Tiffany, tiba-tiba dijemput oleh kedua orang tua kandungnya. Berharap ini awal kebahagiaan darinya, dimana gadis miskin yang ternyata anak dari keluarga kaya.
Namun tidak, inilah awal dari neraka baginya. Meira yang selama ini tinggal bersama keluarganya, melakukan segala cara untuk menghancurkan Tiffany.
Membuatnya dibenci oleh keluarga kandungnya, dikhianati kekasihnya. Hingga pada akhirnya, mengalami kematian, penuh kekecewaan.
"Jika dapat mengulangi waktu, aku tidak akan mengharapkan cinta kalian lagi."
***
Waktu benar-benar terulang kembali pada masa dimana dirinya baru dijemput keluarga kandungnya.
Kali ini, dirinya tidak akan mengharapkan cinta lagi.
"Kalau kamu menolakku, aku akan bunuh diri." Ucap seorang pemuda, hal yang tidak terjadi sebelum waktu terulang. Ada seseorang yang mencintainya dan mengharapkan cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KOHAPU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Save
Turun dari mobil setelah diantar oleh Roy. Beberapa pesan masuk ke handphonenya. Sebuah pesan dari Martin.
'Jadi kakakmu yang mengantar?'
Dengan cepat Tiffany membalas.
'Iya, padahal aku berfikir untuk menciummu di dalam mobil.'
Tiffany menghela napas, Martin impoten, malahan itu lebih baik. Tidak apa-apa seumur hidup merawat pria cacat, itu lebih baik daripada tetap tinggal dengan keluarganya yang akan menjadi budak Meira.
'Setelah menikah aku akan membuatmu mengandung anak kita.'
Kembali balasan Martin masuk, dengan cepat pula Tiffany membalas.
'Aku siap pasrah...'
Tentu saja itu hanya bualan Tiffany, dirinya tidak mencintai Martin. Hanya memanfaatkannya saja hingga menikah, kemudian tinggal dan merawat Martin layaknya perawat yang mengasuh pria cacat.
Sementara itu di tempat lain, suara notifikasi pesan masuk berbunyi. Seorang pemuda tengah menatap ke arah sekat kaca di hadapannya, yang menampakkan gedung-gedung perkantoran tinggi menjulang.
"Dia membalas pesanmu?" Tanya sang ibu menatap putranya tersenyum-senyum sendiri.
Pemuda yang kemudian berbalik, melangkah mendekati ibunya."Dia membalasnya, benar-benar gadis nakal." Martin menghela napas melonggarkan dasinya.
Kursi roda sejatinya masih berada di sudut ruangan saat ini. Segalanya adalah kebohongan dari awal. Bahkan jauh sebelum bertemu dengan Tiffany kembali. Ada alasan tersendiri mengapa Martin dan Arelia melakukan segalanya.
"Martin, wanita itu dinilai dari moralnya. Bukan dari dadanya." Arelia menghela napas kasar.
"Memang moral Tiffany tidak baik?" Tanya Martin.
"Sekarang ibu tanya apa saja prestasi Tiffany? Setidaknya di bidang akademis. Agar ibu yakin dia siswa yang baik." Arelia masih terlihat tenang.
"Moris (adik sepupu Martin), beberapa bulan lalu dia menjadi juara satu olimpiade matematika tingkat nasional bukan?" Tanya Martin.
Arelia tertawa."Itu memalukan Moris menjadi juara satu, karena menyuap juara dua untuk mengalah."
"Tiffany juara duanya." Martin mengangkat salah satu alisnya. Menunjukan foto tiga pemenang olimpiade matematika tingkat nasional dari internet.
Sang ibu meraihnya dengan cepat."Dia ..."
"Ibu, dia adalah menyelamatku, sudah aku bilang jangan meragukan pilihan putramu." Martin menghela napas kasar.
"Baik! Baik! Makanya ibu tidak ikut campur sama sekali. Ibu akan berusaha mengenalnya lebih dalam." Arelia menghela napas kasar.
Beberapa bulan ini Martin telah mulai memimpin perusahaan mendiang ayahnya. Tidak disangka, hal pertama yang diminta oleh Martin adalah melamar seorang gadis. Putranya memang penuh dengan kejutan.
"Ibu, bagaimana caranya agar setelah menikah bisa langsung hamil?" Tanya Martin pada ibunya.
Hal yang membuat Arelia tersedak hingga terbatuk-batuk."Kenapa ingin segera punya anak?"
"Karena Tiffany tidak mencintaiku. Lebih tepatnya, belum mencintaiku..." Jawab Martin penuh senyuman. Mengetahui segalanya, tapi tetap ingin memaksakan kehendak.
***
Melangkah menelusuri lorong sekolah setelah di skors. Perlahan langkah kaki yang mengikutinya terdengar, membuat Tiffany sedikit melirik. Itu adalah Tiara yang mengintip diam-diam dan mengikutinya.
Tiffany menghela napas kembali berjalan, dalam otaknya memikirkan hal lain. Hingga kala melewati ruang kesenian, satu hal terbayang, membuatnya berbalik menatap ke arah Tiara.
Sebelum waktu terulang, ada siswi yang pindah, karena mengalami pembullyan ekstrim. Apa itu Tiara?
Tiffany tidak begitu ingat, karena sibuk mengurusi masalah yang ditimbulkan Meira. Melangkah mendekati Tiara, mengamati wajahnya baik-baik.
"Tiffany! Mau ya berteman denganku." Pinta Tiara penuh harap.
"Tidak!" Jawab Tiffany, pada akhirnya kembali bersikap masa bodoh.
Dirinya melangkah cepat, sialnya Tiara bagaikan anak anj*ng terlantar yang mengikutinya.
"Tiffany! Aku mau melakukan apa saja untuk berteman denganmu. Termasuk mengganggu Meira. Bagaimana jika kita merusak pakaian olahraganya saja?" Kalimat dari Tiara membuat langkah Tiffany terhenti.
Gadis itu menghela napas."Itu tidak menyenangkan. Aku lebih suka memukulnya secara langsung."
"Tiffany..." Tiara hanya dapat menghela napas, menatap Tiffany yang memasuki kelas.
Jam pelajaran dimulai beberapa puluh menit kemudian. Diana yang sempat mengalami pembullyan kini mulai kembali mengajar. Tapi kini memiliki pandangan sinis yang berbeda pada Meira. Lebih memilih mengabaikan untuk sementara waktu ini. Setidaknya untuk sementara, dirinya lebih memilih berpihak pada Tiffany untuk selanjutnya.
***
Saat itu jam istirahat telah dimulai. Seperti biasanya juga, tidak ada orang yang bersedia makan bersama Tiffany. Hanya makan seorang diri, menghela napas sedikit berfikir.
Matanya menelisik, untuk sementara waktu Meira tidak akan berani menganggu nya. Tapi entah kenapa perasaannya tidak enak, menghentikan aktivitas makannya, memutuskan untuk pergi ke toilet, guna mencuci muka, menyegarkan diri.
Hingga langkahnya terhenti, suara keributan terdengar di dalam sana.
"Jangan! Aku mohon!" Suara Tiara yang menjerit.
"Kamu sudah berani melawan, hanya karena dekat dengan wanita iblis (Tiffany)." Suara tawa seorang siswi terdengar."Kita lihat bagaimana wanita iblis itu akan melindungimu."
"Aku hanya menyuruhmu membeli kopi starb*ck. Apa begitu sulit dasar sial!" Ucap siswi lainnya, menyiram Tiara menggunakan air kotor.
Kacamatanya diinjak hingga pecah berkeping-keping.
"Buka pakaiannya! Kita rekam, agar dia menjadi lebih penurut." Kalimat yang terdengar oleh Tiffany dari balik pintu toilet.
"Aku tidak akan terlibat." Gumamnya hendak pergi.
Namun, langkahnya terhenti. Sebagai wanita jahat, ini tidak dapat dibiarkan.
"Aaagghhh!" Suara teriakan Tiara samar terdengar, mungkin tengah meronta-ronta.
Pada akhirnya Tiffany berbalik, membuka pintu. Pemandangan itu terlihat, beberapa kancing pakaian Tiara terlepas. Kedua tangannya dipegangi oleh dua orang siswi, sedangkan siswi satunya membuka pakaian Tiara sembari merekam.
Mereka bagaikan membeku tidak bergerak. Siapa yang berani dengan siswi yang dianggap paling jahat di sekolah ini.
Sedangkan Tiara hanya menunduk dan menangis merasa benar-benar malu di hadapan Tiffany. Ingin meminta pertolongan, tapi juga sadar diri.
Tiffany melangkah masuk, mencuci wajahnya di wastafel. Apa Tiffany tidak peduli? Itulah yang ada dalam benak mereka.
Tiffany mencuci tangannya menggunakan sabun. Kala mereka hendak melanjutkan aksi mereka, suara itu pada akhirnya terdengar.
"Kalian tidak pergi?" Tanya Tiffany, pada siswi bernama Hani, Tia, Meisya. Tanpa menoleh sama sekali, hanya menatap pantulan bayangan mereka di cermin besar di hadapannya.
"Kamu yang seharusnya pergi..." Ucap Hani, mengepalkan tangan. Harus berani menghadapi wanita jahat ini.
Tapi...
Bug!
Tiffany menendang wajah Hani, benar-benar meninggalkan jejak sepatu tanda cintanya di wajah Hani.
"Kalian lupa? Siapa yang jahat dan siapa yang baik disini." Tiffany tersenyum menyeringai.
Tia hendak melawan, tapi dengan cepat dilumpuhkan oleh Tiffany yang memang mengikuti ekstrakulikuler judo di sekolah lamanya. Walaupun sedikit dirinya bisa bela diri.
Rambut Tia dijambak olehnya, dicelupkan ke dalam kloset."Yang kalian lakukan itu bukan pembullyan, biar aku ajari apa itu pembullyan."
Sedangkan Meisya melepaskan tangannya dari Tiara, hendak pergi melarikan diri.
"Laporkan pada guru, maka aku menunjukkan padamu bagaimana cara membully hingga kamu berharap untuk mati." Sebuah ancaman yang membuat Meisya gemetar. Menarik tangan Hani yang memegangi pipinya di lantai.
Bersamaan dengan itu, Tiffany melepaskan Tia, tiga orang yang melarikan diri karena ketakutan. Mungkin ini akan jadi pelajaran bagi mereka, agar mengerti di atas langit masih ada langit.
Tiara tertunduk gemetar, memegangi pakaiannya terbuka, akibat kancing yang terlepas. Tiffany begitu kejam, apa akan membully nya?
Tapi tidak, Tiffany menariknya ke dalam salah satu bilik toilet."Bersihkan dirimu, dan tunggu aku disini! Jika tidak kamu akan mati!" Ancam Tiffany, dijawab dengan anggukan kepala oleh Tiara.
Seperti perkataan Tiffany dirinya membersihkan diri. Tapi bingung harus bagaimana, mengingat pakaiannya sudah tidak layak untuk digunakan.
Menghubungi butler keluarganya? Tapi handphonenya masih di kelas.
Tunggu! Butler? Siapa yang menyangka status sosial Tiara sebenarnya. Siswi yang paling tidak diperhatikan, paling sering dibully, bahkan Meira juga pernah membully nya, merupakan putri tunggal pemilik salah satu perusahaan terbesar di negara ini. Memiliki kekayaan yang melebihi keluarga Wiratmaja sekalipun. Walaupun masih dapat dikatakan kalah dari apa yang dimiliki Martin.
Tapi.
Tiba-tiba Tiffany masuk, membawa handuk kecil dan baju olahraga miliknya. Membantu mengeringkan rambut Tiara."Pakai ini!"
"Tapi jika kamu nanti tidak menggunakan baju olahraga dan dihukum---" Kalimat Tiara disela.
"Pakai!" Tegas Tiffany masih mengeringkan rambut Tiara.
Tiara menonggakkan kepalanya menatap ke arah wajah Tiffany. Begitu cantik dan keren dimatanya. Menghela napas Tiara tertunduk, dengan wajah tersenyum.
bener kata Tiara, Tiffany keren calon istri siapa dulu dong 😁
ternyata Meira blm kapok juga
si author memang psikopat, selalu buat cerita yg buat emosi Naik Turun..
aku suka Thor...
lope Lope lah pokok nya