mungkin meninggalkan makam Maulida. Pintu gerbang pemakaman hanya sekitar tujuh puluh lima meter. Tapi rasanya Mikha harus berlari sepanjang puluhan kilometer. Jauh dan tak kunjung sampai.
Mikha juga tak mau menoleh ke belakang. Takut ada makhluk lain yang mengejarnya.
"Dor!!!"
"Aaaaaaa!" Teriakan Mikha seiring dengan matanya yang terpejam erat saat pundaknya ditepuk oleh seseorang. "Ampun! Kan, saya nggak ganggu kamu. Kenapa kamu gangguin saya? Saya cuma mau ziarah ke makam kakak saya. Jangan usil, dong."
Tak berselang lama, tawa kecil yang suaranya sangat dia kenali itu terdengar di telinga Mikha.
Perlahan Mikha membuka kedua matanya. Saat itu dia sudah melihat Gavin yang berdiri di hadapannya dengan memasang wajah tak bersalah sudah membuat Mikha ketakutan.
"Kak Gavin?"
"Penakut banget, sih?"
"Iiihhh, nggak lucu!" Mikha memukul dengan keras lengan Gavin. "Aku beneran ketakutan, kak. Untung aku nggak jantungan. Nyebelin banget jadi orang! Lagian ngapain kakak di sini?"
Tawa Gavin belum juga terhenti. Melihat Mikha ketakutan menjadi hiburan tersendiri untuknya.
"Nggak lucu!" Dengan cepat Mikha melangkahkan kakinya meninggalkan Gavin. Rasanya sangat kesal Gavin mengerjainya sampai dia ketakutan.
"Maaf, Sayang. Kan, cuma bercanda."
"Aku bilang nggak lucu."
"Mikha, tunggu!"
"No!"
"Tadi ada yang meninggal mau di kubur di sini. Kayaknya udah sampai di depan."
Mendengarnya, Mikha langsung membalikkan badannya dan berlari mendekati Gavin. Dan Gavin pun tak kuasa untuk menahan tawanya.
"Bercanda lagi, ya? Ngerjain aku lagi?" tebak Mikha sambil menengok ke kanan dan ke kiri. "Ih, orang nggak ada yang gali kubur, kok. Dasar nyebelin!"
"Tunggu, Sayang! Jangan lari lagi."
"Apa, sih, Kak? Aku sebel banget sama kakak. Udah tau aku penakut ngapain Kakak kayak gitu? Mana di kuburan lagi."
"Iya, maaf."
"Nggak mau. Mau marah aja sama kakak."
"Yakin mau marah aja?"
"Iya-lah."
"Bakso mau nggak?*
"Ih, emang aku cewek apaan? Masa dibujuknya pakai bakso."
"Tas branded harga empat ratus juta mau?"
"Empat ratus juta buat beli tas doang sayang banget uangnya. Empat ratus juta dibeliin bakso dapat sekalian warungnya. Bisa buat usaha juga."
"Katanya nggak mau bakso?"
Mereka terus berdebat sepanjang perjalanan menuju parkiran.
"Lagi diet."
"Orang udah kurus begitu ngapain diet? Mending besarin tuh aset biar gemoy sedikit."
"Ih, kak Gavin!!!"
Lagi-lagi Gavin tak sanggup menahan tawanya. Menggoda dan membuat Mikha kesal adalah suatu kesenangan untuknya.
Sore itu akhirnya mereka berakhir di sebuah warung bakso yang berjarak dua ratus meter dari pemakaman umum.
"Kakak ngapain di pemakaman?" Mikha membuka suara disela kesibukannya menikmati semangkuk bakso.
"Kalau makan jangan sambil bicara. Bisa kesedak nanti."
"Dih, kakak juga bicara."
Gavin menggelengkan kepalanya pelan. Bukan Mikha kalau tidak bisa menjawab segala apa yang diucapkan Gavin.
"Ngapain kakak ke pemakaman? Ngikutin aku, ya?" desak Mikha masih penasaran. Jelas. Pertanyaannya yang satu itu tak kunjung mendapatkan jawaban.
"Nggak ngapa-ngapain. Kan, ngikutin kamu? Mau ngerjain kamu."
"Ih, nyebelin."
"Kamu baikan sama Gilang?"
"Baikan gimana maksudnya?"
"Batalin gugatan cerai kamu, misalnya."
Sebelum menjawab, Mikha lebih dulu memakan sebutir bakso. Meminum es jeruk setelah menelan kunyahan bakso tersebut.
"Jawab!"
"Katanya kalau lagi makan nggak boleh sambil ngomong."
Gavin melebarkan kedua matanya mendengar jawaban Mikha yang meniru jawabannya sebelumnya.
"Bisa banget kalau jawab. Mikha memang luar biasa. Cuma Mikha yang berani kayak gini ke aku."
"Wah. Iya, ya, Kak? Hebat ya aku?" Mikha tertawa keras.
"Udah, tinggal jawab aja apa susahnya, sih?"
"Darimana kakak bisa menyimpulkan kalau aku baikan sama Gilang? Kakak nguping, ya?"
"Nggak sengaja dengar."
"Berarti kakak udah lama, dong, di makam?"
Gavin terdiam sebentar. "Nggak juga. Barengan sama kamu orang di bilang tadi aku ngikutin kamu, kok," jawab Gavin.
"Ih, ketahuan, kan?"
"ketauan apanya? Kan aku udah bilang dari tadi kalau ngikutin kamu. Mending jawab pertanyaan kakak, Mikha Sayang. Jangan mengalihkan pembicaraan terus."
Mendengarnya, Mikha menatap Gavin dengan bibir yang menyunggingkan senyuman menggoda.
"Ngapain malah senyum-senyum kayak gitu?"
"Kakak cemburu, ya?"
Gavin melengos tak suka. Yang dia mau Mikha langsung memberikan jawaban. Bukan malah mengajaknya main tebak-tebakan.
"Ih, ngambek!"
Tak ingin melihat Gavin marah, Mikha menceritakan apa yang terjadi hari ini antara dirinya dan Gilang.
Gavin menatap Mikha dengan tatapan yang tak bisa Mikha artikan setelah mendengar cerita Mikha. Tatapan tersebut menyimpan banyak hal yang Mikha rasa masih disimpan rapat oleh Gavin.
"Kenapa, Kak? Kakak marah?" tanya Mikha menuntaskan rasa penasarannya.
Gavin menggelengkan kepalanya pelan. "No," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari kedua mata Mikha. Mikha sampai salah tingkah dibuatnya.
"Lalu?"
"I'm proud of you," ucap Gavin disertai dengan usapan lembut di kepala Mikha.
🌹🌹🌹
Maaf baru sempat upload... hari ini agak pusing, ya. tapi tetap berusaha mengumpulkan ide dan mood buat nulis. semoga masih suka, semoga masih ada yang nunggu part selanjutnya. terimakasih. 😘😘😘